Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jeruk Manis dan Pendidikan : Semangat Orang Tua Karo Menyekolahkan Anaknya Sejak Dulu Hingga Sekarang

Jeruk Manis dan Pendidikan

Prof. H.R. Brahmana (alm) dulu pernah menyebut bahwa pontensi utama orang Karo ada di tiga sektor: 
👉Pertanian, 
👉Pariwisata dan 
👉Transportasi. 

Di bidang inilah banyak digeluti, mungkin sampai saat ini. Dalam sebuah seminar yang diselenggarakan oleh mahasiswa Karo di Bandung, terungkap bahwa setiap bulan miliaran rupiah mengalir dana guna pendidikan para mahasiswa. Jumlah mahasiswa Karo di Bandung sekitar 600-an orang. Itu baru di Bandung. Sekitar 500-an ada di Jogya, serta sekitar ribuan berada di Jakarta, Bogor dan di kota lain di pulau Jawa seperti Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Malang, Semarang, dst. 

Mungkin mencapai 3000-an orang jumlah mahasiswa Karo yang menuntut ilmu di pulau Jawa. Kalau biaya rata-rata antara 1.000.000- 2.000.000 per orang sebulan, berarti miliaran dana yang mengalir untuk pendidikan mahasiswa Karo di pulau Jawa sebulannya. Bukan suatu angka yang sedikit. Tapi apakah angka itu menunjukkan semangat orang tua dalam menyekolahkan anaknya? Dan peran apa yang telah disumbangkan para sarjana dan mahasiswa membangun kampung halamannya dibandingkan dana yang telah banyak ditransfer dari Sumatera ke Jawa?

Prof. DR. R.K. Sembiring, seorang Guru Besar Matematika ITB Bandung mengatakan, semangat orang tua Karo jaman dahulu untuk menyekolahkan anaknya sangatlah tinggi. Sekalipun profesi mereka umumnya cuma petani tetapi selalu berusaha memberikan pendidikan anaknya hingga perguruan tinggi.

Jeruk Manis dan Pendidikan

Supaya anaknya menjadi orang! Mungkin hingga berhutang (tergade buni-bunin) bahkan sampai menjual tanah. Sembiring mencontohkan orang tuanya yang sangat gigih. Sejak kelas 3 SD ia telah ditinggal ayahnya, sehingga ibunya menjadi single parent baginya dan saudara-saudaranya. Tapi berkat keuletan sang ibu akhirnya beliau bisa meraih sarjana, bahkan menjadi seorang Profesor. Suatu prestasi yang cukup mengagumkan.

Namun melihat kondisi pendidikan terutama mahasiswa Karo dewasa ini, telah terjadi sedikit pergeseran motivasi dalam memperoleh pendidikan. Bagi sebagian orang mungkin seperti ungkapan 'Not to be but to get' sesuai dengan kondisi saat ini. Artinya, mereka mencari pendidikan tinggi bukan mencari ilmu sebagai prioritas utamanya, namun sekedar untuk meraih gelar atau mungkin untuk mencari seseorang sarjana (teman hidup sarjana). Atau lebih pasnya, demi status sosial. Akibatnya, mahasiswa (sarjana Karo) ada yang terlibat suap-menyuap (thn 2000-an) dalam mengejar bangku PTN, menyuap dosen setelah menjadi mahasiswa dsb. 

Jeruk Manis dan Pendidikan

Akhirnya dalam mencari kerja juga harus pakai uang karena sudah terbiasa sejak di bangku kuliah. Ilmu bukan yang dicari, tapi status sosial. Padahal walaupun masuk kerja tidak memiliki standard kemampuan yang seharusnya dimiliki. Sebab menjadi sarjana bukan sekedar titel, tetapi pola hidup dan cara pikir yang membedakannya dari yang tidak sarjana. Mungkin saja seorang insinyur menjadi seorang petani di desa, tentu cara bercocok tanamnya berbeda dengan orang kebanyakan.
 
Masalah lain yang cukup menarik adalah, setelah menyelesaikan study banyak sarjana yang enggan bekerja sesuai dengan disiplin ilmunya. Saya mengamati, cukup banyak lulusan IPB Bogor lebih tertarik menjadi pegawai kantoran di kota daripada mengembangkan pertanian di desa. Mungkin akibat terbiasa dengan pergaulan kota sehingga enggan pulang ke desa, tetapi juga karena masyarakat memandang negatif bila seorang sarjana harus bercocok tanam di desa. 

Jeruk Manis dan Pendidikan

Akibat dari fenomena ini adalah proses pembangunan di desa menjadi lebih lambat akibat minimnya tenaga ahli di desa. Kita ambil contoh Tanah Karo, dimana pertanian telah dikembangkan awalnya melalui zending, Tuan Botje seorang penyuluh pertanian dari NZG sejak awal 1900 memperkenalkan tanaman holtikultura. Artinya sudah lebih satu abad pertanian di tanah Karo, tetapi hingga kini petani masih lebih banyak tetap menjadi petani, bukan menjadi eksportir atau pengusaha agribisnis, atau mengolah menjadi produk lain. 

Kalaupun ada sirup markisah, pabrik dan pemasarannya masih dikuasai oleh pihak lain. Dimana peran sarjana dan mahasiswa dalam mengubah jeruk manis menjadi produk lain? Sebagai balas jasa miliaran rupiah yang setiap bulan mengalir untuk ongkos pendidikan?

Jeruk Manis dan Pendidikan
 
Ke depan, dalam menghadapi otonomi daerah peran sarjana dan mahasiswa Karo haruslah nyata. Munculnya kelas menengah yang lebih banyak tentu lebih berpotensi dari kalangan terdidik, dan berwiraswasta merupakan salah satu jembatan menuju ke arah sana. Bukan menyuap dan cara instan lainnya supaya bisa menjadi pegawai. 

Cara pikir seperti itu sudah ketinggalan jaman. Bayangkan dengan menyuap puluhan hingga ratusan juta, bila dikalkulasi setara bekerja sekitar 5 tahun lebih tanpa gaji. Alangkah baiknya dana sebesar itu digunakan untuk memulai suatu usaha baru. Berbisnis memiliki peluang hidup lebih sejahtera. Iya kan?

(Repost tulisan lawas, 2004) di FB Martin L Peranginangin
Foto  : Presiden RI Joko Widodo saat mengunjungi desa penghasil jeruk dari Liang Melas Datas.
Taken By : Biro pers Setpres
Sumber artikel dari Facebook : Martin L Peranginangin
Editor : Willem A Sinuraya