Karo adalah etnis tersendiri dengan kultur dan budaya sendiri

Karogaul.com - Karo adalah etnis tersendiri dengan kultur dan budaya sendiri, satu etnis besar yang pernah exis di Sumatra bagian Timur. Kebesaran dalam kultur budayanya, arsitekturnya (rumah adat) begitu juga terlihat dalam filsafat hidupnya yang menggambarkan way of thinking (filosofis) yang relatif sudah tinggi.
Bukti-bukti kebesaran ini tidak tercatat secara rapi seperti manifestasi
kebudayaan dan peradaban tinggi Barat atau Yunani kuno misalnya. Dari yang
pernah terlihat ialah tulisan atau goresan pada bambu seperti dalam sejarah
Patimpus.
Begitu juga terlihat dari cita-cita Hayam Wuruk (Gajah Mada)
menaklukkan kerajaan besar satu-satunya di daerah Sumatra bagian timur, satu
kerajaan besar orang kafir (pemena), karena kerajaan ini bukan muslim atau
bukan Aceh maupun bukan Jawi, ( 'Kalak Jawi' adalah panggilan orang Karo
terhadap orang islam tempo doeloe, umumnya orang Melayu).
Pasukan-pasukan
berbagai kerajaan islam (Melayu) dari selatan dan dari laut (semenanjung
Malaka) serta dari utara (Aceh, juga islam) mendesak dan menaklukkan kerajaan
besar orang kafir (pemena) Haru, dan masih meninggalkan sisa pertahanan
terakhir benteng Delitua yang masih terlihat sampai sekarang.
Nama-nama kota dengan istilah kuta
(kampung) dalam bahasa Karo tersebar mulai dari Kutaraja sampai ke Siak.
Kemudian yang masih banyak tersisa terutama di Sumtim, terbanyak di
daerah-daerah pemukiman etnis Karo, dan masih ada di daerah Gayo/Alas. Dalam
Sumpah Palapa (1336) Gajah Mada Majapahit berjanji akan menaklukkan banyak
kerajaan termasuk Haru.
Tetapi yang berhasil menaklukkan Haru ternyata adalah
kerajaan-kerajaan islam yang telah lama (sebelum Gajah Mada bersumpah) berusaha
membinasakan kerajaan kafir terakhir didaerah Sumatra bagian Timur. Dialektika
adalah cara pikir dan cara pandang atas hal-ihwal dari segi-segi yang
bertentangan didalamnya, atas alam dan pikiran manusia serta kehidupan dan
perkembangan kehidupan manusia maupun perkembangan pikiran manusia.
Orang
Barat berpendapat dan mengatakan bahwa penemu pertama dialektika adalah orang
Yunani Kuno bernama Heraklitos (500 SM) dalam Pantarei (air mengalir, sungai).
Heraklitos menunjukkan proses atau
perubahan tak henti-hentinya (dialektika alam). Orang Karo Kuno (Karo sinoria)
sudah mengenal dan memakai dialektika dalam kehidupan dan cara pikirnya, dalam
melihat alam dan dalam menilai perkembangan pikiran manusia.
Ini terlihat dari
pepatah kuno Karo (sudah ada sejak Karo lahir sebagai satu kesatuan struktur
budaya dan kultur) yaitu: dalam alam (sungai) dikatakan 'aras jadi namo, namo
jadi aras' (Pantarei Karo), dimana aras adalah bagian dangkal dalam aliran
sungai, bagian yang beriak, bagian yang deras, bagian yang ribut dan pada
gilirannya akan berubah jadi namo (lubuk), yaitu bagian yang dalam, bagian yang
tenang.
Jadi disini menggambarkan kedangkalan kontra kedalaman, keributan
kontra ketenangan, dan yang satu berubah jadi yang lain lewat proses tertentu
yaitu proses perubahan segi-segi bertentangan. Dan dalam pikiran, seperti 'seh
sura-sura tangkel sinanggel' (begitu tercapai cita-cita akan muncul kesusahan),
menunjukkan kegembiraan kontra kesedihan, proses tak henti-hentinya hal-hal
bertentangan dalam pikiran manusia.
Dialektika Karo kuno menunjukkan proses dan
pertentangan dalam alam maupun dalam pikiran manusia.
Dialektika Heraklitos (Pantarei)
menunjukkan proses dalam alam, sungai mengalir tak henti-hentinya dan perubahan
tak henti-hentinya. Kalau kita menginjakkan kaki kedua kalinya kedalam satu
sungai, sungainya bukan lagi sungai ketika kita menginjakkan kaki pertama kali
katanya.
Dialektika alam Karo atau Pantarei Karo secara jelas tidak hanya
menunjukkan proses, tetapi juga adanya segi-segi bertentangan.
Kenyataan-kenyataan legendaris alamiah ini cukup membuktikan tingkat peradaban
dan tingkat filsafat pemikiran etnis Karo telah ada sejak adanya Karo sebagai
entitas budaya dan kultur tersendiri dan jelas terlihat dari perbandingan
dengan perkembangan dialektika Yunani kuno Heraklitos.
Dari logika ini menjadi
jelas tak teragukan bahwa etnis Karo adalah salah satu dari etnis tertua dan sangat
tinggi filsafat dialektikanya dibagian dunia Sumatera bagian timur. "The
Batta Cannibal States", sebutan John Anderson, dalam buku Mission to the
East Coast of Sumatra 1823, menemukan berbagai kesatuan atau berbagai struktur
kesatuan budaya dan kultur di pantai timur Sumatra.
Dia melihat perbedaan dan
juga melihat adanya kekuasaan (states) dalam kesatuan-kesatuan itu. Tetapi
Anderson menjadikan semua entitas yang bermacam-macam itu (selain kelompok
islam) dengan nama bersama yaitu 'Batta'.
Istilah ini pasti berasal dari kata
'Batak', tapi dalam pendengaran dan ucapan lidah totok seorang Inggris berubah
jadi 'Batta'. 'Batak' adalah nama julukan terhadap orang-orang atau entitas
orang-orang kafir tak ber Tuhan bukan islam, ketika itu orang Karo, Toba, Simalungun
dan sebagian Pakpak atau Mandailing.
Mereka ini tak berTuhan tapi berDibata
(Karo) atau Debata (Toba,Simalungun). Asal usul kata dari bahasa Sanskrit yang
di Bali dikatakan Dewata. Orang-orang Dibata/Debata ini adalah kafir pemakan
babi dijuluki sebagai kelompok 'Batak' oleh orang islam, dan dengan lidah
Inggris jadi 'Batta' dan yang kanibal, artinya bagi orang Inggris Anderson
bukan hanya pemakan babi tapi juga pemakan orang. Istilah 'Batak' atau 'Batta'
(dari kata diBata atau deBata) jadi nama bersama orang-orang berdiBata (yang
Tuhannya Dibata, Debata, Dewata) jadi satu kesatuan tersendiri dari pihak islam
maupun dari orang Barat bahkan sampai kezaman kolonial Belanda dan juga
termasuk demikian dalam ajaran antropologi kolonial.
Antropolog orang Batak Amir Nadapdap
bahkan mengatakan Gayo dan Alas sebagai Batak, dpl Batak Gayo dan Batak Alas.
Sebaliknya antropologi Aceh mengatakan Aceh Gayo dan Aceh Alas, atau yang lebih
tak mengenakkan lagi ialah munculnya pengertian keliru dengan mengatakan Gayo dan
Alas sebagai sub-etnis Aceh dan atau yang lainnya sebagai sub-etnis Batak.
Ini
jelas menunjukkan perkembangan pikiran expansionis etnis-etnis mayoritas
dominan atas existensi etnis minoritas yang umumnya berada diluar kekuasaan
atau berada dibawah dominasinya, dimasa nation state post kolonial sampai
sekarang dizaman reformasi, era atau zaman yang menuntut perubahan radikal
dalam hubungan saling mengakui dan saling menghormati, 'berdiri sama tinggi dan
duduk sama rendah' sesama etnis dalam nation multi etnis seperti Indonesia.
Salah satu diantara kelompok yang dijuluki 'Batak' atau 'Batta' sampai sekarang
masih mempertahankan sebagai Batak yaitu orang Toba. "Namun dalam
kenyataannya, orang Karo dan Mandailing menolak disebut Batak. Mereka mengaku
sebagai orang Karo dan orang Mandailing, dan sama sekali bukan Batak.
Demikianlah, istilah Batak kini
mengacu kepada Batak Toba. Jadi, dalam pembica-raan awam, orang Batak adalah
orang Batak Toba, bukan Batak yang lain." (Kompas, Selasa, 2 Juli 2002)
Salah satu entitas diantara 'Batta Cannibal States' adalah Karo, satu suku
bangsa peninggalan entitas Haru state, sekarang terpencar atau terpusat sekitar
Sumtim, Dairi Karo, Aceh Tenggara dan Langkat.
Satu entitas struktur budaya dan
kultur tak terpisahkan dari existensi sejarah budaya dan kulturnya serta
filsafat hidupnya, dari way of thinking yang sangat dialektis dan dalam
perbandingan sebagai tempat lahir pertama dialektika dalam kehidupan (pikiran)
dan dalam hubungan dengan alam.
Oleh : MU Ginting