Produk Pilihan
Kesing KaroDjamin Gintings Menyelamatkan Martabat Republik Indonesia
Publikasi 16 Agustus 2017
Djamin Gintings Selamatkan “Daerah Modal”
Opini
oleh USMAN PELLY
Saya masih ingat sosok perwira-perwira TNI ketika itu. Djamin
Gintings orangnya kurus tinggi semampai, selalu pakai peci tentara.
Setelah Kutacane dibombardir dua pesawat pemburu Belanda, esok
paginya saya ikut kakek mengungsi ke sebuah desa sekitar 12 km dari kota.
Setiap pagi saya dan kakek ke kota dari desa pengungsian itu untuk berjualan di
pasar. Kami melewati Macan Kumbang, sebuah perkebunan karet yang dibangun
semasa Jepang. Ternyata beberapa minggu sebelum penyerangan pesawat Belanda
itu, Macan Kumbang, telah menjadi markas pertahanan Let.Kol. Djamin Gintings,
Komandan Resimen IV TNI pindahan dari tanah Karo.
Di kota orang bercerita bahwa markas pertahanan RI itu hijrah
dari Tanah Karo ke Tanah Alas, sesuai kesepakatan Renville. Tanah Karo dianggap
sudah menjadi wilayah Belanda dan Negera Sumatra Timur (NST). Karena itu
kedudukan Kutacane menjadi penting. Kini Tanah Alas menjadi garis pertahanan RI
terdepan menghadapi Belanda. Kota kecil itu bertambah ramai, banyak tentera dan
pengungsi dari Tanah Karo dan Dairi. Mereka sibuk mendirikan rumah-rumah
darurat dan barak-barak pengungsi. Di pinggir sungai (Lawe) Alas dan Lawe Bulan
yang mengapit Kutacane, penuh berjejer Barak pengungsi. Sampai-sampai di
halaman rumah Raja Alas (Polonas), didirikan rumah-rumah bambu yang beratap
rumbia.
Malam hari, jalan satu-satunya yang membelah kota hingar bingar,
motor truk tentera hilir mudik, ada yang membawa pengungsi, pasukan tentera dan
korban yang luka tembak, sebahagian besar dari pertempuran di sekitar
Mardinding (Desa Perbatasan antara Tanah Karo dan Tanah Alas yang menjadi
markas pertahanan Belanda).
Kami melihat Djamin Gintings hanya dari kejauhan, waktu apel
bendera pagi di markas Macan Kumbang, ketika kami melintasi markas itu. Atau
waktu menghadiri perayaan nasional dan rapat umum di Lapangan Bola Kutacane.
Saya masih ingat sosok perwira-perwira TNI ketika itu. Djamin Gintings orangnya
kurus tinggi semampai, selalu pakai peci tentara, sedang Kol. Muhammad Din
(staf Gubernur Militer Aceh dan Tanah Karo dari Kutaraja). Beliau selalu
berpakaian tentera Jepang lengkap dengan samurainya. Kami sangat mengagumi
mereka dan selalu bergaya seperti komandan-komandan TNI waktu itu.
Demikianlah rona kehidupan Kutacane, kota kecil di front
perbatasan pertahanan RI dan Belanda (1947), sibuk dengan hilir mudik tentera
dan pengungsi. Kami siap-siap melompat ke lobang pertahanan yang disiapkan
dibelakang sekolah, ketika serine dan pesawat pemburu Belanda datang memuntahkan
peluru. Keadaan kota kecil yang sesak itu mulai berobah ketika penyerahan
kedaulatan (1950).
Seminar Brastagi
Waktu surat permohonan anak tertua Djamin Gintings, Riemenda
Jamin Gintings SH,MH (lahir di Kutacane) dan adiknya Dra Riahna Jamin Gintings,
M.Sc datang--agar saya memberi makalah dalam seminar Djamin Gintings di
Berastagi--untuk mengusulkan beliau sebagai Pahlawan Nasional, saya sambut
dengan baik. Di benak saya terbuhul sesuatu yang terus menggema dari pengalaman
semasa remaja di Kutacane dan keberhasilan Djamin Gintings memepertahankan
garis batas pertahanan Indonesia-Belanda di Tanah Alas dengan melakukan perang
gerilya di Tanah Karo.
Sesuatu yang kemudian makin jelas di benak saya, sesudah saya
melakukan studi dari berbagai buku dan catatan historis auto biografi kedua
bukunya: ”Titi Bambu” dan ”Bukit Kadir,” serta dua buku standar lainnya seperti
”Kadet Brastagi” (1981) dan ”Jendral Soedirman” (Pribadi, 2009), saya mulai
berpikir bahwa Djamin Gintings bukan sembarang hero atau pahlawan perang
kemerdekaan. Tetapi beliau telah menyelamatkan daerah modal republik,
satu-satunya di luar pulau Jawa.
Perintah Mundur
Atas perintah Kol. Hidayat Komandan Divisi X, yang berkedudukan
di Kutaradja, Djamin Gintings diperintahkan mundur ke Tanah Alas Kutacane.
Perintah ini merupakan kesepakatan RI dan Belanda yang dituangkan dalam
perjanjian Renville (1947). Dalam perjanjian itu semua wilayah Tanah Karo
dianggap merupakan daerah pendudukan Belanda, sehingga semua pasukan TNI harus
disingkirkan dari daerah itu. Djamin Gintings harus mengosongkan seluruh
wilayah Tanah Karo, walaupun sebagian besar wilayah itu, secara de facto masih
berada dalam kekuasaan republik, yaitu daerah antara Lisang dan Lau Pakam.
Dengan perasaan perih dan pilu Djamin Gintings dan pasukannya
melaksanakan keputusn itu. Semua pasukan Resimen IV mundur ke Tanah Alas dan
pasukan Belanda dengan leluasa memasuki daerah-daerah yang dikosongkan itu.
Jendral Soedirman selaku Panglima Besar TNI, waktu itu turut
merasakan betapa keputusan Renville itu melukai hati para prajuritnya. Sebab
itu melalui radio, beliau menyampaikan amanatnya, ”Anak-anakku anggota Angkatan
Perang, tiap-tiap perjuangan mempunyai pasang surutnya, tetapi dengan iman kita
tetap teguh dan jiwa yang tetap besar, kita masih tetap sanggup untuk mengatasi
percobaan ini dan percobaan-percobaan lainnya yang mungkin akan menyusul lagi.”
Amanat Panglima Besar Jendral Soedirman yang ditutup dengan
perintah agar TNI tetap bertanggungjawab terhadap jiwa dan harta
rakyat--ternyata mampu menghibur kekecewaan para prajurit TNI--termasuk Djamin
Gintings dan pasukannya. Dengan penuh semangat keprajuritan pasukan Resimen IV
meninggalkan kantong-kantong gerilya dan markas pertahanannya untuk berhijrah
ke Kutacane (Tanah Alas).
Dalam sejarah perang kemerdekaan, hijrah pasukan-pasukan TNI
tidak hanya di Tanah Karo tetapi juga di Jawa Barat. Pasukan Siliwangi
umpamanya harus hijrah meninggalkan Jawa Barat ke Jawa Timur (yang dikenal
dengan istilah the long march dalam film Darah dan Doa, 1952). Luas wilayah
republik sesudah perjanjian Renville yang dianggap sebagai ”daerah modal”
semakin mengecil dan secara ekonomi dan politis semakin terpojok (Hardiyono
2000).
Di Jawa hanya meliputi Daerah Istimewa Yogyakarta, Surakarta,
Kediri, Kedu, Madiun, sebagian Keresidenan Semarang, Pekalongan, Tegal, dan
bahagian Selatan Banyumas (Pribadi 2009). Sedang di luar Pulau Jawa hanya
tinggal Provinsi Aceh. Mungkin waktu itu tidak semua perajurit TNI yang yang
hijrah ke Kutacane, menyadari betapa pentingnya Daerah Modal Aceh untuk
dipertahankan, terutama apabila dilihat dari strategi geopolitik nasional dan
internasional.
Mengobarkan Perang Grilya
Setelah Macan Kumbang di Kutacane dibangun sebagai markas
resimen dan persiapan logistik, permukiman keluarga diselesaikan, maka
pembangunan teritorial bersama pejabat pemerintahan Tanah Alas segera
dilaksanakan oleh Djamin Gintings. Beliau masuk dan keluar kampung sampai
kepelosok Tanah Alas, bertemu dengan Penghulu Kampung (Kepala Desa). Di benak
beliau berkecamuk pemikiran, kalau Belanda menyerbu dan menduduki Kutacane,
mampukah Resimen IV mempertahankan Tanah Alas dengan mengembangkan perang
grilya? Pertanyaan itulah yang hendak beliau jawab.
Tetapi, pada tgl. 22 Desember 1948, malam harinya Djamin
Gintings mengumpulkan semua perwira stafnya, dan semua Komandan Batalion. Rapat
semalam suntuk sampai pagi hari itu membahas : (1) Apakah Tanah Alas mampu dipertahankan
sampai tetes darah terakhir dengan cara militer konvensional, sementara
persenjataan yang tidak seimbang dan persediaan amunisi yang terbatas pula,
atau (2) TNI melakukan segera serangan terhadap kedudukan Belanda di Tanah
Karo, berarti melanggar garis statusquo walaupun dengan cara bergrilya dengan
perlengkapan seadanya? (Kadet Brastagi, 1981)
Kedua pertanyaan itu tidak dapat segera dijawab. Apabila Belanda
menyerang secara frontal Tanah Alas, dengan peralatan yang modern (panser,
tank, pasukan berkuda/logistik) serta backing pesawat tempur, maka Kutacane
pasti dapat segera diduduki Belanda. Ketika Tanah Alas jatuh ke tangan Belanda,
maka Blang Kejeren, Singkel dan Aceh Selatan akan terancam pula. Daerah
belakang Aceh ini, merupakan titik-titik lemah pertahanan Provinsi Aceh. Memang
pertahanan Aceh bagian Timur dan sepanjang rel kereta api cukup kuat dan solid.
Karena itu pula, waktu ada usul mengganti Djamin Gintings sebagai Komandan
Resimen IV yang pindah ke Kutacane dengan Kol. Muhammad Dien. Tapi Gubernur
Militer Aceh dan Tanah Karo waktu itu, Tgk. M. Daud Beureueh tidak setuju dan
tetap mempertahankan Djamin Gintings. Tanah Karo dan Djamin Gintings tidak
mungkin dipisahkan, sedangkan Tanah Karo merupakan bumper (penyangga) daerah
belakang Provinsi Aceh yang menjadi modal republik.
Keesokan hari, sekitar jam tujuh pagi setelah perundingan di
markas Macan Kumbang itu, pesawat tempur Belanda kembali memuntahkan pelurunya
kearah pertahanan Djamin Gintings. Anehnya, Let.Kol. Djamin Gintings, seakan
mendapat isyarat dari serangan udara itu untuk bertindak cepat. Tanpa meminta
persetujuan Komandan Divisi (Kol.Hidayat di Kutaraja), beliau memutuskan untuk
segera menyerang Mardinding dan Lau Balang. Keduanya adalah pos terdepan
Belanda di Tanah Karo yang berbatasan langsung dengan Aceh (Tanah Alas).
Keputusan merebut kedua benteng Belanda ini, bertepatan pula
dengan siaran radio yang menyatakan Belanda telah menyerbu dan menduduki
Yogyakarta, Presiden dan Wakil Presiden RI kemudian ditawan. Dalam pidato
singkat penyerbuan ke Tanah Karo, Djamin Gintings sebagai Komandan Resimen IV,
terus terang menyatakan bahwa ” ...memang saya belum mendapat perintah dari
Komandan Divisi ... tetapi demi keselamatan Negara RI saya akan memikul
tanggung jawab penuh untuk segera menyerang daaerah yang diduduki Belanda itu
...”
Penyerangan mendadak dan berani yang dilakukan Djamin Gintings
ini, memang di luar dugaan Belanda, sehingga Belanda kucar-kacir mempertahankan
Mardinding dan Lau Balang. Hanya dengan keunggulan senjata, bantuan pasukan
berlapis baja dari Kabanjahe dan logistik militer yang kuat, serta merelakan
korban yang tidak sedikit, Belanda dapat bertahan. Begitu juga dipihak Resimen
IV, banyak korban dan peristiwa tragis yang mereka lalui seperti pristiwa Bukit
Kadir yang menewaskan perwira resimen Abd.Kadir yang gagah berani.
Dampak penyerbuan Mardinding dan Lau Balang (walaupun tidak
berhasil direbut), menyebabkan semua pasukan Belanda harus mengkonsentrasikan
diri pada benteng yang lebih permanen dan kuat menghadapi pasukan Djamin
Gintings. Apalagi sesudah serangan frontal itu, Djamin Gintings mengobarkan
perang grilya. Taktik hit and run (serang dan menghindar)--selalu menimbulkan
kerusakan yang tidak terduga di pihak Belanda. Demikianlah selama tujuh bulan
(Januari s/d Agustus 1949), perang grilya berkecamuk menyebabkan Belanda
terkooptasi di Tanah Karo, dan terpaksa melupakan serangan ke Kutacane (Tanah
Alas), sampai penyerahan kedaulatan (1950).
Dalam Konperensi Meja Bundar (23 Agustus 1949), Provinsi Aceh
secara utuh dapat didaftarkan sebagai ”daerah modal” Republik Indonesia di luar
pulau Jawa dalam status RI sebagai salah satu negara bagian dari RIS. Djamin
Gintings telah berhasil menyelamatkan daerah modal itu, yang berarti
menyelamatkan martabat Republik Indonesia terutama di mata dunia internasional.
Djamin Gintings bukan sembarang pahlawan kemerdekaan.
MONDAY, 07 MAY 2012
02:29
(dat03/wol/waspada)
Sumber : Waspada
Karosiadi
Artikel
Baca Artikel Lainnya
Review Product
HYPE GAUL
-
Karogaul.com - Warga Deli Serdang kini punya tempat wisata baru. Tempatnya di Dusun VI Rawa Badak, Desa Pematang Johar, Kecamatan Labuhan ...
-
Karogaul.com - Tinggal di kota besar yang sehari-harinya penuh dengan hiruk-pikuk kegiatan kota pastinya membuat kita jenuh dan penat. Be...
-
Karogaul.com - Siapa sangka Sumatera Utara terus menambah daftar destinasi wisatanya. T Garden Medan yang terletak di Namo rambe, Deli S...
-
Karogaul.com - Punya rencana menjelajahi tempat wisata Medan? Jika iya, tidak ada salahnya untuk berkeliling ibu kota Sumatera Utara, yang ...
-
Karogaul.com - Ada banyak alasan mengapa anda wajib menghabiskan waktu di Danau Toba, selain menikmati pesonanya; Anda wajib menjelajahi te...

Jasa Pengiriman
Bank Transfer