Veny Sinuraya : Suku-suku besar di Afrika, sangat menghormati para wanita sekalipun nyawa taruhannya
Iriana Jokowi (Ibu Negara) & Veny Sinuraya (Reporter Kompas TV) |
Karogaul.com - Ketika di beberapa tempat wanita sering dianggap rendah dan
dilecehkan sebagai objek seksual, maka Benua Afrika, tepatnya Afrika Selatan
bisa menjadi contoh yang baik, bagaimana tradisi adat sangat menghormati
wanita-wanita suku mereka.
Jangan pernah mencoba menyentuh wanita mereka tanpa
izin jika tidak ingin terkena denda dengan jumlah besar. Apalagi jika sampai
melecehkan, bisa-bisa nyawa taruhannya!
Terbentuk dari sejarah antar suku yang panjang dan penuh
pertarungan, beberapa suku di benua Afrika ini masih bisa menjaga eksistensi
mereka sampai masa sekarang. Di Afrika Selatan, tersebar beberapa suku, antara
lain suku Zulu, Xhosa, Pedi, Basotho dan Ndebele.
Meskipun berbeda dalam hal adat istiadat, namun kelima suku
terbesar yang mendominasi penduduk Afrika Selatan masa ini memiliki kesamaan,
yakni sangat menghormati dan menjaga wanita-wanita di suku mereka.
Walaupun
wanita masih banyak melakukan peran domestik seperti mengambil air, memasak,
dan menyiapkan kebutuhan suaminya, namun mereka sangat dihormati. Hal ini
dikarenakan kedudukan wanita dalam suku sangat terhormat, karena dianggap
membawa kehidupan bagi manusia, juga menjaga dan memelihara anak-anak suku
mereka sehingga keturunan mereka tidak punah dari muka bumi ini.
Saking terhormatnya, untuk menikahi wanita dari sebuah suku
diperlukan pengorbanan material seperti memberikan lembu siap potong.
“Jika ingin menikahi seorang gadis Zulu, si pria harus
memiliki 11 lembu untuk melamarnya. Jika tidak, bersiaplah hidup membujang
hingga akhir hayat.” ujar seorang pria Zulu dari desa wisata Lesedi.
Tombak
peperangan suku Zulu pantang menyentuh wanita
Suku Zulu adalah salah satu suku asli terbesar di Afrika
Selatan. Mereka telah hidup sejak 10.000 tahun lalu dan melewati berbagai
sejarah dunia, satu yang terkenal di antaranya adalah kebijakan politik
apartheid yang pernah diberlakukan di Benua Afrika.
Akibat politik apartheid, penduduk Zulu sempat diasingkan di
KwaZulu, dalam bahasa lokal berarti tempat bagi orang Zulu. Sampai saat ini
sekitar 10-11 juta jiwa anggota suku masih bertahan hidup di KwaZulu, tepatnya
di Provinsi KwaZulu-Natal, Republik Afrika Selatan, dan sebagian kecil lagi
tersebar di Zimbabwe, Zambia, dan Mozambik.
Suku Zulu percaya pada Tuhan alam semesta, yang disebut Unkulunkulu. Mereka mengasumsikan
diri berasal dari laut walaupun hidup di daratan. Di darat mereka tinggal
secara nomaden untuk mencari tempat yang subur dan banyak rumput untuk makanan
ternak sehingga secara otomatis mata pencaharian mereka adalah menggembala
ternak dan berburu.
Tidak hanya itu. Penduduk Zulu juga terkenal sebagai para
pejuang hebat. Kebiasaan berperang dan berburu ini dimulai sejak pemimpin
mereka yang bernama Shaka atau yang lebih dikenal dengan nama ‘Black
Napoleon’ berjaya pada abad 19. Dengan Shaka, mereka aktif berjuang melawan
kolonialisme Inggris yang saat itu menduduki tanah mereka dan memaksa mereka
keluar dari tanah leluhurnya.
Akibatnya tentu bisa diperkirakan, yakni pertempuran
berdarah di mana-mana. Yang menakjubkan, bagaimanapun hebatnya mereka
berperang, namun para pria di suku ini memiliki sumpah, yakni tombak peperangan
yang mereka bawa boleh mengenai siapa saja, namun wanita tidak boleh disakiti
untuk alasan apa pun dalam sebuah pertarungan.
"Kami boleh membunuh para pria. Tapi tombak ini sama
sekali tidak boleh menyentuh wanita dan anak-anak," ujar seorang pria
Zulu.
Tradisi
unik gadis dan wanita suku Zulu
Ada
salah satu tradisi unik yang dijalankan sampai saat ini oleh suku Zulu. Selama berabad lamanya para gadis suku ini telah menarikan
tarian alang-alang untuk keluarga kerajaan Zulu. Sambil menari, alang-alang
atau bambu dihentak-hentakkan ke tanah dan mereka menari sambil bernyanyi
berputar.
Selama tarian ini berlangsung penguasa kerajaan Zulu, yakni
Raja Goodwill Zwelithini akan memilih salah satu dari penari-penari tersebut
untuk diboyong ke istana dan dijadikan istri.
Uniknya,
para penari yang seluruhnya masih gadis tidak mengenakan apa pun, selain
manik-manik yang tergantung di leher mereka dan tepian rok pendek. Hal ini
menyimbolkan bahwa mereka adalah gadis yang masih perawan dan bisa merawat
tubuh mereka. Gadis-gadis ini malah bangga menunjukkan kepolosan mereka.
Tapi tentu saja tidak ada pikiran buruk dalam benak
laki-laki anggota suku, karena dari kecil mereka telah dididik untuk
menghormati wanita suku mereka dan tidak boleh menyentuh kecuali telah
menikah.
Sampai
sekarang tarian ini masih ditarikan dan menarik perhatian 25.000 wisatawan yang
berkunjung tiap tahunnya. Raja Zwelithini sebenarnya telah meminta para penari
untuk menggunakan sarung atau minimal pakaian dalam untuk menutupi tubuh
mereka.
Ide
ini langsung ditolak para penari karena jika mereka harus menutupi tubuh dengan
kain, maka mereka akan kehilangan kesempatan untuk menunjukan nilai keperawanan
mereka yang sangat dijunjung tinggi dalam adat. Para gadis memang lebih bangga
memakai pakaian yang minim, karena jika sudah bertunangan dan menikah mereka
diwajibkan memakai pakaian yang tertutup.
Raja Zwelithini kerap marah karena pengunjung yang datang –
kebanyakan adalah orang Eropa – seringkali mengambil foto mereka dengan tujuan
tidak sopan.
“Perayaan adat kami telah dinodai karena banyaknya tanggapan
yang salah dari para pengunjung. Mereka melihat gadis-gadis kami menari dan
berakhir dengan hal-hal yang seharusnya tidak mereka lihat.” ujar raja geram.
Jika gadis-gadis dalam suku masih boleh mempertunjukkan
tubuh mereka, maka lain halnya dengan wanita dewasa yang akan memasuki kehidupan
pernikahan. Ritual lengkap dijalankan untuk melepas mempelai perempuan untuk
dibawa oleh mempelai laki-laki.
Jika ada satu gadis Zulu yang menikah, maka seluruh wanita
di desa akan sibuk mempersiapkan bermacam-macam hal, seperti makanan yang akan disajikan
sampai mahar yang akan diberikan dari pihak mempelai laki-laki.
Mahar
yang harus diserahkan untuk menikahi gadis Zulu memang dianggap sangat mahal,
berupa 11 ekor lembu dan sebuah bantal dai kayu. Seorang pria yang ingin
menikah namun tidak mempunyai lembu disamakan dengan zebra tanpa belang.
Sementara bantal kayu itu harus diserahkan seorang suami pada istrinya yang
baru dinikahi. "Supaya istrinya bisa terus memimpikan suami
saat tidur," cerita Tandi, anggota suku yang juga berprofesi sebagai tour
guide.
Warna-warni
wanita suku Ndebele
Jika suku Zulu menghormati wanita mereka dengan menjaga agar
tidak disentuh sembarang orang baik dalam perang maupun dalam kehidupan
sehari-hari, maka wanita suku Ndebele dihormati dengan diberikan berbagai macam
ornamen dan perhiasan untuk dikenakan sehari-hari. Semakin mereka dihargai,
maka semakin banyak perhiasan yang mereka miliki.
Suku ini tinggal di kawasan KwaNdebele di Zimbabwe.
Mereka dikenal sebagai salah satu suku yang memiliki kreativitas warna terbaik
di seluruh dunia. Warna-warna ini begitu dominan dikenakan sebagai ornamen
favorit dalam pakaian sehari-hari mereka hingga menarik perhatian wisatawan
seluruh dunia untuk berkunjung ke beberapa desa adat seperti Desa Ndebele,
Desa adat Lesedi, dan desa Adat Botshabelo atau
Desa Adat Mpumalanga Ndebele.
Kepopuleran warna ini pun tidak terlepas dari peran wanita
suku Ndebele yang memiliki citra personal yang unik. Maka jangan heran jika
mereka memakai banyak lingkaran kuningan, yang disebut idzila, di leher,
lengan, dan kaki dan dimasukkan dengan teknik tali temali yang rumit, dan hanya
boleh dilepas jika sudah meninggal.
Semakin banyak lingkaran kuningan yang mereka kenakan di
tubuh maka mereka dianggap semakin cantik dan semakin tinggi status sosialnya.
Dan semakin kaya sang suami, maka semakin banyak lingkaran kuningan yang
diberikan pada istrinya. Selain lingkaran kuningan, wanita suku Ndebele juga
dihargai dari pakaian yang mereka kenakan.
Pakaian wanita yang telah menikah disebut ijogolo dan
biasanya lebih mewah dan spektakuler. Ijogolo adalah sejenis celemek yang
terbuat dari manik-manik yang berwarna-warni, seperti pakaian pernikahan mereka
dulu. Sementara selimut atau lapisan yang menutupinya disebut nguba dan
ditempeli manik-manik yang menandakan banyaknya pengalaman hidup yang telah
mereka jalani.
Walaupun dihormati dan dihargai dengan berbagai macam
aksesoris yang cantik, namun istri dari laki-laki suku Ndebele juga sangat
menghormati suami mereka. Mereka menunjukkan penghormatannya dengan menggunakan
topi rajut dengan hiasan kepala yang disebut amacubi. Dan sebaliknya, para
suami mendapatkan kebanggaan tersendiri jika datang ke perayaan adat dengan
menggunakan pakaian dan topi yang semuanya dibuat sendiri oleh tangan istri
mereka.
Bagi laki-laki suku Ndebele, peran wanita tidak dapat
tergantikan karena mereka menganggap leluhur mereka adalah seorang wanita yang
– walaupun tidak diketahui namanya - datang dari daerah Manala. Wanita ini
kemudian dikenal sebagai ibu dari Rhululu, salah satu klan terkenal dari suku
Ndebele.
Maka, melecehkan wanita sama saja melecehkan leluhur dan
tidak menghormati keberadaan seluruh anggota suku.
Kisah
Suku Xhosa dan Suku Pedi
Wanita
suku Xhosa juga menempati posisi terhormat sebagai dukun, pemimpin spiritual,
dan penyembuh penyakit. Mereka menjalani pendidikan selama 5 tahun dan
menyembuhkan penyakit melalui kemampuan supranatural dan pengetahuan akan
obat-obatan herbal.
Untuk
meminang wanita suku Xhosa dibutuhkan 26 ekor lembu siap potong. Kulit lembu
akan dijadikan bahan pakaian untuk sang istri dan dagingnya untuk makanan pesta
pernikahan. “Kami sangat mahal, jadi jangan main-main dengan kami,”ujar salah
satu wanita suku Xhosa.
Sementara wanita suku Pedi terkenal mampu mempercantik rumah
dan peralatan memasak mereka dengan tinja sapi. Tinja sapi berfungsi untuk
membuat lantai lebih bersinar dan sebagai bahan dasar semen. (dimuat di KARTINI 2334)