Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Inilah 12 Sopan (Sumbang) Yang Ada Pada Masyarakat Karo



Karogaul.com - Berikut ini adalah 12 Sopan (Sumbang) yang ada pada masyarat karo yang harus diketahui oleh orang Karo pada saat ini.

1. Sumbang Ngerana (Sopan Bicara)

Maksudnya adalah larangan berbicara tidak sopan. Saat berbicara sebaiknya diperhatikan pilihan kata yang ingin diucapkan karena kata yang tidak baik dapat menyingung lawan bicara. Materi pembicaraan juga perlu diperhatikan. Tidak semua hal dapat dibicarakan saat berada di tempat umum apalagi dengan suara yang keras karena dapat mengganggu orang lain.


2. Sumbang Pengenen (Sopan Memandang)

Maksudnya adalah larangan melihat hal-hal yang tidak pantas atau dilarang dan melihat hal-hal yang tidak baik. Ada hal-hal yang tidak pantas dan pantang untuk dilihat, seperti bagian-bagian tubuh tertentu yang tidak pantas dilihat ataupun diintip dengan sengaja. Hal ini tidak sopan dan dapat membuat orang lain jengkel dan marah. Oleh karena itu, perlu berhati-hati dan tidak sembarangan saat melihat.


Larangan memandang juga termasuk tidak melihat orang yang dituakan secara terus menerus . Cara memandang ataupun melihat seperti ini dianggap kurang sopan. Jika bertemu dengan orang yang dituakan cukup melihatnya sebentar untuk mengetahui siapa orang yang di lihat tersebut. Hal ini perlu diperhatikan karena adanya batasan-batasan dalam di dalam masyarakat Karo dalam hubungan kekerabatan-nya.


3. Sumbang Perkundul (Sopan Duduk)

Maksudnya adalah larangan duduk yang tidak sopan. Larangan ini berkaitan dengan cara duduk sembarangan, seperti mengangkat kaki ke atas kursi atau ke atas meja. Cara duduk seperti ini kurang sopan apalagi ketika berada di tempat umum. Cara duduk seperti ini perlu dihindari agar tidak menjadi kebiasaan buruk.


4. Sumbang Perpan (Sopan Cara Makan)

Maksudnya adalah larangan makan yang tidak sopan (tata krama makan). Cara makan yang sopan adalah mulut tidak mengeluarkan suara saat mengunyah makanan (ngulcap), nasi tidak berhamburan di piring atau di meja makan (merimah), tidak mengambil jumlah makanan yang berlebihan, tidak terlalu tergesa-gesa saat makan, duduk tidak terlalu tegak atau terlalu menunduk, dan tidak sembarangan memakan makanan yang menjadi pantangan untuk beberapa merga. Pantangan tersebut merupakan larangan yang diyakini oleh beberapa merga, seperti pantangan memakan daging anjing pada merga Sembiring Brahmana, pantang memakan daging kerbau Putih kepada merga Sebayang, dan pantang memakan daging burung Balam (tekukur) pada merga Tarigan .


5. Sumbang Ridi Ibas Tapin (Sopan Mandi di Sungai)

Maksudnya adalah larangan dan aturan tertentu ketika mandi di sungai. Larangan ini diikuti di tempat pemandian masyarakat Karo di masa lalu. Masyarakat pedesaan di masa lalu memiliki tempat pemandian umum berupa pancuran atau yang biasa disebut tapin.


6. Sumbang Peruis (Sopan Berpakaian)
Maksudnya adalah cara berpakaian yang wajar dan sopan. Cara berpakaian memang berbeda-beda tergantung kebiasaan orangnya, tetapi berpakaian yang wajar dan sopan perlu diterapkan. Misalnya, jika hendak ke gereja berpakaian-lah dengan rapi, gunakanlah pakaian yang wajar, dan tidak perlu berlebihan (melalasa jile-jile).

Dalam acara adat, berpakaian lah sesuai dengan aturan. Misalnya, di acara pernikahan, laki-laki berpakaian-lah yang sopan seperti menggunakan celana panjang, kemeja, dan sepatu yang wajar. Untuk perempuan menggunakan kebaya, uis, dan juga tudung (ikat kepala wanita) yang sesuai tergantung pada acara yang diikuti. Pada setiap acara adat ada aturan berpakaian yang berbeda, misalnya dalam acara kematian menggunakan pakaian berwarna hitam.

7. Sumbang Perdalan (Sopan Berjalan)
Maksudnya adalah larangan untuk berjalan dengan cara yang tidak baik dan tidak sopan. Berjalanlah dengan tidak tergesa-gesa atau ceroboh (metumbur) karena dapat mengagetkan orang lain ketika berpapasan. Saat berjalan sebaiknya tidak menghentakkan kaki dan buatlah ayunan tangan yang sewajarnya (tidak petentengan) agar tidak mengganggu orang lain. Apabila sedang berjalan dan berselisih dengan orang yang dihormati, seperti mertua yang berbeda jenis kelamin, sebaiknya menghindar agar tidak melanggar larangan memandang seperti pembahasan sebelumnya.

8. Sumbang Perlandek Ibas Gendang (Sopan Menari)
Maksudnya adalah larangan menari dengan tidak sopan dan sembarangan. Perlandek ibas gendang artinya cara menari pada suatu acara tarian. Masyarakat Karo sering menyebut acara tarian dengan sebutan gendang, misalnya ibas kerja tahun ah ndai lit gendang na (pada acara pesta tahunan itu tadi ada acara tariannya). Acara tarian selalu di iringi dengan musik dan nyanyian. Penyanyinya dapat dari penari itu sendiri, ataupun penyanyi lagu Karo yang diundang di acara tersebut.

Tarian sering ditambahkan oleh masyarakat Karo pada berbagai acara, misalnya saat perayaan natal, memasuki rumah baru, pernikahan, dan acara lainnya. Sudah menjadi tradisi masyarakat Karo menambahkan acara tarian untuk memeriahkan suatu acara.

9. Sumbang Perempo (Sopan Menikah)
Menikah merupakan sesuatu yang sakral bagi masyarakat Karo. Untuk menikah ada adat istiadatnya, oleh karena itu di buat larangan agar tidak terjadi pelanggaran atau penyimpangan. Sebelum menikah, tentu pasangan tersebut menjalin hubungan asmara. Pada tahap ini pasangan tersebut sudah terikat oleh aturan adat karena tujuan akhir dari hubungan tersebut merupakan pernikahan. Ada beberapa aturan yang perlu diketahui sebagai syarat perkawinan bagi masyarakat Karo yang disampaikan oleh Prinst (2014), yaitu:

a. Tidak berasal dari satu merga, kecuali untuk merga Peranginangin dan Sembiring
b. Bukan yang menurut adat dilarang untuk berkawin karena erturang (bersaudara), sepemeren, erturang impal.
c. Sudah dewasa. Dalam hal ini untuk mengukur kedewasaan sesorang tidak dikenal batas usia yang pasti, tetapi berdasarkan pada kemampuan untuk bertanggung jawab memenuhi kebutuhan keluarga. Untuk laki-laki, hal ini di ukur dengan sudah mampu membuat peralatan rumah tangga, peralatan bertani, dan sudah mengetahui adat berkeluarga (meteh mehuli). Sedangkan untuk perempuan hal ini di ukur dengan telah akil balik, telah mengetahui adat (meteh tutur), dan sebagainya. Sedangkan UU No. 1 / 1974 tentang perkawinan menentukan seorang perempuan boleh menikah apabila telah berusia 16 tahun dan laki-laki berumur minimal 19 tahun. (h.75)

Erturang (bersaudara), misalnya masih satu ayah dan satu ibu. sepemeren ,misalnya Ibu mereka bersaudara atau beru ibu mereka sama, erturang impal maksudnya putri dari anak beru-nya.

10. Sumbang Pendahin (Sopan Bekerja)
Maksudnya adalah larangan untuk mengerjakan pekerjaan tidak baik dan tidak dibenarkan oleh hukum dan mengganggu masyarakat. Bekerjalah pada pekerjaan yang baik dan ikuti tata krama bekerja yang benar. Jangan mengerjakan pekerjaan yang mengganggu dan meresahkan masyarakat. Ada nasihat masyarakat Karo yang mengatakan: "ola lakoken pendahin si la tengka janah ola dadap pendahin si mereha" yang artinya jangan lakukan pekerjaan yang terlarang dan jangan sentuh pekerjaan yang memalukan. Oleh karena itu, dianjurkan agar selalu memilih jenis pekerjaan yang baik.

11. Sumbang Perukuren (Sopan Berpikir)
Maksudnya adalah berpikirlah yang baik, jangan suka berpikir egois karena pemikiran egois merupakan awal dari suatu permasalahan. Ada ungkapan-ungkapan masyarakat Karo masyarakat Karo terkait cara berpikir ini.

Yang pertama:
“Menang bas babah, talu bas perukuren” yang artinya, menang dalam perdebatan, tapi kalah dalam perbuatan. Perumpamaan ini disindirkan kepada orang yang tidak mau kalah dalam perdebatan, walaupun dia tetap salah, atau tidak benar padahal yang kalah dalam perdebatan itu justru menang dalam berbuat dan bertindak.

Yang kedua:
“Toto biang kupendawanen, mate kalak mate, gelah ia besur” yang artinya seperti doa anjing ke kuburan, biar orang mati di sana, yang penting dia kenyang sendiri. Perumpamaan ini ditujukan kepada seseorang yang hanya mau menang sendiri, yang tidak pernah berpikir apakah perilakunya atau perbuatannya akan menyusahkan orang lain atau tidak, yang penting dia mendapat untung sendiri.

12. Sumbang Perpedem (Sopan Tidur)
Maksudnya adalah tata krama tidur di rumah adat di masa lalu. Masyarakat Karo tradisional tinggal di sebuah rumah adat yang disebut rumah si waluh jabu dan dihuni oleh delapan keluarga. Setiap keluarga yang tinggal di dalam rumah adat ini diberikan satu bagian yang hanya memiliki kamar tidur untuk kedua orang tua. Oleh karena itu, anak-anaknya akan tidur terpisah, terutama setelah memasuki usia remaja.

Masyarakat Karo di masa lalu memiliki sebuah kebiasaan membedakan tempat tidur kepada anak remaja. Remaja laki-laki harus tidur di tidur di jambur (pondok remaja) bersama dengan teman sebayanya karena remaja laki-laki yang tidur di dalam rumah adat di anggap tidak sopan. Untuk remaja perempuan diizinkan tidur di rumah adat, tetapi biasanya berkumpul di jabu (bagian rumah adat) nenek atau bibi.

Cara tidur dengan tidak menempatkan kaki ke arah kepala orang lain masih diikuti hingga saat ini. Cara tidur ini dapat diperhatikan ketika kerja tahun (pesta tahunan) di suatu desa. Sudah menjadi kebiasaan untuk sanak saudara yang tinggal di Kota ataupun dari desa lain berkumpul di rumah nenek atau di rumah keluarga lainnya yang ada di desa tersebut saat kerja tahun. Malam harinya anggota keluarga tersebut akan tidur di atas tikar yang lebar (laki-laki dan perempuan terpisah). Untuk mengatur posisi tidur, maka posisi kaki tidak boleh menghadap ke kepala yang lainnya karena tidak sopan. Seperti itulah tata krama dan sopan santun saat tidur yang diikuti oleh masyarakat Karo pada umumnya. (Brahmana, 2003)