Kerajaan Aru (Karo), Riwayat Negeri Perompak

Karogaul.com - Awalnya hidup dari perdagangan, Kerajaan
Aru kemudian menjadi negeri perompak.
Lima
abad lalu, pelaut Portugis Tome Pires menggambarkan penguasa negeri Aru sebagai
raja paling besar di seluruh Sumatra. Ia memiliki banyak penduduk dan lanchara
(kapal). Ia juga menguasai banyak aliran sungai di wilayahnya.
Sang
raja menguasai barang-barang rampasan hasil penyerbuan. Rakyat dan aparat
kerajaan pergi melaut untuk merompak. Mereka membagi hasil jarahannya dengan
raja.
Aru
bermusuhan dengan tetangganya, Malaka. Negeri lain pun memandang Aru dengan
buruk.
“Tanpa
mencuri, mereka tak akan bisa hidup, karena itu tak ada yang bisa berkawan
dengan mereka,” catat Pires dalam Suma Oriental.
Raja
Aru seorang Moor yang tinggal di istana di pedalaman. Tanah di sekitarnya
berawa-rawa, sehingga tak mungkin ditembus.
Di
balik reputasinya sebagai negeri perompak, Aru adalah penghasil beras kualitas
baik, buah-buahan dan hasil ternak melimpah, serta segala rupa hasil hutan,
seperti kamper, kemenyan, rotan, dan madu.
Jika
Teluk Aru di Selat Malaka sekarang bisa dikaitkan dengan wilayah Kerajaan Aru
pada masa lalu, maka kondisi geografis itu mendukungnya menjadi pemain penting
dalam perniagaan di Selat Malaka.
Itu
sebelum keramaian niaga bergeser. Penguasa Malayu-Batak Aru pun harus
mengadopsi strategi baru untuk menemukan pamornya kembali, sebagaimana dikatakan
sejarawan Anthony C. Milner, dkk. dalam “A Note on Aru and Kota Cina” yang
terbit di jurnal Indonesia, No. 26 (Oktober 1978).
Pernah Berjaya dalam Niaga
Pasca
Sriwijaya diserang Kerajaan Chola pada 1025, semua wilayah bawahannya di
Sumatra bagian utara dan Semenanjung Malaya semakin aktif dalam perniagaan
internasional. Ini
dikatakan Ery Soedewo, peneliti Balai Arkeologi Sumatra Utara dalam
“Manik-Manik Kaca Salah Satu Indikator Kejayaan dan Keruntuhan Perniagaaan
Pulau Kampai” yang terbit di jurnal Kalpataru, Vol. 24 No. 2 (2015).
Situs
Kota Cina yang oleh Milner dihubungkan dengan Kerajaan Aru, menunjukkan
kebangkitan kerajaan ini setelah mengendurnya pengaruh Sriwijaya. Situs ini
berada di antara Sungai Belawan dan Sungai Deli yang bermuara di Selat Malaka.
Dari temuan arkeologis di situs itu, diduga kontak dagang dan budaya telah
berkembang sejak abad ke-11.
“Mungkin
telah membangkitkan ambisi para kepala daerah,” tulis Milner.
Bukti
arkeologis itu menunjukkan kemakmuran dan pengaruh terbesar Aru terjadi sejak
pertengahan abad ke-12 hingga ke-14. “Pada saat kapal Dinasti Sung berdagang
dengan Sriwijaya, tepat sebelum Aru menarik perhatian Kubilai Khan,” lanjut
Milner.
Nama
Aru tercatat dalam sumber-sumber lokal dan mancanegara. Teks tertua,
Nagarakrtagama yang selesai ditulis pada 1356, menyebut nama Haru atau Aru.
Nama
Aru juga tercatat dalam Pararaton. Ketika menyerukan Sumpah Palapa, Mahapatih
Gajah Mada menyebut nama-nama negeri yang diharapkan bisa bersatu di bawah
Majapahit, salah satunya Haru (Sumatra Utara).
Catatan
Tiongkok tertua, Sejarah Dinasti Yuan, menyebut Aru mengirim utusan dua kali ke
istana Kubilai Khan pada 1282 dan 1295.
Dalam
Xingcha Shenglan (1436), Fei Xin, pejabat yang empat kali mendampingi Cheng Ho,
menyebut masyarakat Aru mengumpulkan kamper dari hutan untuk dijual ke pedagang
asing yang singgah. Mereka juga mengimpor sutra berwarna, tembikar,
manik-manik, dan sebagainya.
Sementara
itu, menurut Ma Huan (1433), penerjemah Cheng Ho, dalam Yingyai Shenglan,
Kerajaan Aru memiliki sungai bernama Sungai Air Tawar. Orang-orangnya hanya
sedikit menggunakan barang impor. Mereka banyak mengkonsumsi susu. Negara ini
kecil dan tak ada produk yang bisa diekspor kecuali resin berbau wangi dan
sebagainya.
“Ada
kemungkinan Fei Xin dan Ma Huan menggambarkan daerah yang berbeda,” tulis
Milner.
Dalam
masa yang sama, Sejarah Dinasti Ming mencatatnya sebagai negeri yang tandus dan
hanya menghasilkan sedikit panen. Namun, utusan-utusan dari Aru ke Tiongkok
masih dikirim pada 1411, 1419, 1421, dan 1423.
Begitu
juga Cheng Ho yang diutus kaisar Tiongkok ke Aru pada 1412. Persinggahannya
yang kedua terjadi pada 1431. Ia berkunjung dengan membawa hadiah untuk raja
Aru. Inilah kontak formal terakhir Tiongkok dengan Aru. Nama Haru atau Aru
kemudian menghilang dari catatan Tiongkok.
Aru
muncul kembali dalam catatan Tome Pires di Suma Oriental pada abad ke-16,
sebagai negara yang rakyatnya merompak muatan kapal di Selat Malaka.
Pamor yang Berubah
Milner
menilai potret Aru dalam laporan-laporan itu menunjukkan bahwa pada awal
1400-an kedudukannya menjadi tidak penting. Dibandingkan dengan Samudera Pasai,
negeri ini lebih banyak mendapat perhatian dalam catatan Tiongkok.
Kala
itu hanya ada sedikit perdagangan di Aru. Sedangkan kronik-kronik Tiongkok
begitu rinci menyebutkan hasil bumi dan kebiasaan penduduk Samudera Pasai.
“Para pedagang dari segala penjuru datang ke tempat ini,” catat Sejarah Dinasti
Ming.
Maka,
setelah tahun 1423, penguasa Aru tak lagi mengirim utusan ke Tiongkok.
Sebaliknya, laporan yang berusia lebih muda menyebut minat Aru beralih dari
perdagangan yang sah ke pembajakan.
“Dihadapkan
dengan kegagalan komersial, penguasa Malayu-Batak Aru mengadopsi strategi
baru,” tulis Milner.
Lokasi
ibu kota pun pindah. Milner menunjuk Deli Tua sebagai lokasi baru setelah Kota
Cina. Lokasi ini lebih ideal untuk pamor Aru yang baru. Letaknya sekira 25 km
lebih ke pedalaman dari Kota Cina, dikelilingi hutan, berada di dekat aliran
Sungai Petani, yang merupakan nama Karo untuk hulu Sungai Deli.
Pires
menyebut kawasan itu tak dapat ditembus. Lokasi sempurna bagi penguasa Aru
untuk mengatur siasat perompakan di Selat Melaka.
Kendati
begitu, menurut Milner, Deli Tua bukanlah permukiman baru. Didapati fragmen
keramik dari masa Sung dan Yuan yang semasa dengan tahun-tahun kejayaan Kota
Cina.
Namun,
fragmen keramik dari abad ke-14 hingga ke-16 ditemukan di Deli Tua dalam jumlah
yang cukup besar. Bersamaan dengan itu ditemuan peluru senjata api berbahan timah.
Repelita
Wahyu Oetomo, peneliti Balai Arkeologi Medan, menyebut peluru itu adalah peluru
laras panjang yang umum digunakan pada abad ke-15 hingga ke-19 atau dikenal
dengan senapan musket. Ada juga meriam dengan tulisan berbunyi “Sanat… 03
Alamat Balun Haru”.
“Apabila
03 berarti tahun 1003 Hijriyah, berarti cocok dengan 1539 Masehi, yang menurut
Pinto merupakan ditaklukkannya Haru oleh Sultan Aceh, Al Qahhar,” tulis
Repelita dalam “Benteng Putri Hijau Berdasarkan Data Sejarah dan Arkeologis” di
laman Kemendikbud.
Menurut
Milner, temuan itu menunjukkan bahwa (Deli Tua, red.) diarahkan untuk perang
daripada perdagangan. Sedangkan kegagalan Aru untuk kembali naik di dunia
perdagangan sulit dijelaskan alasannya.
Milner
menyebut sangat mungkin pelabuhan kerajaan ini lama kelamaan tak lagi mudah
untuk dilayari. “Pantai Sumatra Timur telah banyak berubah bahkan dalam sejarah
yang tercatat,” tulis Milner.
Salah
satu indikasinya, banyak toponim yang merujuk pada “sungai mati”. Beberapa
lokasi yang jauh di pedalaman juga disebut pernah menjadi pelabuhan.
Hingga
hari ini pun pendangkalan sungai terus terjadi. Namun tak pasti kapan prosesnya
mulai terjadi.
“Kita
tahu bahwa seorang penulis Arab abad ke-16 mengeluh tentang pelabuhan Aru yang
dangkal,” tulis Milner.
Aru,
bagaimanapun, pada akhirnya bernasib buruk dalam kontes perniagaan. Pencapaian
komersial Aru hanya sampai abad ke-14.
“Kehadiran
komunitas pedagang Tionghoa yang ramai tidak lebih dari kenangan, perdagangan
dengan Tiongkok telah bergeser ke kerajaan-kerajaan seperti Pasai dan Malaka,”
tulis Milner.
Nasibnya
pun tak bertahan lama sejak catatan Tome Pires melukiskan Aru sebagai kekuatan
yang ditakuti di perairan Selat Malaka. Ini menjadi riwayat terakhir Aru
sebagai sebuah kerajaan dalam sumber sejarah.
“Kekuatan
yang baru berkembang, Aceh mengakhiri eksistensi Aru sebagai salah satu
kekuatan penting dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik di kawasan Selat
Malaka,” tulis Ery Soedewo. (historia)
KAOS KARO-BATAK