Pemberian Merga bagi Orang Luar Suku Karo sebagai Bentuk Penghormatan dan Penerimaan
Sudah sangat sering media elektronik maupun media cetak memberitakan pelaksanaan sebuah acara pemberian/ penabalan merga kepada tokoh penting di Kabupaten Karo, bahkan tokoh Nasional. Kegiatan ini memiliki nilai politis serta strategi dalam membangun komunikasi politik. Jika ingin tujuan membangun kedekatan dengan “tokoh” tersebut, maka dikenalkanlah budaya Karo kepadanya.
Akan tetapi, pemberian merga oleh organisasi Karo atau Pemkab Karo menurut saya tidak memiliki otoritas serta legalitas berdasarkan sistim adat budaya Suku Karo. Boleh sebuah organisasi turut berperan. Namun, terasa janggal jika yang memberikan merga seharusnya lebih tepat sebagai fasilitator saja.
Penabalan merga sesungguhnya tidak dikenal di dalam adat budaya Suku Karo. Yang ada hanya pengangkatan anak, pengangkatan orangtua dan pengangkatan senina. Pengangkatan ini biasanya terjadi ketika ada seseorang yang sedang merantau serta tidak diketahui asal usul atau darimana ia berasal. Namun, ada juga dilakukan kepada seseorang yang berjasa terhadap kampung itu.
Dahulu, sering perang antar kampung, sehingga tidak diperkenankan pergi dari kampung itu. Diangkatlah dia menjadi anak, senina atau menjadi anak beru karena dinikahkan dengan merga simantek kuta.
Pengangkatan ini dilakukan dengan acara ”kahkah bohan”, dihadiri sangkep nggeluh sipemberi “status”. Hadirnya sangkep nggeluh maka dia sudah diterima secara sah menjadi bagian dalam keluarga serta diberikan salah satu merga. Biasanya, menjadi merga-merga anak beru simantek kuta.
Kesakralan acara ini menjadi terasa di kemudian hari karena melekat pada dirinya ada sebuah tanggungjawab secara adat kepada sangkep nggeluh tersebut . Dia memiliki kedudukan senina, sembuyak, kalimbubu atau anak beru.
Sehubungan dengan konteks di atas, pemberian atau penabalan merga kepada seseorang sebaiknya dilakukan dengan mengundang sangkep nggeluh serta menjadi kuat dan sakral jika dilakukan oleh seseorang simantek kuta. Inilah sesungguhnya yang layak disebut sebagai tokoh adat karena kedudukannya sebagai Raja Adat di Tanah Karo.
Begitu juga dengan mengangkat anak karena perkawinan antar suku di adat budaya Suku Karo. Sudah sejak dahulu Suku Karo terbuka sifatnya untuk melangsungkan perkawinan dengan suku-suku lain. Letak geografis yang dikelilingi wilayah tanah ulayat suku-suku lain, maka Suku Karo di ulayat Taneh Karo (Medan, Deliserdang , Binjai, Langkat, Kabupaten Karo, sebagian Kabupaten Dairi, sebagian Kabupaten Simalungun) membuat orang warga Suku Karo berinteraksi dengan Suku-suku Batak, Simalungun, Pakpak, Aceh, Melayu, Jawa, Minang, Tamil/ India, Pakistan, Cina dan lainnya selaku pendatang.
Ketika seorang bersukukan Karo melaksanakan adat perkawinan, satu hal yang sering dilakukan adalah memberikan merga atau beru kepada salah satu pasangan dari luar Suku Karo termasuk dari Suku Batak.
Hal ini dimaksudkan agar proses adat dapat berlangsung dengan baik seperti halnya antara sesama orang Karo. Soalnya, suku di luar Karo tentu tidak paham prosedural dan tata adat perkawinan Karo. Di dalam bahasa sehari-hari “gak nyambunglah”.
Suku lain tersebut tidak tahu apa yang harus dilakukannya atau diterimanya sebagai keluarga ataupun kerabat (sistim kekerabatan Karo berbeda dengan suku lain). Oleh karena itu, dibuatlah kerabat atau disebut sangkep nggeluh. Untuk mendapatkan Sangkep Nggeluh, harus ada merga atau beru dari pengantin yang bukan dari Suku Karo.
Agar Berharga (Meherga)
Apabila telah memiliki kerabat/sangkep nggeluh, diangkatlah dia sebagai anak sebelum pesta berlangsung. Setelah dia menjadi anak maka kedudukannya dalam adat sudah kuat, sudah memiliki sangkep nggeluh (ada merga/ beru, bebere, binuang, kampah, soler). Sudah pula ada Anak Beru, Senina, Sembuyak dan Kalimbubu di kehidupannya.
Tidak jarang kita temui di dalam surat undangan perkawinan Suku Karo membubuhkan anak yang diangkat yang berasal dari suku di luar Karo. Penempatan posisi nama di undangan juga dibuat secara berurut. Setelah anak-anak kandung, lalu dituliskanlah anak angkatnya sehingga seolah-olah anak kandungnya banyak. Padahal ada beberapa anak diangkat sewaktu melangsungkan perkawinan.
Ada juga memisahkanya. Dibuatlah kolom Anak ipupus, setelah itu dibuat lagi kolom Anak Aiampu .
Renungan : Jika Karo adalah Batak atau sesama Batak, mengapa seorang Batak kawin dengan suku Karo juga mendapatkan Merga atau Beru? Padahal, dia punya marga/ beru yang konon, menurut dongengnya, semua marga-marga Batak punya asal usul yang sama. Konon ceritanya, dan itupun versi Batak tentunya (yang sangat tidak dikenal oleh Karo kecuali dari buku-buku, yang kebanyakan pula ditulis orang Batak).
Oleh : Sada Arih Sinulingga
Blog : Sorasirulo.com