Pernahkah Kalian Bayangkan " Siapa Orang Asli Pribumi Indonesia ? "
Diposting oleh
Karo Gaul
Karogaul.com - Dalam
konteks sosial masyarakat Indonesia modern, seringkali kita jumpai
istilah "pribumi" yang biasanya mengacu pada identitas orang asli di
daerah tertentu. Memang secara umum kita mengenal klasifikasi umum etnis
kesukuan lokal Indonesia, misalnya orang Batak, Karo itu di Sumetera Utara,
orang Sunda itu di Banten dan Jawa Barat, orang Minang di Sumatera
Barat, orang Bugis di Sulawesi Selatan, orang Dayak di Kalimantan Tengah
dan Barat, dlsb.
Namun di sisi lain, istilah "pribumi" ini sendiri juga
kerap digunakan sebagai pembeda antar golongan
masyarakat yang dianggap sebagai orang/suku/etnis asli Indonesia dengan
mereka yang dianggap sebagai "kaum pendatang".
Setiap corak pada peta merepresentasikan keanekaragaman etnis grup Indonesia
Dikotomi antar istilah 'pribumi' dan 'pendatang' ini menjadi polemik
tersendiri dalam konteks sosial bermasyarakat di Indonesia. Tapi pernah
gak sih lo berpikir siapa sebetulnya orang asli pribumi di Indonesia
ini? Apakah memang orang Jawa itu orang asli pribumi daerah Jawa Tengah
dan Jawa Timur? Sejak kapan saudara kita Orang Jawa yang medok itu tinggal di Pulau Jawa? Mungkin kalo kita bertanya pada orangtua atau guru, jawabannya cuman 'sudah dari sono-nya'. Tapi apakah kita puas dengan jawaban semacam itu?
Nah, dalam kesempatan ini, gua mau mengupas pertanyaan "Siapakah
orang asli pribumi Indonesia" dengan tinjauan sejarah. Dari mulai sejak
kelompok manusia pertama yang datang ke Indonesia, hingga
kelompok-kelompok berikutnya. Dari penjabaran gua di bawah ini,
moga-moga kita semua jadi semakin paham konteks 'pribumi' dan
'pendatang', sekaligus menjawab siapakah orang yang pantas disebut
sebagai orang asli pribumi Indonesia, dan siapakah yang sebetulnya
'hanya' kaum pendatang. Yuk kita mulai cerita sejarahnya!
Kedatangan 1: Homo erectus
Jauh sebelum manusia modern (homo sapiens) datang ke kepulauan Nusantara, kaum pendatang pertama yang tiba di tanah yang kelak bernama Indonesia ini adalah Homo erectus yang melakukan migrasi panjang dari Afrika sekitar 1,8 juta tahun yang lalu. Kenapa gue bahas kok jauh banget sampai ke Homo erectus segala? Karena bisa dibilang, Homo erectus inilah penduduk yang paling lama tinggal tanah Nusantara ini yaitu sekitar 1,5 - 1,7 juta tahun!
Ilustrasi kehidupan Homo Erectus di wilayah Nusantara. Sumber foto dari Musium Sangiran Jawa Tengah
Migrasi panjang Homo erectus dari Afrika ke berbagai penjuru
dunia memang cukup fenomenal dan sedikit banyak masih keberadaan mereka
membentuk ekosistem yang kita kenal sekarang ini. Dari sekian
banyak kelompok Homo erectus yang terpencar menuju Eropa, Asia
Tengah, India, ada beberapa yang mencoba “nekat” nyusurin garis pantai
selatan sampe ke Nusa Tenggara Timur, tepatnya Pulau Flores.
Mungkin ada sebagian yang bingung, gimana caranya erectus
bisa nyeberangin laut? Perlu diingat bahwa garis batas daratan dan
lautan yang kita kenal sebagai peta dunia modern sekarang itu berbeda
dengan keadaan bumi 1-2 juta tahun yang lalu. Sekitar 1-2 juta tahun yang lalu, Pulau Jawa, Sumatera, dll itu belum terpisah alias masih menyatu. Jadi, 1,8 juta tahun yang lalu tuh homo erectus bisa jalan kaki dari Vietnam sampai ke Bali tanpa menyeberangi laut.
landscape kawasan Asia Tenggara 2 juta tahun yang lalu ketika daratan Nusantara Barat masih menyatu
Erectus ini kemudian beranak pinak dan nyebar ke seluruh Paparan Sunda (Sunda Shelf) termasuk
beberapa di antaranya yang nyeberang laut sampai Flores. Jadi bisa
dibayangin bahwa Homo Erectus ini udah "ngacak-ngacak" kepulauan
Nusantara kita selama 1,5 juta tahun dengan berburu, membuat api,
membentuk kelompok-kelompok, berperang, dlsb sampai akhirnya punah
kira-kira 100,000 tahun yang lalu.
Kedatangan 2: Homo sapiens gelombang pertama (Melanesia)
Sama seperti erectus, Homo sapiensatau
manusia modern juga berasal dari Afrika dan melakukan migrasi
besar-besaran ke seluruh penjuru dunia dalam dua gelombang
migrasi. Gelombang pertama berlangsung kira-kira 100 ribu tahun yang
lalu, sedangkan gelombang kedua berlangsung kira-kira 50-70 ribu tahun
yang lalu. Gelombang pertama keluar dari Afrika lewat selat kecil yang
misahin Ethiopia dan Yemen, terus lanjut ke India bagian selatan,
nyusurin pantai lanjut ke Paparan Sunda sampai ada yang nyeberang dengan
perahu ke Paparan Sahul (Papua, Australia).
Pemetaan Asia Tenggara-Australia ketika ice age dipisahkan menjadi
Paparan Sunda (Sunda Shelf) dengan paparan Sahul (Sahul Shelf)
Manusia modern gelombang pertama yang sampai ke wilayah Nusantara ini berciri Melanosoid
(seperti ciri orang Papua dan Aborigin). Dalam periode waktu migrasi
ini, daerah kepulauan Nusantara tetap tersambung tapi bukan karena
faktor tektonik, melainkan karena pada masa itu, bumi ini sedang
menjalani masa jaman es (ice age)
yang menyebabkan sebagian permukaan laut menyatu menjadi daratan
es. Manusia modern gelombang pertama ini akhirnya menempati Nusantara
sampai jaman es berakhir (es mencair menjadi lautan yang memisahkan
pulau), sehingga terbentuklah Kepulauan Nusantara seperti yang kita
kenal sekarang.
Kehadiran dari para petualang awal ini masih bisa kita lihat pada
peradaban manusia modern yang lebih akrab kita kenal dengan kebudayaan
berciri Melanesia atau golongan etnis Negrito. Beberapa di antaranya adalah:
Suku Sentinel, Onge, Jarawa di Kepulauan Andaman,
Suku Asli, Semang, Sakai di Malaysia,
Suku Mani di Thailand,
Suku Aeta, Agta, Ati di Filipina.
Suku Dani, Bauzi, Asmat, Amungme di Indonesia & Papua Nugini
Suku Aborigin Australia dan Tasmania
Dari persebaran ini, diduga kuat bahwa hampir seluruh daerah Paparan
Sunda dan Sahul (mencakup seluruh wilayah Indonesia) sempat dihuni oleh
orang-orang berciri Melanosoid.
contoh etnis Melanesia yang tersebar di daerah Indonesia Timur, Papua Nugini, Kep. Salomon, maupun Australia.
Kehidupan orang Melanesia berawal dengan budaya berburu dan mengumpulkan makanan (hunter & gatherer),
yang kemudian sebagian besar (kecuali Aborigin Australia) mulai
mengenal pertanian, perkebunan, dan peternakan dalam skala kecil.
Sayangnya, kebudayaan agrikultur ini tidak berkembang dengan skala luas
karena kecenderungan masyarakat Melanesia yang berjumlah kecil dan
terpisah jauh dengan suku tetangga lain. Hal ini juga yang menyebabkan
orang Melanesia bisa hidup tanpa perlu mengembangkan pertanian dan
peternakan dalam skala besar, dan juga tidak ada desakan lingkungan
untuk membentuk struktur kemasyarakatan yang kompleks dan sistematis.
Terlepas dari itu, sebetulnya kalo ditanya siapakah orang
'pribumi' pertama yang nempatin Kepulauan Nusantara? Jawabannya jelas
adalah orang-orang Melanesia. Mereka bahkan diduga kuat sebagai penyebab
hilangnya Homo erectus di Paparan Sunda (entah dengan cara
pembunuhan maupun perkawinan). Serunya lagi, para arkeolog dan
paleontolog juga menduga bahwa manusia modern berciri Melanosoid ini
diduga kuat pernah hidup bersama satu pulau dengan human-species lain yang merupakan keturunan dari Homo erectus yaitu Homo floresiensis di Kepulauan Flores.
Tapi kok kenapa orang-orang gelombang pertama yang masuk ke Nusantara
ini cuma nyisa di pedalaman Papua dan pulau-pulau kecil di sekitarnya?
Kenapa tidak terus membangun budaya di wilayah Sumatera, Jawa,
Kalimantan? Sampai saat ini para ahli sejarah belum menemukan jawaban
yang pasti. Namun dugaan terkuat hilangnya komunitas Melanesia di
wilayah barat Indonesia adalah diakibatkan karena kedatangan rombongan
manusia modern gelombang berikutnya dalam jumlah besar, yang dateng
dengan make perahu-perahu kecil mereka yang terbilang cukup canggih
untuk ukuran waktu itu. Nothing lasts forever di dunia ini.
Kedatangan 3: Homo sapiens (Melayu – Austronesia)
"Suatu sore di pesisir pantai yang tenang di utara
Pulau Borneo, 5200 tahun yang lalu, ada dua orang pemuda melanesia
Alkawari dan Anatjari yang lagi nyari kerang untuk dimakan sekaligus
cangkangnya dibikin jadi perhiasan buat calon-calon bini mereka di
kampung. Tiba-tiba Anatjari bengong mematung sambil ngeliat cakrawala.
Alkawari nanya dengan suara pelan sambil ngibas-ngibasin tangan di depan
muka temennya itu, “Dahaka?” (ada apaan sih men?), yang hanya dibalas
dengan tunjukan jari Anatjari ke ufuk utara. Alkawari memincingkan mata
karena susah ngeliat hal yang dimaksud. Setelah menunggu beberapa
menit, benda yang dimaksud pun semakin keliatan jelas. Ternyata benda
itu adalah belasan kano bercadik dua yang mengapung di laut, bermuatan
4-10 orang khas bangsa Austronesia. Semenjak itu, tidak ada yang tau
nasib Alkawari, Anatjari, calon-calon bini mereka, dan kampung
mereka. Sebab sore itu, Nusantara kedatangan lagi bangsa yang akan
menyebut daerah ini sebagai rumah mereka."
Paragraf di atas itu sebetulnya cuma fiksi karangan gua doang untuk mengilustrasikan kedatangan gelombang kedua Homo sapiens ke Bumi Nusantara ini yaitu kelompok melayu-austronesia.
Rumpun Austronesia ini merupakan rumpun yang sangat besar, mencakup
suku Melayu, Formosan (Taiwan), Polynesia (Hawaii, Selandia Baru, dsb).
Muka bulet, idung lebar, rambut item tebal sedikit bergelombang, dan
kulit kecoklatan, merupakan ciri-ciri bersama satu rumpun Austronesia
ini. Suku ini dateng ga cuma modal nekat doang, tapi juga membawa serta
"amunisi" mereka berupa hewan ternak seperti ayam, babi, dan bibit padi,
dll. Kebiasaan mereka dalam nanem padi menimbulkan kebutuhan akan
adanya lahan pertanian yang luas serta teknologi irigasi yang "canggih".
Salah satu sisa budaya asli Austronesia yang masih bisa lo liat
sekarang adalah sistem irigasi menggunakan sengkedan (terasering).
Berbekal kepiawaian dalam berlayar menggunakan teknologi maritim
supercanggih saat itu (kano bercadik dua yang sangat stabil walaupun
diguncang badai dan ombak) serta sistem pertanian yang efektif, tinggal
tunggu waktu aja deh sampe seluruh Nusantara ini bisa dijelajah dan
dikuasai oleh rumpun Melayu Austronesia. Dalam masa peralihan dari
melanesia menuju austronesia, sampai jaman setelah masyarakat Nusantara
mengenal tulisan, udah ga ada lagi tuh jejak-jejak kebudayaan maupun
ciri fisik masyarakat Melanesia di pulau-pulau bagian barat Nusantara
(Sumatera, Jawa, Kalimantan, Bali, Sulawesi, dan Lombok).
Sedangkan di kepulauan Nusantara bagian timur, kita masih bisa
melihat jejak hasil pertukaran budaya dan juga gen Melanesia pada
masyarakat Kepulauan Maluku, Papua bagian pesisir, dan Kepulauan NTT.
Dari segi morfologis, masyarakat yang berasal dari Indonesia timur
merupakan campuran antara rumpun Austronesia (muka bulat, hidung lebar)
dan rumpun Melanesia (rambut ikal atau malah keriting kecil, kulit lebih
gelap). Melanesia “asli”-nya sendiri pada ke mana? Mereka yang tersisa
di Kepulauan Nusantara hanyalah mereka yang berhasil menetap tanpa
gangguan di pedalaman Papua, dan masih setia dengan kebijaksanaan lokal
mereka seperti berkebun dalam skala kecil, berburu binatang, dan hidup
dalam masyarakat kesukuan.
Orang-orang Melayu yang dateng ke Nusantara juga secara umum bisa dibagi dua:
Melayu yang mager (males gerak)
Melayu yang ga bisa diam.
Melayu-melayu mager ini bukannya berarti orangnya males, tapi emang
udah berhasil menciptakan masyarakat yang stabil sehingga sudah tidak
diperlukan lagi mobilisasi penduduk. Keturunan Melayu golongan pertama
ini bisa kita liat pada suku Nias di Pulau Nias dan suku Dayak di
pedalaman Kalimantan, yang juga biasa disebut sebagai “Proto Melayu” (Proto = purwa/primitif).
Suku Dayak di pedalaman Kalimantan merepresentasikan Proto Melayu dalam dunia modern.
Sedangkan di sisi lain, ada golongan melayu yang karena alasan
tertentu (misalnya: kondisi geografis, iklim, bencana, dll) merasa perlu
untuk terus berpindah tempat sekaligus berinteraksi dengan kelompok
lain di sekitarnya, sehingga memungkinkan adanya percampuran budaya,
bahasa, serta gen. Keturunan Melayu yang gak bisa diem ini salah satunya
adalah gue yang berasal dari suku Minangkabau, lo yang dari Jawa, lo
yang orang Banjar, Bugis, Makassar, Bali, Lombok, Batak, Aceh, Madura,
Minahasa, dan puluhan suku-suku lain yang kita kenal di Indonesia
serta biasa disebut sebagai “Deutero Melayu” (Deutero = Berulang/ulangan).
Jadi, bedanya apa sih antara Proto dan Deutero Melayu? Bedanya ya
cuma yang Proto itu menetap di tempat terpencil sehingga menyulitkan
terjadinya percampuran gen yang lebih variatif, sedangkan Deutero
menetap di tempat yang memungkinkan untuk terjadinya percampuran gen.
Jadi proto dan deutero itu gak menggambarkan siapa yang duluan dateng
ya, tapi cuma yang satu netap, yang satu lagi pindah-pindah dan membaur.
Gitu coy! Untuk lebih detail tentang asal-usul nenek moyang Bangsa melayu, bisa lo tonton di zenius.net, berikut salah satu videonya:
Bangsa Melayu dapat dikatakan sangat pewe tinggal di Kepulauan
Nusantara. Mereka beranak-pinak dan ujung-ujungnya bikin beragam
peradaban dan kebudayaan-kebudayaan yang masih bisa kita nikmatin sampe
sekarang. Bangunan rumah panggung atap rumbia, tarian, baju daerah yang
warna-warni, wajah dan badan yang dibubuhin tato, bahkan
bahasa-bahasanya, masih bercirikan Austronesia. Gak cuma yang ada di
Indonesia ataupun Malaysia doang, kebudayaan serupa juga bisa lo temuin
di orang Maori (Selandia Baru), Rapa Nui (Pulau Paskah), orang Asli
Taiwan, Madagaskar, dan pelosok-pelosok Austronesia lainnya. Tapi, sama
seperti sebelumnya, stabilitas yang sebelumnya terbangun pasti akan
menghadapi tantangan baru, perubahan selalu terjadi, nothing lasts forever…
4. Kedatangan 4: Sino-Tibetan, Dravidian, dan etnis Semitic.
Dalam periode kurang lebih seribu tahun setelah kedatangan etnis
Melayu di Nusantara, peradaban dan kebudayaan Austronesia berkembang
semakin kompleks dan mulai melakukan interaksi perdagangan dengan
kebudayaan lainnya, termasuk transaksi logam hasil kebudayaan Dong Son
di Vietnam. Transaksi logam dengan peradaban yang jauh di seberang
lautan ini juga memicu orang-orang Melayu Austronesia di Nusantara untuk
mengembangkan industri metalurgi logam mereka sendiri.
Ternyata, interaksi perdagangan sekelompok masyarakat Austronesia di
Nusantara ini berkembang menjadi sangat ramai. Sampai akhirnya Nusantara
ini mengundang kedatangan banyak pedagang dari peradaban luar pada awal
abad Masehi, yaitu peradaban Dravidian, Sino-Tibetan, dan etnis Semit.
Dalam dunia modern, peradaban Dravidian lebih akrab kita kenal dengan
nama India, sementara peradaban Sino-Tibetan kita kenal sekarang dengan
nama Tionghoa, dan etnis Semit direpresentasikan dalam dunia modern pada
budaya di Asia Tengah seperti Arab dan Yahudi.
Dalam artikel ini, ke depannya gua akan
menyederhanakan penyebutan Dravida = India, Sino-Tibetan = Tionghoa,
Semit = Arab untuk mempermudah lo membayangkan serta menyesuaikan dengan
konteks dunia modern. Tapi tolong jangan diartikan bahwa ketika gua
menyebut "India", "Tiongkok", maupun "Arab" itu mengacu pada warga
keturunan negara India, Arab, dan China. Karena baik Kerajaan Arab,
Republik China, maupun Negara India baru terbentuk pada abad 20.
Sementara itu, para pedagang dravida, sino-tibetan, dan semitic yang
dulu datang ke wilayah Nusantara, sama sekali tidak membawa atribut
kenegaraan yang sekarang kita kenal di dunia modern.
Dari antara tiga gelombang pendatang baru ini, orang dravida
(India) memulai perjalanannya lebih dulu ke daerah Nusantara untuk
berdagang sejak abad 1 masehi. Sedangkan pendatang Sino-Tibetan baru
melakukan eksplorasi besar-besaran di perdagangan Nusantara sejak
dinasti Han runtuh awal abad 3 masehi. Sementara itu orang Semit mulai
pertama kali berdatangan ke pulau Sumatera untuk berdagang dan
menyebarkan agama pada abad 7 Masehi.
Pada awal abad masehi, kebudayaan India dijadiin tolok ukur kemajuan
suatu suku/daerah. Para penguasa lokal berlomba-lomba untuk mengadopsi
budaya India (termasuk agama Hindu, bahasa Sanskerta, dan tulisan
Pallawa) agar bisa dianggep keren. Jadi deh tuh, kerajaan-kerajaan
awal bercorak India di Nusantara, dari mulai Kerajaan Salaka Nagara,
Kerajaan Kutai, Kerajaan Tarumanagara, dll.
Sementara itu, catatan sejarah awal tentang kedatangan masyarakat
Sino-Tibetan ke wilayah Nusantara ditandai oleh catatan perjalanan biksu
bernama Faxian (Fa Hsien) pada awal abad 5 Masehi yang gak sengaja
terdampar ke wilayah Nusantara karena badai. Selain itu, biksu Yijing (I
Tsing) pada abad 8 masehi dari dinasti Tang juga ngelaporin tentang
sebuah kerajaan maritim yang sangat besar di Sumatera yang dia sebut
sebagai Sanfotsi (padahal yang dia maksud itu Kerajaan Sri Vijaya).
Pada abad 7 masehi, para pedagang dari Arab mulai berdatangan ke
Pulau Sumatera. Para pedagang Arab ini berperan sebagai distributor
komoditas dan hasil bumi Nusantara seperti cengkeh dan pala dari Maluku
di pasar Timur tengah maupun Eropa. Hubungan dagang antara para pedagang
Arab dan lokal dari Nusantara ini semakin penting untuk sendi
perekonomian Timur Tengah hingga gosip politik di kawasan Nusantara ini
pun sampai menjadi buah bibir di jazirah Arab nun jauh di seberang
benua. Contohnya adalah cerita tentang Maharaja Zabag
(Sri Vijaya) waktu berantem sama raja dari Khmer (Kamboja) yang
beritanya sampai tersebar luas di masyarakat Timur Tengah pada abad 13
Masehi.
Jadi sejak abad pertama Masehi, Nusantara itu tidak lagi
ekslusif dihuni oleh bangsa Austronesia maupun campuran Melanesia,
dimana para pendatang baru sudah mulai bermunculan dari wilayah Asia
Timur, Asia Selatan, dan Asia Tengah. Sebagian besar dari pendatang ini
memiliki peran sosial sebagai pedagang dan rohaniawan, dan tidak sedikit
juga yang mutusin buat menetap dan kawin campur dengan orang lokal
Indonesia. Mirisnya, kedatangan budaya India, Tiongkok, dan Arab ini
masih banyak salah dimengerti oleh masyarakat umum dan sedikit banyak
menjadi bahan pemicu konflik rasial di Indonesia. Nah, sudah menjadi
tugas gue sebagai guru Sejarah untuk meluruskan pemahaman yang keliru
ini. Jadi gua putuskan untuk membahas secara khusus kedatangan dari tiga
budaya yang masuk pada awal abad masehi ini.
Kedatangan etnis Tionghoa (Sino-Tibetan)
Nah, setelah Faxian dan Yijing yang gue sebut di atas, diaspora
masyarakat dari Tiongkok berlangsung dalam beberapa gelombang. Gelombang
pertama yang cukup besar dipengaruhi oleh kebijakan Kerajaan Majapahit
pada masa pemerintahan Wikramawardhana
yang liberal dan memperbolehkan semua orang dari ras dan agama apapun
untuk berdagang dan menyebarkan agamanya di daerah kekuasaan Majapahit.
Kebijakan ini membawa peluang bagi Laksamana dari Dinasti Ming, Zheng He
(Cheng Ho/Ma Sanbao/Sampokong) yang beragama Islam untuk bolak-balik
ngunjungin pantai utara Jawa bagian Tengah untuk berdagang pada awal
abad 15. Zheng He sendiri yang beragama Islam ngebawa rombongan
Tionghoa muslim, Buddha, Tao, dan Konghucu untuk berdagang bersama di
Pulau Jawa.
Gelombang migrasi kedua terjadi pada saat Gubernur Jendral Hindia Belanda, Jan Pieterszoon Coen berhasil nguasain Jayakarta (1619) dan membangun Kota baru bernama Batavia
(dari reruntuhan Jayakarta). Pada masa pembangunan itu, tentu dia
memerlukan pekerja, pedagang, dan penduduk kota dong, masa kosong isinya
cuma segelintir orang Belanda aja. Coen yang mungkin saat itu khawatir
banyak masyarakat lokal yang masih menyimpan dendam, memutuskan
untuk mendatangkan orang-orang dari tanah Tiongkok untuk dipekerjakan
menjadi buruh dan pedagang. Tapi di satu sisi, bukan berarti masyarakat
pendatang Tionghoa ini berpihak pada Belanda. Seiring dengan semakin
kompleksnya interaksi budaya, mulai berkembanglah masalah-masalah
sosial.
Sampai akhirnya terjadi peristiwa maha akbar yang sayangnya kurang diliput sama buku sejarah yaitu Geger Pecinan,
yaitu ketika orang-orang Tionghoa dari seluruh pelosok Jawa
bahu-membahu dengan masyarakat Jawa lokal untuk melakukan pemberontakan
melawan belanda. Saking dahsyatnya Geger Pecinan, peristiwa ini berujung
kepada pemisahan Kesultanan Mataram jadi empat kekuasaan terpisah.
illustrasi geger pecinan (1740)
Di sisi lain, ternyata kebijakan Belanda yang antipati dengan
masyarakat setempat membuat Belanda juga mererekrut pekerja dan pedagang
dari Tiongkok (juga India dan Arab) untuk kerja dan dagang di belahan
Nusantara lainnya, seperti Pontianak, Medan, Maluku, Papua, Makassar,
Padang, dll. Saking gak percaya-nya Belanda dengan masyarakat lokal,
dibuatlah perkampungan-perkampungan Pecinan yang dibikin eksklusif sama
pejabat-pejabat Belanda. Nah, ini dia nih sumber permasalahan berbau
rasisme yang sampe sekarang masih menghantui kondisi sosial masyarakat
Indonesia. Hanya gara-gara ulah Orang Eropa yang pada waktu itu selalu
nganggep manusia perlu diklasifikasi, sehingga akhirnya berujung pada
justifikasi dan perilaku diskriminatif terhadap golongan etnik tertentu.
Hal itu berlarut-larut menjadi dampak yang lebih luas, dari mulai
ekslusivitas sampai kecemburuan sosial dan masih terus mengakar pada
masyarakat modern Indonesia.
Terlepas dari itu semua, masyarakat Tionghoa gelombang pertama dan
kedua ini sekarang lebih akrab disebut sebagai “peranakan”, karena
relatif lebih membaur dengan masyarakat lokal. Sementara istilah
“totok”, dialamatkan untuk keturunan Tionghoa yang melakukan migrasi
pada gelombang ketiga, yaitu pada awal abad 20. Di masa ini, Revolusi Tiongkokyang dipimpin oleh Dr. Sun Yat Sen
membawa pergolakan politik dan sosial sehingga banyak rakyat
Tiongkok yang memilih untuk pergi ke Hindia Belanda untuk mengadu
nasib. Singkat kata singkat cerita, ketiga gelombang migrasi inilah yang
memperkaya kebhinekaan Indonesia dengan memiliki etnis Tionghoa dengan
jumlah sekitar 2,8 juta jiwa.
Kedatangan etnis India (Dravida, Tamil, dkk)
Berbeda dengan kedatangan etnis Tionghoa, kedatangan masyarakat India
dan Arab tidak ditandai dengan gelombang atau peristiwa khusus.
Melainkan melalui proses yang terjadi secara gradual seiring dengan
meningkatnya sektor perdagangan di bumi Nusantara. Semenjak perdagangan
mulai rame di Nusantara, banyak pedagang dari India dan Arab yang datang
dan menetap, menyebarkan agama dan menikah dengan orang lokal
Nusantara.
Pengaruh budaya India di Nusantara, selain ditandai
pada corak kerajaan Hindu pada awal abad masehi, juga
sempat dipengaruhi aktivitas perdagangan Eropa di Nusantara. Pada abad
15-16, banyak pelaut Portugis yang membawa orang-orang India bagian
selatan (Tamil) untuk jadi buruh pekerja di pos-pos ataupun perkebunan
Portugis. Hal yang sama juga terjadi saat jaman Belanda, ketika Kota
Medan lagi banyak melakukan pembangunan, pemerintah Hindia Belanda
ngerekrut banyak pekerja dari suku Tamil untuk bikin infrastruktur macem
jalanan dan perumahan. Bahkan sampai sekarang keturunannya bisa lo
temuin di Kampung Madras (dulu namanya Kampung Keling) di Kota Medan!
Hah? Masa iya ada masyarakat dengan budaya India yang tinggal di
Indonesia? Kalo gak percaya, coba lo tonton salah satu liputan di
youtube berikut ini:
Berbeda dari suku Tamil, orang-orang dari India bagian utara
(Gujarat, Sikh, Bengali, dsb) kedatangannya lebih mirip dengan cara
orang Arab, yaitu berdagang. Walaupun jumlahnya jauh lebih sedikit
ketimbang keturunan Tionghoa, keberadaan orang-orang India dan cukup
menghiasi keanekaragaman asal-usul seluruh penduduk Indonesia jaman
modern.
Kedatangan etnis Arab (Semit, Arabic, dkk)
Kedatangan etnis Arab di Kepulauan Nusantara berbeda
dengan Tionghoa dan India, karena tidak punya gelombang khusus yang
menandai kedatangan mereka secara masal, melainkan secara gradual,
perlahan namun konsisten. Sejak abad 7 Masehi, etnis Arab datang ke
Indonesia untuk berdagang dan sebagian untuk menyebarkan agama Islam.
Sebagian dari mereka ada yang kembali tapi tidak sedikit juga yang
memutuskan untuk menetap di wilayah Nusantara. Bahkan sebagian dari
etnis Arab sangat membaur dengan masyarakat lokal seperti para pedagang
Arab di Kepulauan maluku dan Nusa Tenggara sehingga mengadopsi nama
keluarga lokal di sana. Beberapa kelompok lain, membuat komunitas semi
ekslusif, terutama ketika jaman pendudukan Belanda, dimana etnis Arab
juga sempat difasilitasi oleh pemerintahan Hindia Belanda dengan
dibuatkan perkampungan khusus untuk keturunan Arab di daerah Koja
Batavia.
Mayoritas keturunan Arab di Indonesia memiliki leluhur dari daerah
Hadramaut (Yemen), dan sebagian dari Arab Hijazi (Saudi, Qatar, Oman,
Kuwait, dsb). Lucunya, saat ini jumlah masyarakat keturunan Hadramaut di
Indonesia malah jauh melebihi jumlah masyarakat di tempat asal leluhur
mereka sekarang di Republik Yemen. Demikianlah, latar belakang sejarah
singkat (banget) tentang pembauran etnis Arab di Nusantara. Itulah
sebabnya, banyak nama-nama dan marga dengan corak Arab yang sering kita
jumpai pada teman sekelas, tetangga, tokoh nasional, maupun para
selebriti, seperti nama Assegaf, Shihab, Baswedan, Albar, Alatas, Jamal,
dll. Tentunya pembauran etnis Arab ini juga semakin memperkaya diversity di Indonesia.
Jadi siapa dong orang pribumi asli Indonesia?
Dari pembahasan panjang gua di atas, mungkin rasanya akan semakin
sulit untuk menjawab pertanyaan "Siapakah orang asli pribumi
Indonesia?". Memang wajar kalo lo jadi makin merasa bingung ngejawabnya,
karena memang pada dasarnya konteks "orang asli pribumi" saja sudah
rancu. Dalam tinjauan sejarah, daerah Nusantara ini pada mulanya adalah
tanah tak bertuan, sampai akhirnya banyak kedatangan para pendatang
sejak jaman Homo erectus, hingga berbagai banyak jenis dan rumpun manusia dateng dan akhirnya nyebut Nusantara ini sebagai rumah mereka.
Dalam polemik sosial masyarakat modern Indonesia, sebetulnya definisi
dari 'kaum pribumi' itu sendiri sangat rancu. Jika
indikator 'pribumi' adalah masyarakat yang paling lama tinggal, maka
berarti yang pantas disebut pribumi asli Indonesia adalah Homo erectus
yang tinggal di Nusantara ini selama kurang-lebih 1,5 juta tahun. (itu
lama banget men!!) Tapi jika definisi 'pribumi' itu adalah manusia
modern (Homo sapiens) yang pertama datang ke Bumi Nusantara,
maka jawabannya adalah rumpun Melanesia yang sekarang direpresentasikan
oleh suku-suku di Papua. Nah lho...apakah itu berarti orang pribumi
Indonesia itu cuma orang Papua?? Terlepas dari semua definisi itu, gua
pribadi sebagai guru sejarah, berpendapat bahwa : pada hakikatnya, semua manusia yang ada Indonesia itu adalah pendatang.
Jadi ya memang betul bahwa warga keturunan Arab (semit), India
(dravida, tamil), dan Tionghoa (sino-tibetan) di Indonesia adalah
pendatang, sebagaimana orang Melayu (austronesia) dan Papua (melanesia)
di Indonesia juga adalah pendatang. Bumi Nusantara dulunya adalah tanah
tak bertuan hingga para manusia dari berbagai rumpun kesukuan
berdatangan silih berganti dan mengklaim tanah ini adalah milik mereka,
kekuasaan jatuh-bangun dari jaman Kerajaan, Hindia Belanda,
sampai akhirnya kini menjadi negara Indonesia yang
mewarisi keanekaragaman yang luar biasa. Perlu kita ingat bahwa kekayaan
budaya yang kita nikmati sekarang ini lahir dari proses asimilasi,
menerima perbedaan budaya, menghasilkan budaya campuran, dan
akhirnya menjadi identitas bangsa yang baru, bernama Indonesia.
Demikianlah pembahasan gua tentang asal-usul kedatangan manusia yang
menjadikan keanekaragaman etnis yang sangat kaya di Indonesia, moga-moga
bermanfaat dan menambah pengetahuan lo semua!