Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

RIP Likas beru Tarigan - Pejuang Taneh Karo

RIP Likas beru Tarigan Perempuan yang menghentikan pesawat itu telah pergi. Tahun 1965 suasana tak menentu. Likas tak tahu suaminya di mana. Dia menelepon kolega-koleganya. Kemungkinan Djamin Ginting ada di Medan. Likas pergi ke lapangan terbang untuk meminta bantuan mengirimkan surat. Ia menghentikan pesawat menuju ke Medan. Keberanian Likas tumbuh sejak kecil. Kedekatannya pada bapaknya sangat luar biasa. Ia membela bapaknya. Ia bersikeras untuk sekolah ke Padang Panjang, walau ibunya melarang dengan berkata, ”Adi lawes kam, mate nge aku anakku” (kalau kamu pergi juga maka aku akan mati).
“Pak, bagaimana ini Pak, kata ibu dia akan mati kalau aku pergi," Likas mengadu kepada bapaknya. Tapi dengan tegar ayahnya berkata, “Nyawa ibumu itu Tuhan yang menentukan bukan kamu Likas."
Akhirnya Likas berangkat ke Padang Panjang. Akan tetapi Ibu Kandungnya benar benar meninggal dunia saat Likas sedang bersekolah di Padang Panjang. Ia sempat terpukul hatinya.

Hasil pendidikannya mempertemukan ia dengan Djamin Ginting. Likas menjadi guru. Hingga akhirnya mereka menikah dan Likas mendampingi suaminya. Likas terus mengabdi di daerah-daerah pengungsian. Ia menghibur dan tetap mengajari anak-anak pengungsi perang.

23 Januari 1950
Presiden RIS Ir. Soekarno dan ibu Fatmawati beserta rombongan singgah di lapangan terbang Polonia (Medan) dalam perjalanannya ke Kalkuta dan New Delhi untuk menghadiri Perayaan Proklamasi India pada tanggal 26 Januari 1950.

Berdesak-desakan orang ingin menyalami Presiden dan Nyonya. Barisan pengawal dari Negara Sumatera Timur secara demonstratif berusaha agar pihak pro Republik tidak mendekati Presiden dan rombongan.
Aku tidak ikut-ikutan berdesak-desakan, ku tunggu saja giliranku dengan sabar. Tiba-tiba presiden memanggil kami dan menepuk-nepuk bahu suamiku. Bung Karno bertanya padaku, "Apa yang diteriakkan orang Medan kalau ramai-ramai menarik kayu?"

"Ah, oleee. Ah, oleee. Rambate rata ayo," jawabku.

Presiden menirukan jawabanku, "Ah, oleee. Ah, oleee. Rambate rata ayo! Hulupis kuntul baris!"
Kemudian beliau berkata lagi, "Bergotong-royonglah kita mengurus Negara ini. Seperti orang-orang bersatu menarik kayu untuk membangun rumah."
.......
Belakangan setelah Negara Sumatera Timur bubar, keadaan berbalik. Yang pro Republik duduk di baris depan, sedangkan mantan pejabat Negara Sumatera Timur dan istri mereka duduk di kursi belakang.
Itu kutipan dari buku "Perempuan Tegar dari Sibolangit." Kelak akhirnya yang pro Republik maju menjadi pemimpin. Djamin Ginting menjadi Panglima TT I Bukit Barisan. Dan kelak menjadi penggerak dari pembentukan GAKARI yang nantinya akan membentuk GOLKAR.

Djamin Ginting yang besar di medan perang akhirnya di "dubes" kan. Sekalipun dia diangkat sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh di Kanada tapi dia tidak menyukai jabatan itu. Sebab jiwa militernya sangat kental dan dia sebenarnya lebih suka jika tetap di Militer. Mengapa Djamin Gintings akhirnya di dubeskan yang akhirnya menutup karier militernya? Ini masih jadi pertanyaan.

07 November 2014
PEREMPUAN yang hampir mencapai usia 1 abad itu dengan semangat mendorong kursi rodanya di dalam Istana Negara. Rambut putih yang disanggul dan raut wajah menua tak menghalangi aura kebahagiaan yang terpancar di matanya. Likas br Tarigan (90 tahun) sangat bahagia, karena akhirnya, sang suami almarhum Letjen (purn) Djamin Ginting mendapat anugerah sebagai pahlawan nasional. Anugerah itu diserahkan langsung oleh Presiden Joko Widodo kepada Likas.

Kini perempuan yang menghentikan pesawat itu telah pergi. Tugasnya telah selesai. Membuat bangga bapaknya. Menyekolahkan adiknya. Mencerdaskan anak-anak sekolah. Berjuang di medan perang. Mendampingi suaminya mengawal negara untuk menghempang Belanda merebut perbatasan Aceh. Dan kelak dunia tahu bahwa tak semua daerah di Indonesia telah jatuh ke tangan Belanda. Indonesia masih ada, begitulah suara membahana dari Radio Rimba Raya.

Sebelumnya radio Hilversum (milik Belanda) mengumumkan kepada dunia, bahwa Negara Indonesia tidak ada lagi. Tapi dengan suara yang sayup lantang dari Dataran Tinggi Tanah Gayo, Radio Rimba Raya membatalkan berita tersebut dan mengatakan bahwa Indonesia masih ada.

Siaran itu dapat ditangkap jelas oleh sejumlah radio di Semenanjung Melayu (Malaysia), Singapura , Saigon ( Vietnam), Manila ( Filipina) bahkan Australia dan Eropa. Akhirnya, akibat berita yang disuarakan itu, banyak negara dunia dengan serta merta mengakui kemerdekaan Indonesia. Dan dengan ada berita yang disiarkan Radio Rimba Raya merupakan pukulan “KO” bagi Pemerintahan Belanda.

1965

“Selamat siang Ibu Jenderal,” kata Mayor Jenderal Djamin Gintings dari atas Panser menyapa istrinya yang terheran heran di halaman kediaman mereka di Jakarta.

“Mengapa Bapak bawa Panser, kan jendela rumah kita bisa pecah semua”, kata Likas Tarigan terheran heran.

“Kan kam yang meminta bawa Panser ke rumah,” timpal Djamin Gintings sambil tertawa penuh perasaan bangga.

Surat itu telah dibaca oleh Djamin Ginting. Ia bergegas kembali ke Jakarta. Ia tak ingin berlama terpisah seperti dulu saat harus menyusup ke Medan Area dan tak ada kabar rimbanya. Dari pada mati penasaran, Likas mencari suaminya yang ditemukannya dalam keadaan terluka. Ia berjuang membebaskan suaminya dengan melobi seseorang tokoh penting dari pihak musuh kala itu.

Dan saat Djamin Ginting sakit-sakitan di Ottawa, Likas merasa perlu ke Jakarta untuk menemui Soeharto untuk meminta agar Djamin Ginting dikembalikan saja ke Indonesia. Tapi perjuangannya harus terhenti. Djamin Ginting wafat di musim dingin tahun1974 pada umur 53 tahun. Usia yang masih memungkinkan karirnya menanjak.

Tugas ibu Likas telah selesai. Ia terus berjuang hingga masa tuanya. Ia adalah juru kampanye yang andal dan wanita Karo pertama yang menjadi anggota MPR selama dua periode, 1978-1983 dan 1983-1988.
Ia kini telah bertemu dengan Panglima. Pahlawan Nasional Djamin Ginting.
Selamat jalan bu Likas br Tarigan. Selamat jalan pejuang dari Taneh Karo.

Oleh : Edi Sembiring