Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menelusuri Pemikiran Tentang Karo

Menelusuri Pemikiran Tentang Karo
Foto by Ricco J Ginting

Salah satu motivasi utama saya menulis artikel berjudul "Intergroups Relations in North Sumatra" (Diterbitkan oleh IIAS-Leiden pada tahun 2000) adalah 👉 menghadirkan bagaimana kelompok-kelompok sosial (khususnya suku-suku) ditampilkan di dalam literatur sejak Pre Kolonial hingga terkini.
 
Misalnya Batak, di tulisan itu saya mengulas apa yang mereka katakan Batak dan mengapa para penulis berpikir begitu. Saya juga mendiskusikan di situ apa-apa saja yang penting tapi tidak masuk ke dalam perhitungan mereka.
 
Sebagai contoh, di Hikayat Deli, ada dikatakan bahwa Sunggal adalah Ulun Jandi dari Deli. Tidak ada literatur yang menanggapi ini 👉 karena mereka memang tidak mengerti apa itu Ulun Jandi. T. Lukman Sinar pernah menulis mengenai ini di bukunya Sari Sejarah Serdang (Jilid 1 dan 2), tapi penjelasannya tentang Ulun Jandi tidak cukup membuat jelas mengapa dikatakannya posisi Sunggal adalah penting untuk Deli.
 
Dalam surat-suratnya kepada ibunya di Belanda, C.J. Westenberg menulis bahwa posisi  ðŸ‘‰ Datuk Sunggal jauh lebih penting daripada Sultan Deli di Deli. Surat-surat ini diserahkan kepada saya oleh cucunya Beno Westenberg (baru saja meninggal pada usia hampir 100 tahun). Tapi, mengapa Westenberg tidak berani mengatakan itu kepada pemerintah kolonial saat dia menjabat Controleur van Batak Gelegenheid?

Namun Westenberg juga tidak bisa membuat jelas mengapa Datuk Sunggal punya posisi lebih tinggi daripada Sultan Deli kecuali bilang bahwa dia lebih berpengaruh terhadap Rakyat Deli daripada Sultan.

Di tulisan saya itu saya membuat jelas apa artinya Ulun Jandi (sekedar tambahan informasi, saya adalah bebere Sitepu Ulunjandi). Tidak sekedar Hulu Perjanjian seperti yang dijelaskan oleh Lukman Sinar, tapi adalah 👉 "orang yang memberikan tanah tempat tinggal kepada yang lain" yang di kahasanah Indonesia (termasuk Indonesia Timur) dikenal dengan Tuan Tanah.

Itu adalah kajian saya terhadap hampir semua literatur dari Jaman ke Jaman mengenai suku-suku di Sumatera Utara. Serie tulisan yang baru berfokus pada pemikiran orang-orang Karo sendiri tentang Karo atau berbagai aspek di dalam Kebudayaan Karo.
 
Sebagai contoh, minggu lalu saya mempertanyakan apa yang dimaksud dengan "Kalimbubu Dibata Ni Idah" dan "apa itu Dibata". Pertanyaan ini saya buat karena banyak indikasi bahwa Dibata yang kita bayangkan adalah sebagaimana kita pelajari dari agama kita masing-masing yang dalam Bahasa Indonesia biasa disebut Tuhan atau Allah.
 
Apakah ada literatur yang menulis mengapa beberapa gereja seperti halnya GBKP menggunakan kata Dibata untuk pengganti Tuhan (Melayu) atau God (Belanda) atau juga Lord (Inggris)? Saya tahu ada literatur yang menulis mengapa "dipilih" kata Tuhan (tuan) untuk terjemahan Lord (sama-sama berarti penguasa [tanah]).
 
Sudah adakah pula kajian mengenai istilah Dibata pada orang Karo? Kata ini jelas dari Bahasa Sansekerta Devata yang variannya Dewata (Bali), Debata (Batak), dan Dibata (Karo). Tapi, pemakaiannya di dalam Kebudayaan Karo sepertinya tidak cukup dipahami hanya dengan pemahaman kata Sansekerta itu. Misalnya ;
💢 Dibata Jabu yang menunjuk ke Begu Simate Sada Wari
💢 Orang-orang Karo juga biasa menggunakan kata Dibata untuk menunjuk ke alat kemaluam laki-laki (khususnya testical alias barok-barok atau parong-parong) dalam kalimat, misalnya: "Itipakna Dibatana ah, mis kal anak ah ndai ampar."😀

Setahu saya, belum ada satupun penelitian mengenai kata Dibata di dalam Bahasa Karo tapi seolah-olah semua tahu sama tahu yang ujungnya mengikuti ajaran agama masing-masing, sedangkan penemuan (eksplorasi) di dalam Kebudayaan Karo sendiri dianggap tidak penting lagi.

Mengapa tidak penting?
Salah satu alasannya adalah karena anggapan bahwa keyakinan-keyakinan religious Karo dianggap lebih rendah dari agama-agama global sekarang ini. Tidak pantas untuk diperhitungkan. Itu terserah kam. Tapi, dalam serie tulisan ini saya akan mengulas juga mengapa ada pikiran bahwa tradisi Karo itu lebih rendah daripada Kristen maupun Islam?
 
Ini telihat dalam perjuangan Karo untuk mempertahankan tradisinya dengan memeluk agama Hindu di tahun 1972, setahun setelah Pemilu 1971, dan kemudian berdiri Pure pertama di Desa Tanjung (Kecamatan Tiganderket) di tahun 1985. Peresmian Pure ini mencatat 5000 orang Karo sebagai penganut Hindu sehingga tercatat pula Parisada Hindu Dharma Karo (PHDK) sebagai organisasi Hindu terbesar di seluruh Indonesia setelah Bali.
 
Dari mana datangnya konsep Animisme yang dikenakan terhadap kepercayaan tradisional Karo? Ini dapat kita telusuri bukan hanya ke buku-buku pelajaran sejarah SD, SMP dan SMA maupun kuliah-kuliah Jurusan Sejarah di Universitas-universitas, tapi juga ke Sejarah Pemikiran Dunia, khususnya Teori Evolusi Agama.

Sebgai seorang Strukturalis yang cara kerjanya sangat mengikuti Filsafat Positivisme dari Agust Comte Cq. Emile Durkheim, sangat penting bagi kami menyadari pemikiran sendiri. Ketika kita menyadari mengapa kita atau orang-orang di sekitar kita menganggap kepercayaan tradisional Karo adalah Animisme, maka 90% pertanyaan mengenai kepercayaan tradisional Karo telah terjawab.
 
Begitulah cara kerja kami aliran Postivisme, terlebih dahulu menyadari pikiran sendiri atau pikiran di lingkungan sendiri sebelum masuk ke pemikiran yang kita teliti.
 
Sebagai warming up untuk memasuki diskusi selanjutnya, saya ajak kam merenungkan apa yang kam bayangkan bila melihat ada orang Karo "encibalken isap entah belo" di kuburan orangtua atau kakek neneknya.
 
Silahkan beri komentarndu agar kita sama-sama melakukan pemanasan.

***
Artikel ini telah tayang di Group Facebook : Jamburta Merga Silima dengan judul "Menelusuri Pemikiran Tentang Karo".
 
Penulis : Juara R Ginting