Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menguak Tradisi Orang Karo "Memberi Rokok atau Selembar Sirih" di Tempat Keramat

ercibal belo
Foto :  Kompasiana (Ercibal Belo)

Biasa kita lihat hingga sekarang ini, orang-orang Karo "memberikan" rokok ke kuburan atau tempat-tempat keramat. Bisa juga yang diberikan adalah selembar daun sirih atau sesuatu lain yang di dalam Bahasa Indonesia kita kenal sesajen (dari kata saji).
 
Untuk membuat tidak rumit, saya batasi saja diskusi kita pada penyajian sebatang rokok (yang telah disulut) atau selembar sirih.
 
Kebanyakan orang menilai tindakan ini sebagai sebuah kepercayaan/ keyakinan bahwa si pelaku mempercayai seorang mati memiliki roh yang selalu berada di dekat tubuhnya (tulang belulangnya ataupun hanya kuburannya).
 
Dari penilaian seperti ini, muncullah tafsir-tafsir bahwa memberikan rokok atau sirih di kuburan atau tempat keramat adalah sebagai sebuah persembahan yang sama halnya dengan menawarkan sebatang rokok atau selembar sirih kepada seseorang manusia lainnya.
 
Berdasarkan tafsir itu pula, orang-orang membuat penilaian lanjutan bahwa tindakan itu sebagai sebuah perbuatan bodoh karena [masih] mempercayai adanya roh. Bisa juga dinilai positip karena dianggap sebagai perwujudan hormat kepada seseorang yang telah mati atau menghargai eksistensi spiritual dari sebuah benda atau tempat tertentu.
 
Saya tidak mempersoalkan kebenaran dari semua tafsir atau penilaian itu. Saya hanya mau mempertanyakan apakah kita sudah pernah mempertanyakan apa sebenarnya yang dituntut dari anjuran mempersembahkan rokok atau sirih itu?

Kebanyakan kasus tidak mempertanyakan hal itu, sehingga sangat minim atau bisa dikatakan tidak ada penelitian sama sekali untuk mencoba mendapat jawaban apa sebenarnya yang dituntut dari manusia sehingga ada anjuran untuk mempersembahkan rokok atau sirih di tempat-tempat tertentu.
 
Semua seolah sudah tahu jawabannya, yaitu bahwa itu adalah sebuah penghormatan terhadap roh atau sebuah upaya untuk menyenangkan roh. Atas dasar anggapan seperti ini, ada yang menilai negatip dan ada juga menilainya positip.
 
Penilaian negatip karena dianggap mengikuti kepercayaan lama yang kolot alias bodoh alias tidak rasional atau bahkan, khusus di kalangan agama-agama tertentu, sebuah penjalinan hubungan dengan setan alias iblis atau menduakan Tuhan.
 
Penilaian positip biasanya karena terdorong upaya melestarikan tradisi, menganggapnya sebagai nilai-nilai luhur atau local wisdom dan lain-lain yang terkait dengan upaya merasionalisasi hal-hal yang sudah sempat dianggap tidak rasional.
 
Baik negatip maupun positip, kita tetap masih berkutat pada recent discourse yang cenderung berasal dari international/ global discourse of the phenomena. Khusus mengenai fenomena ini di Karo, saya belum temukan satupun minat untuk melepaskan diri dari recent or global discourse itu untuk kemudian berusaha menemukan jawabannya dari fenomena itu sendiri.
 
Apakah saya sendiri sudah pernah melakukannya? Sudah!
 
Saya tidak akan sampaikan kesimpulan yang saya dapat dari penelitian yang pernah saya lakukan. Saya hanya sampaikan bagaimana dalam penelitian saya muncul fenomena menarik yang bisa membawa kita kepada persepsi sangat lain dari yang sering kita bayangkan mengenai tindakan memberi rokok atau sirih selama ini.

Dalam penelitian saya mengenai tempat-tempat keramat di seluruh Karo Gugung dan Karo Jahe, saya sekali waktu dikejutkan oleh peristiwa ini.
 
Ketika mengunjungi sebuah tempat keramat di Desa Kutambelin (Liang Melas Gugung), pemandu saya warga setempat menyulut rokoknya dan mempersembahkannya di tempat keramat itu. Saya langsung memperingatkannya mengatakan posisi rokok itu salah.
 
"Kam membuatnya terbalik. Seharusnya bagian filternya ke arah tempat keramat, apinya ke arah kita," kataku.
 
Justru pemandu saya dan beberapa warga desa lainnya yang terbengong menatap wajah saya. Salah seorang diantara mereka kemudian memberanikan diri memprotes saya.
 
"Di sini, memang begitu cara mempersembahkan sebatang rokok ke tempat keramat," katanya.
 
Kebetulan di tempat itu baru saja diadakan ritual "Ngkahulken Manuk" sehingga anjabnya (altar) masih berdiri di situ. Saya segera memeriksa letak sirih dan rokok-rokok lainnya di sekitar itu. Astaga ....... Mereka benar dan saya yang salah.
 
Sekembalinya ke kampung, saya langsung bertanya kepada seorang nenek yang sedang makan sirih.
"Uga bahandu ndudurken belo man kalimbubu, nini? Cuba dudurkenndu belondu man nini enda entah uga nge carandu ndudurken belo man simehamatndu," kataku pada nenek itu.
 
Sekali lagi, astaga ...... Nenek itu menyodorkan bagian ujung daun sirih kepada nenek di depannya sambil menjepit tangkai daun sirih dengan ujung jari-jari kedua tangannya.
 
Singkat cerita, saya kelilingi lagi banyak tempat di Karo Bagian Barat. Benar saja, semuanya menyodorkan UJUNG rokok atau daun sirih ke pihak lain. Ini sangat berbeda dengan Karo Bagian Timur yang wajib menyodorkan bagian pangkal kepada pihak lain.
 
Mengapa begitu? Saya tidak menemukan informan yang bisa menjelaskan mengapa ada 2 versi ini. Mereka mengatakan hanya satu cara itu yang mereka tahu dan mengapa begitu yah .... "sudah memang begitu dari dulu".
 
Sejak itu, saya mulai mengumpulkan berbagai kasus kontras antara Karo Bagian Timur dengan Karo Bagian Barat. Banyak kontras-kontras seperti ini. Tidak ada satupun informan yang bisa menjelaskan mengapa begitu. 

Saya kemudian menemukan sebuah jawaban teoritik setelah melakukan analisa serta membandingkannya dengan data-data serupa dari daerah-daerah lain di Asia Tenggara (tentu saja dengan membaca banyak literatur di perpustakaan). Demikian juga mendalaminya dengan teori-teori yang sudah ada di Antropologi.
 
Salah satu lingkungan teoritik yang saya anggap relevan dengan persoalan ini adalah terkait dengan diskusi tentang SISTIM KLASIFIKASI dan SISTIM PERTUKARAN TRADISIONAL (exchange theory). Saya tidak akan tampilkan hasil analisis saya di sini. Saya hanya mau menggugat pikiran-pikiran kita selama ini yang terlalu sembarangan memberi tafsir dan penilaian terhadap tradisi Karo, apalagi nampak sekali sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai agama Kristen maupun Islam dan teori evolusi yang sejak Belanda menjajah kita tetap itu yang diajarkan sampai sekarang (seolah ilmu pengetahuan tidak pernah berkembang sama sekali).
 
Kalau hanya sekedar menghormati roh, tidak perlu ada perbedaan antara Karo Barat dengan Karo Timur. Pasti ada sesuatu yang lebih dari situ. Untuk bisa menemukannya, lepas dulu anggapan-anggapan yang kam dapatkan dari luar Karo itu.

Agui lebe baba-babanndu ena, lang labo kam seh ku bas.


Oleh : Juara R Ginting