Produk Pilihan
Kesing KaroSejarah Kerajaan Haru (Karo) Serta Hubungannya Dengan Aceh
Publikasi 21 April 2017
Karogaul.com - Suku Karo
merupakan salah satu suku terbesar di Sumatera Utara. Nama suku ini dijadikan
salah satu nama Kabupaten di salah satu wilayah yang mereka diami (dataran
tinggi Karo) yaitu Tanah Karo yang terletak di kabupaten karo. Suku ini
memiliki bahasa sendiri yang disebut Bahasa Karo atau Cakap Karo.
Karo
adalah suku bangsa yang mendiami wilayah Sumatera Utara dan sebagian Aceh yang
meliputi Kabupaten Karo, Kabupaten Aceh Timur, Kabupaten Langkat, Kabupaten
Dairi, Kabupaten Simalungun, dan Kabupaten Deli Serdang dan Medan.
Dalam
beberapa literatur tentang Karo, etimologi Karo berasal dari kata Haru atau
Aru. Kata Haru atau Aru ini berasal dari nama kerajaan Haru di daerah Sumatera
Bagian Utara.
Kerajaan
Haru-Karo (Kerajaan Aru) mulai menjadi kerajaan besar di Sumatera, namun tidak
diketahui secara pasti kapan berdirinya. Namun, Brahma Putra, dalam bukunya
"Karo dari Zaman ke Zaman" mengatakan bahwa pada abad 1 Masehi sudah
ada kerajaan di Sumatera Utara yang rajanya bernama "Pa Lagan".
Terdapat
indikasi bahwa penduduk asli Haru berasal dari Suku Karo, seperti nama-nama
pembesar Haru dalam Sulalatus Salatin yang mengandung nama dan Marga Karo dan
menilik dari nama itu merupakan bahasa yang berasal dari suku Karo.
Kerajaan
Haru-Karo diketahui tumbuh dan berkembang bersamaan waktunya dengan tumbuhnya
dan munculnya Kerajaan Majapahit, Sriwijaya, Johor, Malaka dan Aceh.
Terbukti
karena kerajaan Haru pernah berperang dengan kerajaan-kerajaan tersebut.
Kerajaan Haru pada masa keemasannya, pengaruhnya tersebar mulai dari Aceh Besar
hingga ke sungai Siak di Riau.
Kerajaan
Aru atau Haru merupakan sebuah kerajaan yang pernah berdiri di wilayah pantai
timur Sumatera Utara sekarang. Nama kerajaan ini disebutkan dalam
Pararaton(1336) dalam teks Jawa Pertengahan (terkenal dengan Sumpah Palapa)
yang berbunyi ;
“Sira Gajah
Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus
kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram,
Tañjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompu, ring Bali, Sunda, Palembang,
Tumasik, samana ingsun amukti palapa”
Dalam
bahasa Indonesia mempunyai arti ;
“Dia,
Gajah Mada sebagai patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa, Gajah Mada
berkata bahwa bila telah mengalahkan (menguasai) Nusantara, saya (baru akan)
melepaskan puasa, bila telah mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru,
Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan)
melepaskan puasa
Sebaliknya
tidak tercatat lagi dalam Kakawin Nagarakretagama (1365) sebagai negara bawahan
sebagaimana tertulis dalam pupuh 13 paragraf 1 dan 2.
Sementara
itu dalam Suma Oriental disebutkan bahwa kerajaan ini merupakan kerajaan yang
kuat Penguasa Terbesar di Sumatera yang memiliki wilayah kekuasaan yang luas
dan memiliki pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh kapal-kapal asing.
Dalam
laporannya, Tomé Pires juga mendeskripsikan akan kehebatan armada kapal laut
kerajaan Aru yang mampu melakukan pengontrolan lalu lintas kapal-kapal yang
melalui Selat Melaka pada masa itu.
Dalam
Sulalatus Salatin Haru disebut sebagai kerajaan yang setara kebesarannya dengan
Malaka dan Pasai. Peninggalan arkeologi yang dihubungkan dengan Kerajaan Haru
telah ditemukan di Kota Cina dan Kota Rantang.
Terdapat
perdebatan tentang lokasi tepatnya dari pusat Kerajaan Haru. Winstedt
meletakkannya di wilayah Deli yang berdiri kemudian, namun ada pula Gilles
menyatakan di dekat Belawan. Sementara ada juga yang menyatakan lokasi Kerajaan
Aru berada di muara Sungai Wampu (Teluk Haru/Langkat).
Kemerdekaan
Haru berakhir pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda dari Aceh, yang naik
tahta pada 1607.
Dalam
surat Iskandar Muda kepada Best bertanggal tahun 1613 dikatakan, bahwa Raja Aru
telah ditangkap dengan 70 ekor gajah dan sejumlah besar persenjataan yang
diangkut melalui laut untuk melakukan peperangan-peperangan di Aru atau Haru.
Dalam
masa ini sebutan Haru atau Aru juga digantikan dengan nama Deli dengan
tampilnya Gojah Pahlawan panglima Aceh keturunan India dari Delhi yang
mengawini putri Raja Urung Sunggal Serbanyaman Nang Baluan Br Surbakti.
Wilayah
Haru kemudian mendapatkan kemerdekaannya dari Aceh pada 1669, dengan nama
Kesultanan Deli. Hingga terjadi sebuah pertentangan dalam pergantian kekuasaan
pada tahun 1720 menyebabkan pecahnya Deli dan dibentuknya Kesultanan Serdang
pada tahun 1723.
Berkaitan
dengan penguasa Aru, tidak dapat dipisahkan dengan peran lembaga Raja Berempat,
yang menurut Peret (2010) telah ada sebelum pengaruh Aceh.
Raja
Urung di pesisir ini meliputi Urung Sunggal. Urung XII atau Sepulu dua Kuta,
Urung Sukapiring dan Urung Senembah, yang masing-masing berkaitan dengan Raja
Urung di dataran tinggi (Karo), yakni Urung Telu Kuru merga Karo-Karo), Urung
XII Kuta (merga Karo-Karo), Urung Sukapiring (merga Karo-Karo) dan Urung VII
Kuta (merga Barus).
Dalam
kesempatan berikut, Raja Berempat ini berperan dalam penentuan calon pengganti
Sultan di Deli/Serdang, dengan menempatkan Datuk Raja Urung Sunggal Serbanyaman
sebagai Ulun Janji.
Sejarah
perjalanan Karo juga tidak bisa di pisahkan dengan saudaranya suku Alas dan Gayo
di Aceh. Suku Karo di Aceh Besar yang dalam bahasa Aceh disebut Karee dan
keberadaan suku Haru-Karo di Aceh ini diakui oleh H. Muhammad Said dalam
bukunya "Aceh Sepanjang Abad", (1981).
Beliau
menekankan bahwa penduduk asli Aceh Besar adalah keturunan mirip Batak. Namun
tidak dijelaskan keturunan dari Batak mana penduduk asli tersebut.
Sementara
itu, H. M. Zainuddin dalam bukunya "Tarich Atjeh dan Nusantara"
(1961) mengatakan bahwa di lembah Aceh Besar disamping terdapat kerajaan Islam
terdapat pula kerajaan Karo. Selanjunya disebutkan bahwa penduduk asli atau
bumi putera dari ke-20 mukim bercampur dengan suku Karo.
Brahma
Putra, dalam bukunya "Karo Sepanjang Zaman" mengatakan bahwa raja terakhir
suku Karo di Aceh Besar adalah Manang Ginting Suka.
Kelompok
karo di Aceh kemudian berubah nama menjadi "Kaum Lhee Reutoih" atau
Kaum Tiga Ratus. Penamaan demikian terkait dengan peristiwa perselisihan antara
suku Karo dengan suku Hindu di sana yang disepakati diselesaikan dengan perang
tanding.
Sebanyak
tiga ratus (300) orang suku Karo akan berkelahi dengan empat ratus (400) orang
suku Hindu di suatu lapangan terbuka. Perang tanding ini dapat didamaikan dan
sejak saat itu suku Karo disebut sebagai kaum tiga ratus dan kaum Hindu disebut
kaum empat ratus.
Dikemudian
hari terjadi pencampuran antar suku Karo dengan suku Hindu dan mereka disebut
sebagai kaum Ja Sandang. Golongan lainnya adalah Kaum Imeum Peuet dan Kaum Tok
Batee yang merupakan campuran suku pendatang, seperti: Kaum Hindu, Arab,
Persia, dan lainnya.
Latar
belakang ini menjadikan pengucapan kata Haru atau Aru ini berubah menjadi Karo.
Inilah diperkirakan awal terbentuknya nama Karo.
Menurut
cerita turun temurun masyarakat Karo, sebelum klen Karo-Karo, Ginting,
Sembiring, Tarigan dan Perangin-angin menjadi bagian dari masyarakat Karo
sekarang, telah ada penduduk asli Karo pertama dan dengan kedatangan kelompok
merga Karo-Karo, Ginting, Sembiring, Tarigan dan Perangin-angin, akhirnya
membuat masyarakat Karo semakin banyak dengan percampuran perkawinan antara
bangsa bangsa pendatang tersebut.
Menurut
Neumann wilayah Karo adalah suatu wilayah yang luas, yang terlepas dari
perbedaan-perbedaan antar suku, yang menganggap dirinya termasuk ke dalam masyarakat
adat Karo, yang berbeda dengan Batak Toba, Batak Pak-Pak, Batak Timur atau
Simalungun.
Seluruh
perpaduan suku-suku Karo ini diikat oleh suatu dialek yang dapat dimengerti
dimana-mana dan hampir tidak ada perbedaannya antara yang satu dengan yang lain
walau berbeda daerah di dataran tinggi Karo dan Simalungun serta di Dairi dan
dataran rendah di Deli Serdang dan Langkat serta Medan saat ini yang lebih di
kenal dengan Karo Dusun dan Karo Jahe.
Bangsa
atau Suku Karo berada dan menyebar di Langkat, Deli Serdang dan Dataran Tinggi
Karo sampai Tanah Alas Propinsi Aceh atau Aceh Tenggara).
Sementara
itu Parlindungan membagi wilayah Karo menjadi dua bahagian yaitu Wilayah Karo
Gunung, wilayah ini terletak 1000 meter di atas permukaan laut yang mencakup di
sekitar Gunung Sinabung dan Gunung Sibayak dan wilayah Karo Dusun, 100 meter di
atas permukaan laut.
Wilayah
ini berada di luar dari Wilayah Karo Gunung yang mencakup Langkat, Deli
Serdang, Simalungun, Pak-Pak Dairi sampai Tanah Alas.
Artikel
Baca Artikel Lainnya
Review Product
HYPE GAUL
-
Karogaul.com - Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara merupakan daerah yang mengintari Kota Pematangsiantar. Selain memiliki pantai-p...
-
Karogaul.com - Objek wisata di Klaten memang tidak perlu diragukan lagi. Misalnya saja objek wisata air yang ada di Klaten, Jawa Tengah. ...
-
Karogaul.com - Siapa juga yang pernah datang ke sini pasti akan tertambat hatinya. Ingin datang sekali lagi. Begitu indah pesona Danau Ma...
-
Karogaul.com - Berwisata saat akhir pekan maupun saat hari libur memang sangat menyenangkan. Apa lagi berwisata ke tempat yang alami tentu ...
-
Karogaul.com - Apakah kamu sudah tahu tempat-tempat wisata keren di Berastagi ? Ada hal menarik dari semua tempat wisata di Berastagi yaitu...

Jasa Pengiriman
Bank Transfer