Kumpul Ginting, Pelarian yang Sukses
Saya lahir pada tahun 1931
di Desa Negeri, Kecamatan Munthe, Kabupaten Karo. Saya adalah anak dari seorang
kaum tani sedang. Kam tahu, kan bagaimana watak kaum tani sedang, kan? Itulah
yang tergores dalam diri saya. Pendidikan saya terakhir hanya sampai di.., apa
itu, dulu pada waktu kami disebut memang sudah S2. Kalau S2 sekarang pada saat
itu disebut sarjana muda. Kalau S1 berarti tingkat 1 pada waktu itu. Namun
karena meletus peristiwa, saya tidak bisa menyelesaikan studi saya di USU,
studi Hukum. Extenkost dulu saya di USU.
Kami ada 400 orang yang extenkost dan hanya 25 orang yang lulus. Suku Karo hanya 5 orang. Ketika itu sebenarnya saya sudah di partai (baca: PKI–Red). Namun sebelum di partai saya sudah bergabung di IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia). Saya dulu di Solo selama 4 tahun setelah saya tamat SMP. Saya belajar di Sekolah Kemasyarakatan (SPKN) di sana. Saya sekretaris di Solo.
Kembali saya di Medan, saya ditempatkan di tempat terendah dalam partai, yaitu CR Comitte Resort) di Kampung Babura. Saya juga ditempatkan di Departemen Perburuhan. Begitulah sulitnya peningkatan di PKI itu. Sesudah beberapa tahun saya di CR, barulah saya dipindahkan di anggota Dewan Harian Pimpinan Partai Tingkat Medan Baru. Menjelang peristiwa, saya sudah ditempatkan sebagai orang kedua partai di Tanah Karo. Pada saat itu sudah tahun 1964.
Saya punya sebuah pengalaman menarik di sana. Pada tanggal 1 Mei 1964 terjadi peristiwa yang cukup besar. Yaitu pertentangan antara Pemuda Rakyat dengan Pemuda Pancasila, yang pada waktu dipimpin oleh Murba. Pada saat kejadian itu nama saya disebut-sebut di Tanah Karo bahkan sampai ke Jakarta. Makanya pada tahun 1965 pada saat peristiwa G30S/PKI ada pengumuman yang mengatakan, “Barangsiapa yang bisa menangkap Kumpul Ginting akan mendapat hadiah”. Yang mengatakan itu dulu adalah Matang Sitepu, mantan bupati Tanah Karo.
Tempat Cetak Kesing & Karo Karo :
Sesudah terjadi peristiwa saya dicari-cari. Arahan partai (PKI) pada saat itu adalah kondisi sudah gawat. Tidak ada arahan partai untuk menyerah, sama sekali tidak ada. Jadi kalau ada kawan-kawan yang menyerah, ya, saya tidak tahu. Itu bukan garis partai.
Menyingkir ke desa! Itulah garis partai pada waktu itu. Makanya saya menyingkir ke desa-desa. Saya juga pindah dari desa ke kota, dari kota ke kota, lalu saya pidah ke desa lagi.
Saya berpindah dari Tanah Karo ke Langkat, ke Dairi, Tebing Tinggi, Deli Serdang, Medan lagi, begitu seterusnya. Yang mengejar-ngejar kami pada saat itu adalah Buterpra bersama Komanda Aksi. Komando aksi adalah gabungan para pemuda. Di Kampung Telaga pada saat itu diserbu di sana. Pada sat itu teman kami ditangkap 6 orang. Dan sampai sekarang tidak tahu kami bagaimana nasib mereka.
Dan itu juga adalah salah satu keuntungan kita yang bermarga ini, baik suku Karo, Batak Toba, Simalungun, dan sebagainya itu. Saya banyak diselamatkan oleh karena faktor-faktor suku itu. Seperti contoh, saya pernah bersembunyi di markas Bataliyon Kisaran, di sana pada waktu itu komandannya Mayor Bangun. Dia itu kalimbubu saya dari Payung. Saya dibiarkannya. Tetapi sesudah keadaan agak gawat saya disuruhnya pergi. Di sini juga keuntungan adanya marga-marga tadi. Itupula makanya menurut saya tidak banyak di Tanah Karo yang mati. Mungkin diselamatkan oleh keluarga-keluarga. Setahu kami yang mati di sana “hanya” 33 orang. Tetapi kalau di daerah lain seperti di Langkat, Rantau Prapat, dan daerah lain jumlahnya bisa ratusan.
Mungkin karena faktor suku juga makanya di daerah Dairi yang meninggal hanya 7 orang. Mungkin juga karena marga-marga Dalihan Na Tolu itu kita. Jadi sesudah agak aman sedikit, barus saya pindah ke Jakarta, yaitu pada tahun 80-an. Dan baru kembali ke sini (Medan) sesudah Suharto lengser. Saya sudah beberapa kali ke Medan, tapi pastinya saya kembali di Medan pada tahun 2001. Tapi di sana (Jakarta) pun saya bergabung juga dengan teman-teman walaupun secara sembunyi-sembunyi. Lebih banyak dengan orang-orang PDI-P lah.
Seputar pemilu tahun 1955 di Tanah Karo
Waktu pemilu 1955 hanya ada PNI dan PKI. Ada juga partai yang lain seperti partai-partai Kristen. Dan pada saat itu partai yang terbesar adalah PKI, tetapi wakil kita hanya 3 orang. Murba juga ada, yang lain juga ada. Yang paling banyak adalah PNI di DPR itu.
PNI lebih banyak pada saat itu memang karena digambarkan PNI yang lebih banyak. Juga karena bupati yang pertama di sana pada waktu itu adalah Rakut Sembiring Brahmana. Dan bupati-bupati yang berganti kemudian tetap berasal dari PNI. Jadi PNI yang paling besar. Jadi wajar juga kalau PNI yang paling banyak di DPR pada waktu itu. Terbesar kedua adalah kita (PKI), dan terbesar ketiga adalah Partai Kristen. Murba seingat saya hanya 1 orang di DPR pada waktu itu.
Sepanjang pengetahuan saya mengenai pengaruh PKI di Tanah karo sudah ada pada tahun 1901. Karena pada waktu itu sudah ada gerakan dari luar negeri, saya lupa namanyan. Gerakan itu melawan Belanda. Seperti di daerah kami, ada perlawanan yang dipimpin oleh Garamata. Nama ayahnya Payung Bangun.
Konflik dengan MURBA
Waktu itu–kalau saya tidak silap begini–pada waktu itu mungkin kita memang sedikit arogan. “Ganyang itu, ganyang ini,” mungkin juga ada kalimat “Ganyang Pemuda Pancasila”, barulah terjadi bentrokan. Mungkin karena itu, saya tidak tahu pasti. Memang kita akui bahwa kita agak sedikit arogan juga pada waktu itu. Akibatnya lawan-lawan politik bersatu melawan kita.
Yang dominan Saya rasa di Tanah Karo itu PNI dan PKI merata di semua daerah. Tapi kalau daerah yang sangat dominan dikuasai oleh PNI ada, yakni di daerah Singalor Lau. Singalor lau itu termasuk daerahnya Tampak Sebayang. Juga di daerah Perbesi, daerahnya Rakut Sembiring. Di sana dominanlah mereka. Tapi kalau di daerah Batu Karang lebih banyak orang PKI. Itu karena pengaruh Garamata dan sebagainya. Jadi pada umumnya dominasi PKI dan PNI itu merata.
Kondisi pacsa gerakan 30 September
Semua partai selain Partai Kristen berupaya menghabisi PKI. PKI memang dimusuhi di sana. Tetapi Parkindo tidak demikian. Dari setiap rapat-rapat yang diadakanjuga sangat terlihat bahwa mereka bersikap sangat netral. Mana yang benar mereka benarkan, dan yang salah mereka katakan juga salah. Itu kelihatan sekali. Setelah kejadian 30 September 1965 terdengar ke Tanah Karo, kita semua jadi saling curiga.
PKI sendiri tidak begitu tahu apa yang sesungguhnya terjadi di Jakarta. Siapa yang sesungguhnya atau partai mana yang sebenarnya melakukan tindakan itu kita tidak tahu. Yang kami dengar pada saat itu bahwa gerakan yang terjadi pada tanggal 30 September adalah gerakan revolusioner.
Seingat saya, mulai Oktober 1965 sudah mulai ada penangkapan-penangkapan. Yang melakukan penangkapan adalah Buterpra dan Komando Aksi. Hanya PKI saja yang diincar, yang lain sama sekali tidak. Istilah yang dipakai mereka pada waktu itu bukan penangkapan tetapi pengamanan. Jadi PKI diamankanlah ceritanya.
Itu makanya saya kenal dekat dengan Dogar. Saya ingat pada tanggal 6 Oktober, saya ingat pada saat itu adalah hari Jumat. Saya datang ke Kodim Tanah Karo dan berjumpa dengan Mayor Dogar Sembiring. Kami memang akrablah. Saya bilang padanya, “Sembiring, mengapa kami ditangkapi?” Dia bilang begini, “Ini pengamanan, Bung Ginting. Tidak apa-apa,” katanya. “Sekarang Komandan Kodim, Iswanto, sedang berada di Medan. Kalau Bung Ginting mau diamankan juga, datanglah besok,” katanya.
Jadi karena begitu katanya maka saya lari. Menyingkirlah saya. Maka saya ingat selalu Dogar Sembiring, karena dialah yang menyelamatkan saya. Padahal pada waktu itu bisa saja saya ditangkap. Teman-teman saya juga sudah banyak yang ditangkap.
Cara penangkapan
Ada yang dipaksa. Tapi ada juga yang secara umum seperti ini; kawan-kawanitu sepertinya mau saja. Karena apa? Karena orang komandan bataliyon di sana, Manisyo, adalah orang PKI, simpati PKI lah saya bilang. Jadi kawan-kawan kita ini biasa ke markas bataliyon itu. Kawan-kawan itu tidak takut. Walaupun dipanggil begitu mereka tidak takut. Itulah kondisi pada waktu itu. Sama sekali mereka tidak berpikir akan “dipotong”. Sama sekali tidak ada.
Manisyo itu juga ditangkap karena dia sudah menonjol sekali membela PKI.
Lokasi Pembunuhan
Oh ya. Pembantaian hanya di satu tempat, yaitu di jembatan Lau Gerbong, dekat Desa Perbesi, Kecamatan Tiga Binanga. Di situ sejumlah 30 orang. Semua sebenarnya 33 orang dibunuh. 3 orang katanya dibunuh di Lau Pondom, di Dairi. Mereka itu tidak hanya berasal dari kampung itu saja. Mereka dari seluruh tanah Karo.
Selain itu saya juga ada mendengar dibunuh 1 orang di Kampung Juhar. Hanya satu orang, tapi dia ditembak Buterpra di tempat umum.
Di Tanah Karo memang “hanya” 33 orang yang dibunuh. Itu yang saya katakan tadi. Mungkin karena faktor suku dan marga.
Jumlah pengikut PKI di Tanah Karo pada saat itu banyak sekali. Saya rasa ada mencapai 5 ribuan lah.Dari sekitar 5 ribuan tadi, hanya 33 orang yang dibunuh. Nah, yang dibunuh itu kan hanya gembong-gembongnya saja. Kalau anggotanya hanya diwajibkan melapor harian, mingguan, bulanan, sampai tahunan. Mereka tidak ditahan. Memang ada sebagian yang ditahan di Kodim. Jadi pusat penahanan di kodim. Namun setelah 33 orang ini dibunuh, mereka dipulangkan.
Yang dibawa ke Medan Ada juga, 2 orang. Namanya Langit Ginting dan Taman Pandia. Saya dengar mereka dibunuh di Sei Ular. Tapi kita masukkan dia ke Tanah Karo.
Mereka yang dibunuh 33 orang di Lau Gerbong itu bisa tertangkap, pertama, mungkin karena tidak bisa melarikan diri. Kedua, ya karena tidak menyangka akan dibunuh. Karena pimpinan nomor satu batalyon di sana simpatisan PKI. Ada juga yang namanya Tandek Ginting. Asalnya dari Kampung Gajah. Dia punya famili di kodim berpangkat Letnan Kolonel. Dirayu-rayu supaya dia menyerah. Akhirnya dia menyerah. Matilah dia.
Dari antara sekian itu, ada dua orang kami yang berhasil menyingkir. Jenda Tarigan orang pertama, dan saya sebagai orang kedua. Dan kami masih hidup sampai sekarang. Jenda Tarigan itu sekarang masih bersama istrinya di Desa Gambir. Dia tidak bisa lagi bergabung dengan kita karena istrinya buta akibat kejadian itu.
Sampai dia berkata pada saya, pada waktu saya ke sana bersama Saurlin, “Bagaimana silih. Kalau kita masukkan istri saya ke panti jompo, malu juga kita sebagai suku Karo. Saya mau aktif kembali,” katanya. Jadi karena istrinya itu buta, maka dia tidak berani meninggalkan gubuknya itu. Takut dia terbakar. Dialah satu-satunya tokoh PKI di Sumatera Utara yang masih hidup, yang lain tidak ada lagi. Dia anggota pleno dan juga CDB (Committe Daerah Besar) di tingkat propinsi.
Kalau kita lihat peristiwa ini, G30S/PKI ini usianya singkat, kan? Sudah langsung dihabisi oleh Suharto. Secara tidak langsung pasti ada perintah langsung dari Soharto, mana mungkin Irwanto yang dulunya simpati PKI malah menangkapi. Akhirnya dia juga ditangkap.
Kalau yang mengkonsolidasikan gerakan penangkapan itu tentara. Memang ada juga polisi, tetapi umumnya tentara. Luar biasa kejadiannya, sungguh luar biasa. Cobalah bayangkan, ada seorang wanita ber-beru Ginting cerita pada saya. Dia bilang pada saya, “Bang, luar biasa. Tiap malam rumah kami diketuk, selalu ditegur, setiap hari kami absen,”. Padahal dia itu istri, tetapi disuruh melapor.
Dan pemerkosaan juga ada terjadi merata hampir di setiap desa dan setiap kecamatan. Tetapi kita yang beradat Karo dan Batak ini kan agak repot kalau menyebutkan itu. Tetapi saya tahu siapa saja yang diperkosa. Saya tahu.
PKI punya beberapa organisasi onderbow di Tanah Karo. Gerwani, Lekra, Pemuda Rakyat, Buruh, BTI. Yang berpengaruh itu Pemuda Rakyat. Karena kita katakan mereka adalah komunis muda. Jadi kami yang sisa-sisa sampai sekarang ini, yang masih teguh adalah yang dahulunya di PKI dan Pemuda Rakyat. kalau yang lain itu kadang-kadang mau goyang, gitu. Secara umum begitu.
Penyebabnya Karena mereka diajar, dididik mereka. Dulu yang paling terkenal itu adalah A,B,C politik. Ada tingkatannya itu. Jadi dia harus tahu secara singkat mengenai filsafat, sejarah perkembangan masyarakat. Sudah harus tahu dia. Jadi dia sudah punya pegangan ideologi. Yang lainnya tidak begitu.
Ini agak pribadi saya 4 tahun berada di Solo, pendidikan saya memang 4 tahun, tapi saya hampir 5 tahun di sana. Di sana juga saya ditugaskan partai turun ke desa-desa. Jadi kami dulu di sana disebut calon partai, semacam maganglah! Jadi kami diberi tugas terlebih dahulu, baru kemudian menjadi anggota partai. Itupun tidak bisa sekaligus semua menjadi anggota partai. Tidak bisa!
Pimpinan IPPI biasanya sudah orang partai. Bagaimanapun kalau dia sudah pimpinan IPPI pasti orang partai. Baik dia pimpinan kabupaten atau propinsi pasti dia anggota partai. Tetapi kalau pimpinan kecamatan belum tentu.
Tetapi kalau Pemuda Rakyat pasti semua sudah anggota partai, meskipun masih pimpian di desa-desa. Karena mereka disebut sebagai komunis muda.
Pernikahan
Saya ketemu nenekndu tahun 1959. Dan tahun itu pula kami menikah di Jember, setelah saya selesai sekolah di Solo. Istri saya itu orang jawa. Adapun dia dulu sekolah bidan. Kami ketemunya sama-sama di Solo. Sebenarnya kami punya anak 5 orang, tapi sudah meninggal satu orang. Satu orang perempuan dan empat laki-laki. Sekarang laki-lakinya tinggal 3 orang.
Sejak tahun 1965 sampai sebelum berangkat ke Jakarta pada tahun 1980, apa saja yang dikerjakan?
Saya berpindah pindah sejak tahun 1965 hingga tahun 1980, saya ke Jakarta. Selama berpindah-pindah itu saya menyesuaikan diri dengan kaum tani. Umpamanyalah seperti pada waktu itu saya di kampung Telaga, langkat. Saya bertani, malah bergula, mengambil enau.Sesudah daerah itu digrebek oleh tentara dan komando aksi, saya pindah ke Sibolangit. Di situ pun saya bergula juga.
Karena pada umumnya orang-orang kita itu ada di mana-mana. Memang PKI ini sudah besar sekali. Jadi di mana-mana ada saja yang menampung. Seperti di Telaga tadi, memang mayoritas kita di situ.
Juga seperti di Sembahe, tepatnya di Sayum Sabah, kita mutlak di situ. Di situlah saya sekitar 4 bulan di situ.Keluarga saya tinggal di Medan ini. Jadi kita selalu menyesuaikan diri dengan kaum tani. Saya tidak pernah ke Medan kecuali hanya melintas.
Sudah lama sekali tidak jumpa dengan nenekmu. . Tapi sejak saya berada di Jakarta itu, nenekmu sekali-kali pergi juga ke sana.
Di Jakarta, sehari-harinya kerja Begini. Di Jakarta itu ada yang menampung saya. Kalau bahasa Karonya puang Kalimbubu. Dia kebetulan dekat dengan Tutut, anak Suharto. Jadi kami pada waktu itu ditampungnya untuk mengirim tenaga kerja ke Arab. Kitalah yang pertama-tama mengirim tenaga kerja ke Arab. Jadi kecurigaan sama sekali tidak ada. Malah Tutut sendiri pernah datang ke kantor. Ha.ha…karena memang dia akrab.
Saya juga berdiskusi dengan kawan-kawan. Tetapi tidak atas nama PKI. Saya juga ikut PRD pada waktu itu. Saya ikut dalam mendidik kawan-kawan. Malah ada didikan saya dulu yang sekarang menjadi anggota DPRD Banten.
Keluarga yang ditinggalkan di Medan ini, berbeda dengan ditempat lain, tidak dikucilkan masyarakat. Kebetulan di daerah ini tidak. Jadi anak-anak pada waktu itu memang mandiri. Di situlah benarnya yang saya katakan pada kawan-kawan sebagai 3 BAIK. Yaitu belajar baik, bekerja baik, dan moral baik.Jadi anak-anak ini selalu juara di sekolah. Yang tertua, perempuan, dia naik kelas dari kelas 2 langsung ke kelas 4. Itu gurunya yang mengusulkan.
Yang nomor 2, dia naik kelas dari kelas 5 SD langsung ke SMP Negeri. Pada waktu itu masih bisa yang demikian.Mereka tidak menjadi ejekan orang karena mereka memang berprestasi di sekolah.Begitu juga yang paling muda. Dialah satu-satunya yang bisa kuliah di Syah Kuala.Dan anak-anak itu, untuk memenuhi kebutuhan sekolahnya, mereka jualan. Jualan kue di sekitar sini setiap hari, setiap hari. Mereka buat sendiri dan jual sendiri kue itu. kalau tidak demikian dari mana uang mereka untuk sekolah?
Sebab pernah juga nenek ditahan dua setengah tahun. Nenek itu ditahan karena saya tidak tertangkap. Waktu itu nenekndu ditahan di Sukamulia, Jalan Listrik. Anak-anak di rumah ini dengan neneknya. Jadi karena mereka sudah dididik 3 BAIK tadi dan mereka mau melaksanakan makanya mereka bisa berhasil. Mereka ini sudah sarjana semua. Ada yang tamat dari USU, Syah Kuala, dari Kupang, dan dari Binjei.Dengan tetangga kita di sini kita akrab semua. Di sekitar sini juga banyak yang dari militer. Namun kita akrab dengan mereka semua.
Wawancara dilakukan di Kediaman Kumpul Ginting, Jl. Berdikari No. 64, Padang Bulan Medan, pada bulan November 2005/ Samuel
Kami ada 400 orang yang extenkost dan hanya 25 orang yang lulus. Suku Karo hanya 5 orang. Ketika itu sebenarnya saya sudah di partai (baca: PKI–Red). Namun sebelum di partai saya sudah bergabung di IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia). Saya dulu di Solo selama 4 tahun setelah saya tamat SMP. Saya belajar di Sekolah Kemasyarakatan (SPKN) di sana. Saya sekretaris di Solo.
Kembali saya di Medan, saya ditempatkan di tempat terendah dalam partai, yaitu CR Comitte Resort) di Kampung Babura. Saya juga ditempatkan di Departemen Perburuhan. Begitulah sulitnya peningkatan di PKI itu. Sesudah beberapa tahun saya di CR, barulah saya dipindahkan di anggota Dewan Harian Pimpinan Partai Tingkat Medan Baru. Menjelang peristiwa, saya sudah ditempatkan sebagai orang kedua partai di Tanah Karo. Pada saat itu sudah tahun 1964.
Saya punya sebuah pengalaman menarik di sana. Pada tanggal 1 Mei 1964 terjadi peristiwa yang cukup besar. Yaitu pertentangan antara Pemuda Rakyat dengan Pemuda Pancasila, yang pada waktu dipimpin oleh Murba. Pada saat kejadian itu nama saya disebut-sebut di Tanah Karo bahkan sampai ke Jakarta. Makanya pada tahun 1965 pada saat peristiwa G30S/PKI ada pengumuman yang mengatakan, “Barangsiapa yang bisa menangkap Kumpul Ginting akan mendapat hadiah”. Yang mengatakan itu dulu adalah Matang Sitepu, mantan bupati Tanah Karo.
Tempat Cetak Kesing & Karo Karo :
- >>> Sablon Kesing bermoti Karo, Ini tempatnya : Klik Link
- >>> Banya orang Karo Tempah Kaos Karo Disini : Klik Link
- >>> Topi Karo banya disukai anak muda Kar0 : Klik Link
Sesudah terjadi peristiwa saya dicari-cari. Arahan partai (PKI) pada saat itu adalah kondisi sudah gawat. Tidak ada arahan partai untuk menyerah, sama sekali tidak ada. Jadi kalau ada kawan-kawan yang menyerah, ya, saya tidak tahu. Itu bukan garis partai.
Menyingkir ke desa! Itulah garis partai pada waktu itu. Makanya saya menyingkir ke desa-desa. Saya juga pindah dari desa ke kota, dari kota ke kota, lalu saya pidah ke desa lagi.
Saya berpindah dari Tanah Karo ke Langkat, ke Dairi, Tebing Tinggi, Deli Serdang, Medan lagi, begitu seterusnya. Yang mengejar-ngejar kami pada saat itu adalah Buterpra bersama Komanda Aksi. Komando aksi adalah gabungan para pemuda. Di Kampung Telaga pada saat itu diserbu di sana. Pada sat itu teman kami ditangkap 6 orang. Dan sampai sekarang tidak tahu kami bagaimana nasib mereka.
Dan itu juga adalah salah satu keuntungan kita yang bermarga ini, baik suku Karo, Batak Toba, Simalungun, dan sebagainya itu. Saya banyak diselamatkan oleh karena faktor-faktor suku itu. Seperti contoh, saya pernah bersembunyi di markas Bataliyon Kisaran, di sana pada waktu itu komandannya Mayor Bangun. Dia itu kalimbubu saya dari Payung. Saya dibiarkannya. Tetapi sesudah keadaan agak gawat saya disuruhnya pergi. Di sini juga keuntungan adanya marga-marga tadi. Itupula makanya menurut saya tidak banyak di Tanah Karo yang mati. Mungkin diselamatkan oleh keluarga-keluarga. Setahu kami yang mati di sana “hanya” 33 orang. Tetapi kalau di daerah lain seperti di Langkat, Rantau Prapat, dan daerah lain jumlahnya bisa ratusan.
Mungkin karena faktor suku juga makanya di daerah Dairi yang meninggal hanya 7 orang. Mungkin juga karena marga-marga Dalihan Na Tolu itu kita. Jadi sesudah agak aman sedikit, barus saya pindah ke Jakarta, yaitu pada tahun 80-an. Dan baru kembali ke sini (Medan) sesudah Suharto lengser. Saya sudah beberapa kali ke Medan, tapi pastinya saya kembali di Medan pada tahun 2001. Tapi di sana (Jakarta) pun saya bergabung juga dengan teman-teman walaupun secara sembunyi-sembunyi. Lebih banyak dengan orang-orang PDI-P lah.
Seputar pemilu tahun 1955 di Tanah Karo
Waktu pemilu 1955 hanya ada PNI dan PKI. Ada juga partai yang lain seperti partai-partai Kristen. Dan pada saat itu partai yang terbesar adalah PKI, tetapi wakil kita hanya 3 orang. Murba juga ada, yang lain juga ada. Yang paling banyak adalah PNI di DPR itu.
PNI lebih banyak pada saat itu memang karena digambarkan PNI yang lebih banyak. Juga karena bupati yang pertama di sana pada waktu itu adalah Rakut Sembiring Brahmana. Dan bupati-bupati yang berganti kemudian tetap berasal dari PNI. Jadi PNI yang paling besar. Jadi wajar juga kalau PNI yang paling banyak di DPR pada waktu itu. Terbesar kedua adalah kita (PKI), dan terbesar ketiga adalah Partai Kristen. Murba seingat saya hanya 1 orang di DPR pada waktu itu.
Sepanjang pengetahuan saya mengenai pengaruh PKI di Tanah karo sudah ada pada tahun 1901. Karena pada waktu itu sudah ada gerakan dari luar negeri, saya lupa namanyan. Gerakan itu melawan Belanda. Seperti di daerah kami, ada perlawanan yang dipimpin oleh Garamata. Nama ayahnya Payung Bangun.
Konflik dengan MURBA
Waktu itu–kalau saya tidak silap begini–pada waktu itu mungkin kita memang sedikit arogan. “Ganyang itu, ganyang ini,” mungkin juga ada kalimat “Ganyang Pemuda Pancasila”, barulah terjadi bentrokan. Mungkin karena itu, saya tidak tahu pasti. Memang kita akui bahwa kita agak sedikit arogan juga pada waktu itu. Akibatnya lawan-lawan politik bersatu melawan kita.
Yang dominan Saya rasa di Tanah Karo itu PNI dan PKI merata di semua daerah. Tapi kalau daerah yang sangat dominan dikuasai oleh PNI ada, yakni di daerah Singalor Lau. Singalor lau itu termasuk daerahnya Tampak Sebayang. Juga di daerah Perbesi, daerahnya Rakut Sembiring. Di sana dominanlah mereka. Tapi kalau di daerah Batu Karang lebih banyak orang PKI. Itu karena pengaruh Garamata dan sebagainya. Jadi pada umumnya dominasi PKI dan PNI itu merata.
Kondisi pacsa gerakan 30 September
Semua partai selain Partai Kristen berupaya menghabisi PKI. PKI memang dimusuhi di sana. Tetapi Parkindo tidak demikian. Dari setiap rapat-rapat yang diadakanjuga sangat terlihat bahwa mereka bersikap sangat netral. Mana yang benar mereka benarkan, dan yang salah mereka katakan juga salah. Itu kelihatan sekali. Setelah kejadian 30 September 1965 terdengar ke Tanah Karo, kita semua jadi saling curiga.
PKI sendiri tidak begitu tahu apa yang sesungguhnya terjadi di Jakarta. Siapa yang sesungguhnya atau partai mana yang sebenarnya melakukan tindakan itu kita tidak tahu. Yang kami dengar pada saat itu bahwa gerakan yang terjadi pada tanggal 30 September adalah gerakan revolusioner.
Seingat saya, mulai Oktober 1965 sudah mulai ada penangkapan-penangkapan. Yang melakukan penangkapan adalah Buterpra dan Komando Aksi. Hanya PKI saja yang diincar, yang lain sama sekali tidak. Istilah yang dipakai mereka pada waktu itu bukan penangkapan tetapi pengamanan. Jadi PKI diamankanlah ceritanya.
Itu makanya saya kenal dekat dengan Dogar. Saya ingat pada tanggal 6 Oktober, saya ingat pada saat itu adalah hari Jumat. Saya datang ke Kodim Tanah Karo dan berjumpa dengan Mayor Dogar Sembiring. Kami memang akrablah. Saya bilang padanya, “Sembiring, mengapa kami ditangkapi?” Dia bilang begini, “Ini pengamanan, Bung Ginting. Tidak apa-apa,” katanya. “Sekarang Komandan Kodim, Iswanto, sedang berada di Medan. Kalau Bung Ginting mau diamankan juga, datanglah besok,” katanya.
Jadi karena begitu katanya maka saya lari. Menyingkirlah saya. Maka saya ingat selalu Dogar Sembiring, karena dialah yang menyelamatkan saya. Padahal pada waktu itu bisa saja saya ditangkap. Teman-teman saya juga sudah banyak yang ditangkap.
Cara penangkapan
Ada yang dipaksa. Tapi ada juga yang secara umum seperti ini; kawan-kawanitu sepertinya mau saja. Karena apa? Karena orang komandan bataliyon di sana, Manisyo, adalah orang PKI, simpati PKI lah saya bilang. Jadi kawan-kawan kita ini biasa ke markas bataliyon itu. Kawan-kawan itu tidak takut. Walaupun dipanggil begitu mereka tidak takut. Itulah kondisi pada waktu itu. Sama sekali mereka tidak berpikir akan “dipotong”. Sama sekali tidak ada.
Manisyo itu juga ditangkap karena dia sudah menonjol sekali membela PKI.
Lokasi Pembunuhan
Oh ya. Pembantaian hanya di satu tempat, yaitu di jembatan Lau Gerbong, dekat Desa Perbesi, Kecamatan Tiga Binanga. Di situ sejumlah 30 orang. Semua sebenarnya 33 orang dibunuh. 3 orang katanya dibunuh di Lau Pondom, di Dairi. Mereka itu tidak hanya berasal dari kampung itu saja. Mereka dari seluruh tanah Karo.
Selain itu saya juga ada mendengar dibunuh 1 orang di Kampung Juhar. Hanya satu orang, tapi dia ditembak Buterpra di tempat umum.
Di Tanah Karo memang “hanya” 33 orang yang dibunuh. Itu yang saya katakan tadi. Mungkin karena faktor suku dan marga.
Jumlah pengikut PKI di Tanah Karo pada saat itu banyak sekali. Saya rasa ada mencapai 5 ribuan lah.Dari sekitar 5 ribuan tadi, hanya 33 orang yang dibunuh. Nah, yang dibunuh itu kan hanya gembong-gembongnya saja. Kalau anggotanya hanya diwajibkan melapor harian, mingguan, bulanan, sampai tahunan. Mereka tidak ditahan. Memang ada sebagian yang ditahan di Kodim. Jadi pusat penahanan di kodim. Namun setelah 33 orang ini dibunuh, mereka dipulangkan.
Yang dibawa ke Medan Ada juga, 2 orang. Namanya Langit Ginting dan Taman Pandia. Saya dengar mereka dibunuh di Sei Ular. Tapi kita masukkan dia ke Tanah Karo.
Mereka yang dibunuh 33 orang di Lau Gerbong itu bisa tertangkap, pertama, mungkin karena tidak bisa melarikan diri. Kedua, ya karena tidak menyangka akan dibunuh. Karena pimpinan nomor satu batalyon di sana simpatisan PKI. Ada juga yang namanya Tandek Ginting. Asalnya dari Kampung Gajah. Dia punya famili di kodim berpangkat Letnan Kolonel. Dirayu-rayu supaya dia menyerah. Akhirnya dia menyerah. Matilah dia.
Dari antara sekian itu, ada dua orang kami yang berhasil menyingkir. Jenda Tarigan orang pertama, dan saya sebagai orang kedua. Dan kami masih hidup sampai sekarang. Jenda Tarigan itu sekarang masih bersama istrinya di Desa Gambir. Dia tidak bisa lagi bergabung dengan kita karena istrinya buta akibat kejadian itu.
Sampai dia berkata pada saya, pada waktu saya ke sana bersama Saurlin, “Bagaimana silih. Kalau kita masukkan istri saya ke panti jompo, malu juga kita sebagai suku Karo. Saya mau aktif kembali,” katanya. Jadi karena istrinya itu buta, maka dia tidak berani meninggalkan gubuknya itu. Takut dia terbakar. Dialah satu-satunya tokoh PKI di Sumatera Utara yang masih hidup, yang lain tidak ada lagi. Dia anggota pleno dan juga CDB (Committe Daerah Besar) di tingkat propinsi.
Kalau kita lihat peristiwa ini, G30S/PKI ini usianya singkat, kan? Sudah langsung dihabisi oleh Suharto. Secara tidak langsung pasti ada perintah langsung dari Soharto, mana mungkin Irwanto yang dulunya simpati PKI malah menangkapi. Akhirnya dia juga ditangkap.
Kalau yang mengkonsolidasikan gerakan penangkapan itu tentara. Memang ada juga polisi, tetapi umumnya tentara. Luar biasa kejadiannya, sungguh luar biasa. Cobalah bayangkan, ada seorang wanita ber-beru Ginting cerita pada saya. Dia bilang pada saya, “Bang, luar biasa. Tiap malam rumah kami diketuk, selalu ditegur, setiap hari kami absen,”. Padahal dia itu istri, tetapi disuruh melapor.
Dan pemerkosaan juga ada terjadi merata hampir di setiap desa dan setiap kecamatan. Tetapi kita yang beradat Karo dan Batak ini kan agak repot kalau menyebutkan itu. Tetapi saya tahu siapa saja yang diperkosa. Saya tahu.
PKI punya beberapa organisasi onderbow di Tanah Karo. Gerwani, Lekra, Pemuda Rakyat, Buruh, BTI. Yang berpengaruh itu Pemuda Rakyat. Karena kita katakan mereka adalah komunis muda. Jadi kami yang sisa-sisa sampai sekarang ini, yang masih teguh adalah yang dahulunya di PKI dan Pemuda Rakyat. kalau yang lain itu kadang-kadang mau goyang, gitu. Secara umum begitu.
Penyebabnya Karena mereka diajar, dididik mereka. Dulu yang paling terkenal itu adalah A,B,C politik. Ada tingkatannya itu. Jadi dia harus tahu secara singkat mengenai filsafat, sejarah perkembangan masyarakat. Sudah harus tahu dia. Jadi dia sudah punya pegangan ideologi. Yang lainnya tidak begitu.
Ini agak pribadi saya 4 tahun berada di Solo, pendidikan saya memang 4 tahun, tapi saya hampir 5 tahun di sana. Di sana juga saya ditugaskan partai turun ke desa-desa. Jadi kami dulu di sana disebut calon partai, semacam maganglah! Jadi kami diberi tugas terlebih dahulu, baru kemudian menjadi anggota partai. Itupun tidak bisa sekaligus semua menjadi anggota partai. Tidak bisa!
Pimpinan IPPI biasanya sudah orang partai. Bagaimanapun kalau dia sudah pimpinan IPPI pasti orang partai. Baik dia pimpinan kabupaten atau propinsi pasti dia anggota partai. Tetapi kalau pimpinan kecamatan belum tentu.
Tetapi kalau Pemuda Rakyat pasti semua sudah anggota partai, meskipun masih pimpian di desa-desa. Karena mereka disebut sebagai komunis muda.
Pernikahan
Saya ketemu nenekndu tahun 1959. Dan tahun itu pula kami menikah di Jember, setelah saya selesai sekolah di Solo. Istri saya itu orang jawa. Adapun dia dulu sekolah bidan. Kami ketemunya sama-sama di Solo. Sebenarnya kami punya anak 5 orang, tapi sudah meninggal satu orang. Satu orang perempuan dan empat laki-laki. Sekarang laki-lakinya tinggal 3 orang.
Sejak tahun 1965 sampai sebelum berangkat ke Jakarta pada tahun 1980, apa saja yang dikerjakan?
Saya berpindah pindah sejak tahun 1965 hingga tahun 1980, saya ke Jakarta. Selama berpindah-pindah itu saya menyesuaikan diri dengan kaum tani. Umpamanyalah seperti pada waktu itu saya di kampung Telaga, langkat. Saya bertani, malah bergula, mengambil enau.Sesudah daerah itu digrebek oleh tentara dan komando aksi, saya pindah ke Sibolangit. Di situ pun saya bergula juga.
Karena pada umumnya orang-orang kita itu ada di mana-mana. Memang PKI ini sudah besar sekali. Jadi di mana-mana ada saja yang menampung. Seperti di Telaga tadi, memang mayoritas kita di situ.
Juga seperti di Sembahe, tepatnya di Sayum Sabah, kita mutlak di situ. Di situlah saya sekitar 4 bulan di situ.Keluarga saya tinggal di Medan ini. Jadi kita selalu menyesuaikan diri dengan kaum tani. Saya tidak pernah ke Medan kecuali hanya melintas.
Sudah lama sekali tidak jumpa dengan nenekmu. . Tapi sejak saya berada di Jakarta itu, nenekmu sekali-kali pergi juga ke sana.
Di Jakarta, sehari-harinya kerja Begini. Di Jakarta itu ada yang menampung saya. Kalau bahasa Karonya puang Kalimbubu. Dia kebetulan dekat dengan Tutut, anak Suharto. Jadi kami pada waktu itu ditampungnya untuk mengirim tenaga kerja ke Arab. Kitalah yang pertama-tama mengirim tenaga kerja ke Arab. Jadi kecurigaan sama sekali tidak ada. Malah Tutut sendiri pernah datang ke kantor. Ha.ha…karena memang dia akrab.
Saya juga berdiskusi dengan kawan-kawan. Tetapi tidak atas nama PKI. Saya juga ikut PRD pada waktu itu. Saya ikut dalam mendidik kawan-kawan. Malah ada didikan saya dulu yang sekarang menjadi anggota DPRD Banten.
Keluarga yang ditinggalkan di Medan ini, berbeda dengan ditempat lain, tidak dikucilkan masyarakat. Kebetulan di daerah ini tidak. Jadi anak-anak pada waktu itu memang mandiri. Di situlah benarnya yang saya katakan pada kawan-kawan sebagai 3 BAIK. Yaitu belajar baik, bekerja baik, dan moral baik.Jadi anak-anak ini selalu juara di sekolah. Yang tertua, perempuan, dia naik kelas dari kelas 2 langsung ke kelas 4. Itu gurunya yang mengusulkan.
Yang nomor 2, dia naik kelas dari kelas 5 SD langsung ke SMP Negeri. Pada waktu itu masih bisa yang demikian.Mereka tidak menjadi ejekan orang karena mereka memang berprestasi di sekolah.Begitu juga yang paling muda. Dialah satu-satunya yang bisa kuliah di Syah Kuala.Dan anak-anak itu, untuk memenuhi kebutuhan sekolahnya, mereka jualan. Jualan kue di sekitar sini setiap hari, setiap hari. Mereka buat sendiri dan jual sendiri kue itu. kalau tidak demikian dari mana uang mereka untuk sekolah?
Sebab pernah juga nenek ditahan dua setengah tahun. Nenek itu ditahan karena saya tidak tertangkap. Waktu itu nenekndu ditahan di Sukamulia, Jalan Listrik. Anak-anak di rumah ini dengan neneknya. Jadi karena mereka sudah dididik 3 BAIK tadi dan mereka mau melaksanakan makanya mereka bisa berhasil. Mereka ini sudah sarjana semua. Ada yang tamat dari USU, Syah Kuala, dari Kupang, dan dari Binjei.Dengan tetangga kita di sini kita akrab semua. Di sekitar sini juga banyak yang dari militer. Namun kita akrab dengan mereka semua.
Wawancara dilakukan di Kediaman Kumpul Ginting, Jl. Berdikari No. 64, Padang Bulan Medan, pada bulan November 2005/ Samuel
Sumber : http://saurlin.blogspot.co.id/2008/01/kumpul-ginting-pelarian-yang-sukses.html?m=1