Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hendi Jo : Perang Sunggal Yang Terlupakan

Makam Sri Diraja Datuk Badiuzzaman Surbakti

Di kompleks pemakaman Pamoyanan, Cianjur tak sulit untuk menemukan makam Sri Diraja Datuk Badiuzzaman Surbaktiđź’•. Begitu masuk dan menyebut “makam Istana Deli” maka penjaga komplek pemakaman akan membawa anda ke sebuah pusara kokoh berumpak dua.

“Anak-anak kecil sekitar komplek segenerasi dengan saya dulu menyebutnya sebagai “kuburan kuda”, karena saking begitu besar dan luasnya ruas makam itu,” ujar Aris Mustari (43), anggota komunitas sejarah De Brings Tjiandjoer.

Namun tak ada yang paham siapa sebenarnya Datuk Badiuzzaman Surbakti. Termasuk Iwan, penjaga komplek pemakaman. “ Saya sama sekali tak tahu tentang riwayat Datuk Badiuzzaman Surbakti, yang jelas hampir setiap tahun makamnya sering dikunjungi orang-orang dari luar Cianjur terutama dari Jakarta dan Sumatera,” ujar lelaki muda tersebut.

Dalam catatan arsip-arsip Belanda, nama Datuk Badiuzzaman Surbakti sering ditabalkan sebagai salah satu pemimpin Perang Batak (Batak Oorlog), sebuah penyebutan yang salah kaprah, karena Sunggal merupakan bagian dari Karo. Menurut Profesor Uli Kozok, penyebutan istilah tersebut jelas sangat membingungkan.

“Yang dimaksud dengan Batak ialah Karo. Jadi terjemahan yang lebih tepat daripada Batak Oorlog adalah Perang Karo,ungkap ahli budaya dan sastra Batak dari University of Hawaii, Amerika Serikat itu.

Namun penyebutan Perang Karo juga tidaklah populis. Kalangan sejarawan di Indonesia, lebih sering menyebut salah satu perang terpanjang di Hindia Belanda namun sudah terlupakan itu sebagai Perang Sunggal. Salah satunya Tengku Luckman Sinar, sejarawan Sumatera Utara yang pernah menulis buku berjudul Perang Sunggal (1872-1895).
 
“Perang ini merupakan kejadian yang sangat penting, bukan saja bagi orang-orang Sunggal tapi juga bagi pihak Belanda, karena akibat perang ini mereka harus mengeluarkan ongkos yang sangat besar,” tulis sejarawan yang masih merupakan keturunan Sultan Deli tersebut.

Bibit-bibit Perang Sunggal bermula dari adanya ambisi Kesultanan Deli menguasai lahan orang-orang Sunggal sepeninggal pimpinan mereka Datuk Ahmad pada 1857. Ambisi tersebut harus terjegal saat adik Datuk Ahmad yakni Datuk Kecil melakukan perlawanan. 

Karena merasa tidak yakin dengan kekuatan militernya, pada 1865 Sultan Mahmud mengundang pihak Hindia Belanda untuk terjun dalam konflik tersebut. Sebagai konsesi, secara sepihak ia berjanji akan menyerahkan lahan-lahan subur milik Sunggal kepada maskapai tembakau milik orang-orang Belanda.

Datu Kecil memberikan reaksi keras terhadap persekutuan Deli-Hindia Belanda tersebut. Terlebih pada 1870, saat Sultan Mahmud benar-benar menyerahkan tanah orang-orang Sunggal kepada para pengusaha tembakau Belanda. Bersama Sulong Barat dan Datuk Jalil, Datuk Kecil lantas mempersiapkan 1500 pasukannya. Bentrok pun terjadi.đź’Ł

Perang besar meletus pada 1872. Namun di tengah perlawanan, gabungan kekuatan Deli-Hindia Belanda berhasil menangkap Datuk Kecil, Datuk Jalil, Sulong Barat dan empat panglima perang Sunggal pada November 1872.

“ Setelah 10 bulan disekap di Riau, mereka lalu dibawa ke Batavia…” tulis Tengku Luckman Sinar.

Tertangkapnya para datuk dan panglima perang Sunggal, tidak serta merta menjadikan perlawanan menjadi surut. Dengan dipimpin oleh keponakan Datuk Kecil yakni Datuk Badiuzzaman Surbakti, Perang Sunggal tetap terus berkobar. Begitu dasyat perang tersebut, hingga menurut Asmyta Surbakti, pihak Hindia Belanda harus bekerja keras mengatasinya.

“Belanda tercatat tiga kali mengirim bantuan ekspedisi militernya dari Batavia…” ujar pemerhati sejarah dari Sumatra Heritage Trust tersebut.

Akhir tahun 1894, Hindia Belanda sudah pada tahap patah arang terlibat dalam Perang Sunggal. Mereka kemudian mengajukan tawaran berdamai kepada Datuk Badiuzzaman Surbakti. Sebagai bentuk “keseriusan” mereka mengundang sang datuk untuk langsung melakukan perundingan dengan Gubernur Jenderal Carel Herman Aart van der Wijck di Batavia. Tanpa curiga, undangan tersebut dipenuhi. Bersama adiknya Datuk Alang Mohammad Bahar, sekretarisnya Datuk Mahmood, dan ajudannya bernama Da’im mereka lantas bertolak ke Batavia.

Tetapi setelah sampai di Batavia, bukan perundingan yang diterima namun sebuah penghinaan. Kepada Datuk Badiuzzaman dinyatakan bahwa Gubernur Jenderal akan memaafkan segala “kesalahan” sang datuk jika ia mau bersujud di depan kaki pimpinan Hindia Belanda itu. Tentu saja permintaan itu ditolak mentah-mentah oleh Datuk Badiuzzaman Surbakti. “ Biar mati sekalipun, saya tak akan pernah jongkok minta ampun di depan orang-orang Belanda, ujar sang datuk.

Akibat penolakan itu, hukuman pun langsung cepat turun. Pada 20 Januari 1895, secara definitif, pihak Hindia Belanda mengumumkan bahwa Datuk Badiuzzaman Surbakti dan Datuk Alang dihukum buang seumur hidup. Masing-masing ke Cianjur dan Banyumas. “Ketika kabar itu sampai di Sunggal, 3 (tiga) bulan lamanya rakyat Sunggal menyatakan berkabung…” tulis Tengku Luckman Sinar.