Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tak Perlu Ke Jahe Kawin Semerga !

Foto : @ega_xavier
 Karo Gaul - Informasi ini pertama kali saya dapatkan dari mama nguda pendiri Yayasan Alpha Omega Kabanjahe. Katanya, ada satu kampung (saya lupa namanya) dimana semua warganya adalah orang-orang yang meninggalkan kampungnya karena kawin erturang (sada merga). Bukan diusir.

Kampung itu berada di sekitar Beganding, Berastepu dan Ujung Payung. Sayangnya, saya tidak pernah sempat ke sana. Karena lokasinya tidak jauh dari Berastepu, saya tanyakan pada ibu keberadaan kampung ini. Dengan berapi-api, ibu menceritakan pengalamannya di masa kecil. Dia punya bibi yang pedagang jeruk. Sekali waktu, bibinya ini meminta dia menemaninya ke kampung tadi untuk membeli jeruk dari petani setempat dan kemudian didagangkan ke pasar.

Kisah ibu. Kampung itu sepi. Tapi dia bisa menangkap banyak pasang mata mengintip dari balik jendela ketika mereka melintasi kesain. "Bibi berbisik padaku, tidak usah lihat mereka. Jalan saja. Mereka tidak suka diamati," tutur ibu.

Kembali ke cerita mama nguda (adik kandung ibu), ini di tahun 1990an, kebanyakan anak mereka tidak ke sekolah karena takut anaknya mendapat malu berasal dari kampung itu.

Ini sebuah fakta bahwa di Karo Gugung ada kampung "penampungan" orang-orang yang kawin erturang. Ini juga sudah menjadi bukti tidak ada kaitannya sama sekali dengan Islam.

Menurut E.b. Surbakti dalam komentarnya terhadap tulisan saya di grup ini mengenai kawin turang, kata ISONGGALKEN dipakai bukan untuk mengatakan tempat bernama Songgal maupun dikenal sekarang Sunggal. Menurut dia kata ISONGGALKEN berarti DIASINGKAN.

Saya sudah mempelajari kata ini dengan mejelimet. Bolehlah dikatakan diasingkan, tapi lebih tepatnya disebut ZERO ZONE. Ini bisa kita telusuri ke riwayat dari "pertumbuhan" sebuah SEMBUYAK. Perkawinan Karo diawali dengan adanya pertumbuhan sebuah sembuyak yang bergerak dari Periphery (pinggiran) ke Centre (pusat) sebuah domain. Pergerakannya berlangsung dari generasi ke generasi. Perkawinan impal mempercepat pergerakan ini dan perkawinan impal secara berulang-ulang (dalam beda generasi) lebih mempercepat lagi.

Sembuyak yang bergerak dari periphery ini mencapai centre ketika para anggotanya menjadi ANAK BERU CEKUH BAKA dari sembuyak pihak perempuan di perkawinan generasi pertama. Rumah adat didirikan sebagai pertanda hubungan kedua sembuyak tadi telah sejajar sehingg pada fase ini hubungan impal adalah tak lain daripada hubungan turang. Di dalam kisah Aji Dunda Ketakuten, asal usul tungkat penalun, mereka disebut sebagai anak kembar yang saling jatuh cinta dan tidak tepisahkan lagi.

Ketika seorang menyebut kekasihnya turang, itu menandakan cinta yang paling dalam karena dia menginginkan bersama mengharungi kehidupan ini hingga suatu saat, setelah sekian abad, mereka seperti anak kembar (serindu tubuh) yang tak terpisahkan sampai dunia kiamat.

Ringkasnya, perkawinan Karo selalu memanfaatkan hubungan yang telah dijalin pada generasi sebelumnya. Bila kam kawin dalam merga yang sama, berarti kam tidak memanfaatkan perjalanan generasi sebelumnya yang bergerak dari periphery menuju centre. Artinya, kam kembali ke Zero Zone. Kembali ke Zero Zone berarti tidak ada tanah yang akan menjadi pantekenndu. Memang bisa berladang, tapi kam tidak bisa membuat Pemenan di ladangndu.

Nama tempat Songgal (sekarang biasa disebut Sunggal) adalah untuk memperkeras posisinya sebagai Zero Zone. Karena itu, Urung Serbenaman dan sekitarnya termasuk Urung 12 Kuta Lau Cih dan satu urung lainnya di Langkat (panteken Sitepu tapi lupa namanya) tidak merayakan kerja tahun. Sedangkan Karo Timur dan Karo Barat lainnya di Jahe merayakan kerja tahun.

Saya masih berpendapat bahwa soal ini jauh lebih tua daripada soal Islamisasi. Jangan lupa, Songgal menjadi Islam sejak kolonialisme. Di tahun 1823, John Anderson masih menemukan ternah babi berkeliaran di Songgal.

Artikel ini telah tayang di Group Facebook : Jamburta Merga Silima dengan judul : Tak Perlu Ke Jahe Kawin Semerga
Penulis : Juara R Ginting