Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sejarah Kerajaan Haru (Karo) Serta Hubungannya Dengan Aceh

Sejarah Kerajaan Haru (Karo) Serta Hubungannya Dengan Aceh karo gaul

Karogaul.com - Suku Karo merupakan salah satu suku terbesar di Sumatera Utara. Nama suku ini dijadikan salah satu nama Kabupaten di salah satu wilayah yang mereka diami (dataran tinggi Karo) yaitu Tanah Karo yang terletak di kabupaten karo. Suku ini memiliki bahasa sendiri yang disebut Bahasa Karo atau Cakap Karo karogaul's.

Karo adalah suku bangsa yang mendiami wilayah Sumatera Utara dan sebagian Aceh yang meliputi Kabupaten Karo, Kabupaten Aceh Timur, Kabupaten Langkat, Kabupaten Dairi, Kabupaten Simalungun, dan Kabupaten Deli Serdang dan Medan.

Dalam beberapa literatur tentang Karo, etimologi Karo berasal dari kata Haru atau Aru. Kata Haru atau Aru ini berasal dari nama kerajaan Haru di daerah Sumatera Bagian Utara karogaul's.

Kerajaan Haru-Karo (Kerajaan Aru) mulai menjadi kerajaan besar di Sumatera, namun tidak diketahui secara pasti kapan berdirinya. Namun, Brahma Putra, dalam bukunya "Karo dari Zaman ke Zaman" mengatakan bahwa pada abad 1 Masehi sudah ada kerajaan di Sumatera Utara yang rajanya bernama "Pa Lagan".

Terdapat indikasi bahwa penduduk asli Haru berasal dari Suku Karo, seperti nama-nama pembesar Haru dalam Sulalatus Salatin yang mengandung nama dan Marga Karo dan menilik dari nama itu merupakan bahasa yang berasal dari suku Karo karogaul's.

Kerajaan Haru-Karo diketahui tumbuh dan berkembang bersamaan waktunya dengan tumbuhnya dan munculnya Kerajaan Majapahit, Sriwijaya, Johor, Malaka dan Aceh.
 
Terbukti karena kerajaan Haru pernah berperang dengan kerajaan-kerajaan tersebut. Kerajaan Haru pada masa keemasannya, pengaruhnya tersebar mulai dari Aceh Besar hingga ke sungai Siak di Riau karogaul's.

Kerajaan Aru atau Haru merupakan sebuah kerajaan yang pernah berdiri di wilayah pantai timur Sumatera Utara sekarang. Nama kerajaan ini disebutkan dalam Pararaton(1336) dalam teks Jawa Pertengahan (terkenal dengan Sumpah Palapa) yang berbunyi ;
 
“Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tañjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompu, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa”
 
Dalam bahasa Indonesia mempunyai arti ;
 
“Dia, Gajah Mada sebagai patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa, Gajah Mada berkata bahwa bila telah mengalahkan (menguasai) Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa, bila telah mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa

Sebaliknya tidak tercatat lagi dalam Kakawin Nagarakretagama (1365) sebagai negara bawahan sebagaimana tertulis dalam pupuh 13 paragraf 1 dan 2.
 
Sementara itu dalam Suma Oriental disebutkan bahwa kerajaan ini merupakan kerajaan yang kuat Penguasa Terbesar di Sumatera yang memiliki wilayah kekuasaan yang luas dan memiliki pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh kapal-kapal asing karogaul's.

Dalam laporannya, Tomé Pires juga mendeskripsikan akan kehebatan armada kapal laut kerajaan Aru yang mampu melakukan pengontrolan lalu lintas kapal-kapal yang melalui Selat Melaka pada masa itu.

Dalam Sulalatus Salatin Haru disebut sebagai kerajaan yang setara kebesarannya dengan Malaka dan Pasai. Peninggalan arkeologi yang dihubungkan dengan Kerajaan Haru telah ditemukan di Kota Cina dan Kota Rantang karogaul's.

Terdapat perdebatan tentang lokasi tepatnya dari pusat Kerajaan Haru. Winstedt meletakkannya di wilayah Deli yang berdiri kemudian, namun ada pula Gilles menyatakan di dekat Belawan. Sementara ada juga yang menyatakan lokasi Kerajaan Aru berada di muara Sungai Wampu (Teluk Haru/Langkat).
Kemerdekaan Haru berakhir pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda dari Aceh, yang naik tahta pada 1607.

Dalam surat Iskandar Muda kepada Best bertanggal tahun 1613 dikatakan, bahwa Raja Aru telah ditangkap dengan 70 ekor gajah dan sejumlah besar persenjataan yang diangkut melalui laut untuk melakukan peperangan-peperangan di Aru atau Haru.

Dalam masa ini sebutan Haru atau Aru juga digantikan dengan nama Deli dengan tampilnya Gojah Pahlawan panglima Aceh keturunan India dari Delhi yang mengawini putri Raja Urung Sunggal Serbanyaman Nang Baluan Br Surbakti karogaul's.

Wilayah Haru kemudian mendapatkan kemerdekaannya dari Aceh pada 1669, dengan nama Kesultanan Deli. Hingga terjadi sebuah pertentangan dalam pergantian kekuasaan pada tahun 1720 menyebabkan pecahnya Deli dan dibentuknya Kesultanan Serdang pada tahun 1723.

Berkaitan dengan penguasa Aru, tidak dapat dipisahkan dengan peran lembaga Raja Berempat, yang menurut Peret (2010) telah ada sebelum pengaruh Aceh karogaul's.

Raja Urung di pesisir ini meliputi Urung Sunggal. Urung XII atau Sepulu dua Kuta, Urung Sukapiring dan Urung Senembah, yang masing-masing berkaitan dengan Raja Urung di dataran tinggi (Karo), yakni Urung Telu Kuru merga Karo-Karo), Urung XII Kuta (merga Karo-Karo), Urung Sukapiring (merga Karo-Karo) dan Urung VII Kuta (merga Barus).

Dalam kesempatan berikut, Raja Berempat ini berperan dalam penentuan calon pengganti Sultan di Deli/Serdang, dengan menempatkan Datuk Raja Urung Sunggal Serbanyaman sebagai Ulun Janji.
Sejarah perjalanan Karo juga tidak bisa di pisahkan dengan saudaranya suku Alas dan Gayo di Aceh. Suku Karo di Aceh Besar yang dalam bahasa Aceh disebut Karee dan keberadaan suku Haru-Karo di Aceh ini diakui oleh H. Muhammad Said dalam bukunya "Aceh Sepanjang Abad", (1981) karogaul's.

Beliau menekankan bahwa penduduk asli Aceh Besar adalah keturunan mirip Batak. Namun tidak dijelaskan keturunan dari Batak mana penduduk asli tersebut.
 
Sementara itu, H. M. Zainuddin dalam bukunya "Tarich Atjeh dan Nusantara" (1961) mengatakan bahwa di lembah Aceh Besar disamping terdapat kerajaan Islam terdapat pula kerajaan Karo. Selanjunya disebutkan bahwa penduduk asli atau bumi putera dari ke-20 mukim bercampur dengan suku Karo.

Brahma Putra, dalam bukunya "Karo Sepanjang Zaman" mengatakan bahwa raja terakhir suku Karo di Aceh Besar adalah Manang Ginting Suka karogaul's.

Kelompok karo di Aceh kemudian berubah nama menjadi "Kaum Lhee Reutoih" atau Kaum Tiga Ratus. Penamaan demikian terkait dengan peristiwa perselisihan antara suku Karo dengan suku Hindu di sana yang disepakati diselesaikan dengan perang tanding.

Sebanyak tiga ratus (300) orang suku Karo akan berkelahi dengan empat ratus (400) orang suku Hindu di suatu lapangan terbuka. Perang tanding ini dapat didamaikan dan sejak saat itu suku Karo disebut sebagai kaum tiga ratus dan kaum Hindu disebut kaum empat ratus.

Dikemudian hari terjadi pencampuran antar suku Karo dengan suku Hindu dan mereka disebut sebagai kaum Ja Sandang. Golongan lainnya adalah Kaum Imeum Peuet dan Kaum Tok Batee yang merupakan campuran suku pendatang, seperti: Kaum Hindu, Arab, Persia, dan lainnya.

Latar belakang ini menjadikan pengucapan kata Haru atau Aru ini berubah menjadi Karo. Inilah diperkirakan awal terbentuknya nama Karo.

Menurut cerita turun temurun masyarakat Karo, sebelum klen Karo-Karo, Ginting, Sembiring, Tarigan dan Perangin-angin menjadi bagian dari masyarakat Karo sekarang, telah ada penduduk asli Karo pertama dan dengan kedatangan kelompok merga Karo-Karo, Ginting, Sembiring, Tarigan dan Perangin-angin, akhirnya membuat masyarakat Karo semakin banyak dengan percampuran perkawinan antara bangsa bangsa pendatang tersebut karogaul's.

Menurut Neumann wilayah Karo adalah suatu wilayah yang luas, yang terlepas dari perbedaan-perbedaan antar suku, yang menganggap dirinya termasuk ke dalam masyarakat adat Karo, yang berbeda dengan Batak Toba, Batak Pak-Pak, Batak Timur atau Simalungun.

Seluruh perpaduan suku-suku Karo ini diikat oleh suatu dialek yang dapat dimengerti dimana-mana dan hampir tidak ada perbedaannya antara yang satu dengan yang lain walau berbeda daerah di dataran tinggi Karo dan Simalungun serta di Dairi dan dataran rendah di Deli Serdang dan Langkat serta Medan saat ini yang lebih di kenal dengan Karo Dusun dan Karo Jahe karogaul's.

Bangsa atau Suku Karo berada dan menyebar di Langkat, Deli Serdang dan Dataran Tinggi Karo sampai Tanah Alas Propinsi Aceh atau Aceh Tenggara).
 
Sementara itu Parlindungan membagi wilayah Karo menjadi dua bahagian yaitu Wilayah Karo Gunung, wilayah ini terletak 1000 meter di atas permukaan laut yang mencakup di sekitar Gunung Sinabung dan Gunung Sibayak dan wilayah Karo Dusun, 100 meter di atas permukaan laut karogaul's.

Wilayah ini berada di luar dari Wilayah Karo Gunung yang mencakup Langkat, Deli Serdang, Simalungun, Pak-Pak Dairi sampai Tanah Alas.