Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Asal Usul dan Jati Diri Suku Karo

Jati Diri Suku Karo
Foto : Karo Fashion Culture Carnival

Kami bukan siapa-siapa Tapi Kami ada dimana-mana.

Mari Kita Telusuri secara singkat. Para Tetua-tetua Suku Karo mengatakan bahwa asal muasal kata karo berasal dari Haru. Apa itu Haru? Haru adalah Kerajaan Terbesar di Pulau Sumatera yang mana pusat kerajaannya berada di Sumatera Utara dan sebuah Kerajaan yang ditakuti & disegani & tidak bisa ditaklukan oleh Kerajaan Majapahit ( kerajaan yang berpusat di jawadwipa/pulau jawa yang Patihnya adalah Gajah Mada dengan Sumpah Palapa yaitu tidak akan memakan buah Palapa sebelum menyatukan Nusantara). 

Kerajaan Haru satu bagian berada di daratan Karo (lingkupnya berada di kota binjei (bahasa karonya ben jee), Kab. Langkat (bahasa karonya La iangkat, sebuah kerajaan yang legalitasnya tidak resmi dan tidak diakui oleh kesultanan deli), Kab.Deli Serdang, Kab.Serdang Bedagai, Kota Medan, Kab.Karo, Kab. Pak-pak Bharat, Kab.Dairi, Kab.Simalungun) dan satu bagian berada di daratan Aceh (orang karo sebut Atjih atau istilah indonesianya bersin).

Berdasarkan penelitian arkeologi yang berasal dari India dan dari hasil penelitiannya mengatakan bahwa Kerajaan Sriwijaya sebenarnya adalah bagian dari Haru/Karo yang prasastinya berada di kab.karo).

Berdasarkan keturunan raja dan bangsawan kerajaan Siak Lingga yang mana lokasi kerajaannya berada di kepuluan riau yang berbatasan dekat negara Singapura (dulu namanya temasek yang merupakan tanah kerajaan yang dibentuk oleh dari garis keturunan Sriwijaya) adalah merupakan bagian dari kerajaan haru yang mana rajanya merupakan dari garis keturunan Raja/Sibayak Lingga (klan karo-karo si 4 kuru)

Berdasarkan DNA (ilmu genetika yang keabsahannya diakui oleh PBB) Suku Karo sudah mendiami Pulau Sumatera sejak 8.300 tahun lampau dan jauh sebelum Raja-raja Batak datang ke Pulau Sumatera dari sabang sampai lampung (berdasarkan genetika DNA ini mengartikan Suku Karo bukan suku batak dan bukan juga sub suku batak). Ingin Tahu detailnya?

Mari kita telusuri tentang Kerajaan Haru & Bagaimana Kerajaan Haru itu sebenarnya yang dirangkum dari berbagai sumber.

Sebuah kerajaan yang pernah bangkit menjadi kerajaan besar, tetapi terlupakan di dalam Sejarah Negara Indonesia (NKRI) adalah Kerajaan Haru/Aru, yang berpusat di Sumatera Utara. Sementara berbagai sumber tulisan dari Eropa, Cina, Aceh, Melayu, dan lainnya menyebutkan tentang keberadaan kerajaan ini.

1. Masa Kerajaan Haru Berdiri

Kerajaan Haru muncul dalam kronik Cina pada masa Dinasti Yuan, yang menyebutkan Kubilai Khan menuntut tunduknya Haru kepada Cina pada tahun 1282, yang ditanggapi dengan pengiriman upeti dari Haru pada tahun 1295 (Wikipedia). Kerajaan Haru telah eksis pada abad ke-13, sebagaimana beberapa utusannya telah sampai ke Tiongkok, yaitu pertama di tahun 1282 dan 1290 pada zaman pemerintahan Kubilai Khan (T.L. Sinar, 1976 dan McKinnon dalam Kompas, 24 April 2008).

http://sopopanisioan.blogspot.com

Kerajaan Haru merupakan sebuah kerajaan yang disebutkan di dalam kitab Negara Kertagama dan Pararaton (1336). Dalam pupuh ke-13 bait ke-1 dari Negara Kertagama (1365) diuraikan bahwa Haru berada di bawah kekuasaan Majapahit. Munculnya utusan-utusan dari Kerajaan Haru di istana Kaisar Cina dan kunjungan Laksamana Cheng Ho sebagaimana ditulis oleh Ma Huan di dalam laporannya pada tahun 1416 dan 1436 membuktikan keberadaan kerajaan Haru. 

Pada abad ke-15, Sejarah Dinasti Ming menyebutkan bahwa "Su-lu-tang Husin", penguasa Haru, mengirimkan upeti kepada Cina tahun 1411. Sumber dari Eropah seperti Tome Pires (1512-1515), Mendez Pinto (1539) dan Duarte Borbosa (1513-1515) ada juga melaporkan kerajaan Haru ini. Masih ada lagi sumber dari Aceh dan Melayu tentang Haru.

Dalam laporan Tome Pires, yaitu Suma Oriental, disebutkan bahwa kerajaan Haru merupakan kerajaan yang kuat, Penguasa Terbesar di Sumatera, yang memiliki wilayah kekuasaan luas dan memiliki pelabuhan yang ramai dikunjungi kapal-kapal asing. Tomé Pires juga mendeskripsikan  kehebatan armada kapal laut kerajaan Haru yang mampu melakukan pengontrolan lalu lintas kapal-kapal yang melalui Selat Melaka pada masa itu. Dalam Sulalatus Salatin, Haru disebut sebagai kerajaan yang setara kebesarannya dengan Malaka dan Pasai (Wikipedia).

Gambaran daerah kekuasaan Kerajaan Haru ini ditemukan juga dalam: Hikayat Raja-raja Pasai dan Sejarah Melayu, pada pertengahan abad ke-13 (Sinar, 2006:12). Sebagaimana dijelaskan dalam Sejarah Melayu bab ke-13 bahwa Kerajaan Haru telah menjadi kerajaan besar setaraf dengan Malaka dan Pasai pada abad ke-15. 

Pada periode tersebut, Haru menjadi kerajaan besar di Sumatera dan memiliki kekuatan yang dapat menguasai lalu lintas perdagangan di Selat Malaka sebelum kedatangan Portugis. Oleh karena itu, dalam Sejarah Melayu karya Tun Sri Lanang dijelaskan bahwa Haru sempat berkali-kali menduduki Pasai dan menyerang Malaka (Azhari, 2010:2).

http://sopopanisioan.blogspot.com

Pada abad ke-16 Haru merupakan salah satu kekuatan penting di Selat Malaka, selain Pasai. Setelah menguasai Malaka pada tahun 1511, Portugal dengan bantuan Haru menyerbu Pasai pada tahun 1526. Catatan Portugis menyebutkan dua serangan Aceh pada tahun 1539 dan 1564 sempat mengalahkan Haru, tetapi kemudian Aceh dapat dikalahkan dengan bantuan Johor seperti dicatat dalam Hikayat Aceh dan sumber-sumber Eropa. 

Kemerdekaan Haru baru berakhir pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Dalam surat Iskandar Muda kepada Best (1613) dikatakan, bahwa Raja Haru telah ditangkap. Haru kemudian mendapatkan kemerdekaannya dari Aceh pada tahun 1669 dengan nama Kesultanan Deli. Hingga terjadi sebuah pertentangan dalam pergantian kekuasaan menyebabkan pecahnya Deli dan dibentuklah Kesultanan Serdang pada tahun 1723 (Wikipedia).

2. Kerajaan Haru Setelah Runtuh

Kerajaan Haru berpusat di kota Rentang sebelumnya, tapi dengan adanya serangan Aceh kemudian pusat kerajaan berpindah ke Deli Tua yang memiliki benteng pertahanan. Perihal benteng ini dapat diperoleh dari catatan P.J. Vet dalam bukunya “Het Lanschap Deli op Sumatra” (1866-1867) maupun laporan John Anderson pada tahun 1823 bahwa di Deli Tua terdapat benteng tua berbatu yang tingginya mencapai 30 kaki dan sesuai untuk pertahanan. 

Benteng Putri Hijau ini terdapat di Namu Rambe dan berdasarkan survei yang dilakukan John Miksic (1979) luasnya adalah 150x60 m2 atau 360 Ha. Letaknya persis diantarai dua lembah yang di sebelah baratnya mengalir Lau Petani/Sungai Deli.

Mendez Pinto (1539) menceritakan tentang ibukota Haru serta kubu, benteng, sebuah meriam besar dan istana di dalam benteng. Kemudian hari ditemukan sebuah meriam bertulisan Arab dengan bunyi: ’Sanat… alamat Balun Haru’ yang ditemukan oleh kontrolir Cats de Raet pada tahun 1868 di Deli Tua (Lukman Sinar, 1991). 

Di tengah meriam tersebut terdapat tulisan buatan Portugis. Hal ini senada dengan laporan Pinto bahwa Haru memiliki sebuah meriam yang besar. Meriam inilah kemudian disebut dalam kisah Putri Hijau ditembakkan secara terus-menerus hingga terbagi dua.

Setelah diserang oleh Aceh di masa Sultan Alauddin Riayat Syah Al Kahar (1537-1571) pada 1564, maka tidak lagi ada berita tentang Haru. Serangan Aceh kedua ini adalah serangan terhebat hingga kerajaan Haru hancur dan hanya menyisakan benteng hingga kini. Hal ini senada dengan pendapat Mohammad Said (1980) bahwa peperangan yang terjadi pada masa Sultan Iskandar Muda (1612-1619) tidaklah sehebat peperangan pada masa Sultan Al-Kahar (Damanik, 2008:1-5).

http://sopopanisioan.blogspot.com

Selanjutnya Haru dikuasai Aceh yang dipimpin oleh panglima Gocah Pahlawan sebagai wali negeri Aceh di Haru, yakni kesultanan Deli. Panglima Gocah Pahlawan (asal India) dari Kerajaan Aceh kemudian menjadi Sultan Kerajaan Deli pertama yang berkuasa pada 1632-1653. 

Sementara itu, walaupun mengalami serangan hebat, menurut Zainal Arifin dalam buku “Subuh Kelabu di Bukit Kubu” (2002), diterbitkan oleh Dewan Kesenian Langkat, petinggi Haru itu tidak turut tewas. Ia melarikan diri ke Kota Rentang - Hamparan Perak, Deli Serdang dan mendirikan kerajaan baru dengan rajanya bernama Dewa Syahdan (1500-1580). 

Kerajaan inilah kemudian melahirkan Kerajaan Langkat dan keturunan terakhir dari Kerajaan Langkat ini adalah Tengku Amir Hamzah, seorang penyair besar yang tewas dalam revolusi berdarah pada tahun 1946 (www.lenteratimur.com).

Sebagai catatan akhir, bahwa belum ada mufakat mengenai siapa Kerajaan Haru itu. Masyarakat Karo, misalnya, menyebutkan bahwa Karo berasal dari kata “Haru”. Karena itu, masyarakat Haru merupakan masyarakat Karo yang didirikan oleh klan Kembaren. Dalam “Pustaka Kembaren” (1927), marga Kembaren disebut berasal dari Pagaruyung di Tanah Minangkabau. 

Akan tetapi, ada indikasi bahwa penduduk asli Haru berasal dari suku Karo, seperti nama-nama pembesar Haru dalam Sulalatus Salatin yang mengandung nama dan marga Karo. Haru memakai adat Melayu, dan pembesarnya ada menggunakan gelar-gelar Melayu seperti "Raja Pahlawan" dan "Sri Indera". Namun adopsi terhadap adat Melayu ini mungkin tidak sepenuhnya, dan unsur-unsur adat Karo masih ada (wikipedia).

Berkaitan dengan penguasa Haru, tidak dapat dipisahkan dengan peran lembaga Raja Berempat, yang menurut Peret (2010) telah ada sebelum pengaruh Aceh. Raja Urung di pesisir ini meliputi Urung Sunggal. Urung XII Kuta, Urung Sukapiring dan Urung Senembah, yang masing-masing berkaitan dengan Raja Urung di dataran tinggi (Karo), yakni Urung Telu Kuru (merga Karo-Karo), Urung XII Kuta (merga Karo-Karo), Urung Sukapiring (merga Karo-Karo) dan Urung VII Kuta (merga Barus).

Dalam kesempatan berikut, Raja Berempat ini berperan dalam penentuan calon pengganti Sultan di Deli/Serdang, dengan menempatkan Datuk Sunggal sebagai Ulun Janji (wikipedia).

Note: 
1. Raja berempat itu adalah: Sibayak Lingga (merga Sinulingga/klan karo-karo si 4 kuru yaitu: Sinulingga, Surbakti, Kacaribu & Kaban), Sibayak Suka (merga ginting/klan siwah sada ginting), Sibayak Sarinembah & Sibayak Juhar. Raja Berempat dikomandani/raja diraja oleh Sibayak Lingga (klan karo-karo si 4 kuru). 
2. Sejarah detail kerajaan haru ada di suku karo (diraja berempat), 
3. Melayu adalah sub marga dari marga perangin-angin di suku karo) jadi bangsa Melayu sebenarnya merupakan bagian dari Suku Karo.

ORANG KARO/ SUKU KARO

Hubungannya dengan Si Raja Batak; Fakta atau Mitos?

Oleh: Edward Simanungkalit *

Orang Karo Berdasarkan Migrasi Leluhur

Orang Karo (Suku Karo) berada di wilayah Sumatera bagian Utara dan untuk dapat mengenal Orang Karo lebih jauh, maka perlu mengetahui asal migrasi leluhurnya. Arkeolog senior, Prof. Dr. Harry Truman Simanjuntak dari Pusat Arkeologi Nasional telah malang-melintang melakukan penelitian arkeologi prasejarah selama ini di Indonesia. Peneliti dan Direktur Center for Prehistoric Austronesian Studies ini memaparkan bahwa pada masa Pleistosen yang terentang mulai dari 2 juta tahun lalu hingga 11.500 tahun lalu, bumi begitu dinamis. Banyak pergerakan lempeng bumi, aktifnya gunung api, dan peng-es-an (glasiasi), sehingga diduga pada masa itulah banyak manusia dan hewan bermigrasi. 

Di Indonesia, pertanggalan tertua berasal dari situs Song terus, Pacitan, sekitar 45.000 tahun lalu. Lalu, berlanjut dengan berakhirnya zaman es awal Holosen yang menyebabkan kenaikan air laut, sehingga memicu diaspora pada 10.000 – 5.000 SM, kedatangan penutur Austronesia sekitar 4.000 tahun lalu hingga zaman fajar sejarah alias protosejarah beberapa abad menjelang Masehi (Majalah Arkeologi Indonesia, 16/03-2014).

Prof. Dr. Harry Truman Simanjuntak memaparkan, bahwa berdasarkan data arkeologi, etnologi, dan paleontologi, terdeteksi adanya arus migrasi, selain penutur Austronesia dan Papua, yang masuk dari sisi barat melewati Malaysia hingga ke Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Mereka adalah penutur Austroasiatik. Penutur Austroasiatik ini tiba di Indonesia pada 4.300-4.100 tahun lalu yang kemudian baru disusul penutur Austronesia pada kisaran 4.000 tahun lalu. 

Austroasiatik dan Austronesia sebenarnya berasal dari satu rumpun bahasa yang sama, yaitu bahasa Austrik, tetapi kemudian pecah. Bahasa Austroasiatik digunakan di sekitar Asia Tenggara Daratan, sedangkan Austronesia digunakan di wilayah kepulauan, seperti Taiwan, Filipina, Pasifik, Madagaskar, hingga Pulau Paskah. Bahasa Austrik awalnya dimanfaatkan masyarakat Yunan, Cina Selatan. Bahasa ini kemudian pecah menjadi dua, yaitu Austroasiatik dan Austronesia, yang kemudian menjadi penyebutan nama kelompok berdasarkan penggolongan bahasa. 

Pada 4.300-4.100 tahun lalu, dari Yunan, penutur Austroasiatik bermigrasi ke Vietnam dan Kamboja lewat Malaysia hingga ke Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Salah satu penandanya ialah temuan tembikar-tembikar berhias tali yang bentuknya sama dengan tembikar di selatan Tiongkok hingga Taiwan. Kemudian, pada 4.000-an tahun lalu, muncul arus migrasi penutur Austronesia lewat sisi timur Indonesia. Arus migrasi itu muncul mulai dari Sulawesi, Kalimantan, dan sebagian ke selatan, seperti Nusa Tenggara, hingga menuju Jawa dan Sumatera (Kompas, 27/11-2014).

Kembali Prof. Harry Truman Simanjuntak menegaskan, bahwa hasil penelitian menunjukkan adanya dua arus migrasi besar ke Indonesia yang menjadi cikal bakal leluhur langsung bangsa Indonesia. 

Pertama, penutur Austroasiatik yang tiba pada 4.300-4.100 tahun lalu dan, kedua, penutur Austronesia yang datang pada kisaran 4.000 tahun lalu. Arus migrasi terjadi setelah pertanian di sekitar Cina Selatan (asal kedua rumpun itu) berkembang pesat hingga terjadi ledakan jumlah penduduk yang memaksa mereka bermigrasi. Kedua ras Mongoloid yang menggunakan bahasa berbeda ini akhirnya bertemu di sekitar Jawa, Kalimantan, dan Sumatera. 

Penutur Austronesia ternyata lebih berhasil mempengaruhi penutur Austroasiatik, sehingga berubah menjadi penutur bahasa lain. Sebelum kedua penutur tadi datang, sudah ada ras Australomelanesoid, yang hingga sekarang hidup di wilayah Indonesia timur, seperti Papua (Kompas, 07/08-2014). 

Jadi, ada tiga penutur bahasa yang menjadi cikal-bakal leluhur bangsa Indonesia pada masa prasejarah, yaitu: Orang Negrito (dari ras Australomelanesoid seperti Papua), penutur Austrosiatik, dan penutur Austronesia.

Penutur Austroasiatik dan penutur Austronesia ini berasal dari ras Mongoloid yang berasal dari Cina Selatan, sedang Orang Negrito berasal dari ras Australomelanesoid (campuran ras Australoid dan ras Melanesoid). Orang Negrito ini datang lebih awal ke Sumatera setelah Sundaland tenggelam yang datang dari Hoabinh, Teluk Tonkin, Vietnam. Di pesisir Sumatera bagian Utara, migrasi Orang Negrito ditandai dengan ditemukannya bukit-bukit kerang dari Deli Serdang hingga Lhok Seumawe.

Penelitian arkeologi yang dilakukan oleh H.M.E. Schurmann di dekat Binjai (1927), Van Stein Callenfels di dekat Medan, Deli Serdang, Kupper di Langsa, Aceh Timur (1930), MacKinnon di DAS Wampu, Prof. Truman Simanjuntak dan Budisampurno di Sukajadi, Langkat (1983), di Lhok Seumawe dan oleh Tim Balai Arkeologi Medan (Balarmed) di Aceh Tamiang (2011) menemukan bahwa para pendukung budaya Hoabinh sudah datang pada masa Mesolitik, 10.000-6.000 tahun lalu (Wiradnyana, 2011:19-21). 

Belakangan ditambah dengan hasil penelitian Balarmed di Bener Meriah di Aceh (2012) (Wiradnyana, 2011:127). Temuan fosil tertua dari Loyang Mandale, Aceh Tengah berusia 8.430 tahun (Lintas Gayo, 11/07-2014).

Sumatera bagian Utara terbukti sudah didatangi para pendukung budaya Hoabinh, yaitu Orang Negrito pada masa Mesolitik (10.000-6.000 tahun lalu). Orang Gayo terbukti adalah keturunan Orang Negrito ini setelah dilakukan penelitian arkeologi oleh Balai Arkeologi Medan dan penelitian genetika oleh Lembaga Eijkman. Secara genetik, bahwa Orang Gayo dengan Orang Karo berkerabat sangat dekat (Lintas Gayo, 07/12-2011; Kaber Gayo, 07/12-2011), sehingga jelas bahwa Orang Karo merupakan keturunan Orang Negrito juga dan di dalam DNA Orang Karo ada unsur Negrito tersebut.

Mengingat bukit kerang ditemukan juga di Deli Serdang dan Langkat yang telah dilakukan penelitian arkeologi, maka sangat mungkin Orang Negrito banyak juga di Tanah Karo pada masa lalu. Kemudian, seperti dikemukakan Harry Truman Simanjuntak sebelumnya, bahwa penutur Austroasiatik dan penutur Austronesia datang juga ke Sumatera bagian Utara, sehingga bahasa Karo dan Gayo dimenangkan oleh penutur Austronesia. 

Oleh karena itu, bahasa Karo dan Gayo termasuk rumpun bahasa Austronesia (Adelaar, 1981:55), seperti bahasa Simalungun, Toba, Pakpak, dan Mandailing juga termasuk rumpun bahasa Austronesia. Selain itu, secara khusus, bahwa ada jejak genetika orang-orang Tamil dari India Selatan di Gayo dan Karo. Jejak genetika ini ditemukan selain genetika orang-orang daratan Asia (Kamboja dan Vietnam), yaitu penutur Austroasiatik, yang datang melalui Semenanjung Malaka dan penutur Austronesia melalui Filipina. Migrasi Orang Tamil ke Gayo dan Karo berlangsung secara bertahap pada masa sejarah (Kompas, 02/04-2013).

Jadi, dari migrasi yang datang ke Gayo dan Karo terlihat yaitu: Orang Negrito, penutur Austroasiatik, penutur Austronesia, dan Orang Tamil dari India Selatan. Kesamaan ini terlihat ketika penelitian genetika dilakukan oleh Lembaga Eijkman terbukti bahwa genetika Gayo dan Karo berkerabat sangat dekat. Berdasarkan migrasi leluhur tadi, maka Orang Karo terutama merupakan campuran dari 4 (empat) penutur bahasa, yaitu:

👉 Orang Negrito (Masa Mesolitik: 10.000 - 6.000 tahun lalu).
👉 Penutur Austroasiatik (Masa Neolitik: 6.000 - 2.000 tahun lalu).
👉 Penutur Austronesia (Masa Neolitik: 6.000 - 2.000 tahun lalu).
👉 Orang Tamil dari India Selatan (Masa periode tahun masehi).

Di dalam DNA Karo dan Gayo ada ditemukan unsur: Negrito, Austroasiatik, Austronesia, dan Tamil, sehingga kesamaan inilah yang membuat Karo dan Gayo berkerabat sangat dekat.

Si Raja Batak dari Sianjur Mula-mula

Pada Juli 2013, Balai Arkeologi Medan melakukan penelitian "Jejak Peninggalan Tradisi Megalitik di Kabupaten Samosir" dengan melakukan kegiatan ekskavasi dan survei arkeologi. Tinggalan megalitik yang mereka temukan di Samosir, yaitu: sarkofagus, tempayan batu, kubus batu, kubur pahat batu, tambak batu, batu dakon, menhir, patung-patung batu seperti patung pangulu balang, lesung batu, palungan batu, bottean, sakkal, gajah dari batu paha, parik (pagar batu), dan punden berundak.

Tempayan batu seperti disebutkan tadi ada ditemukan di Sumatera Selatan yang berasal dari millenium kedua masehi. Rumah adat memiliki pola arsitektur rumah panggung melengkung yang merupakan ciri budaya Dong Son. Pola hias di rumah adat dalam bentuk berbagai macam binatang dan sulur-suluran yang dibuat dengan hiasan rumbai-rumbai seperti bulu-bulu yang panjang baik itu pada pahatan flora ataupun pahatan fauna mengingatkan akan hiasan model yang serupa pada benda-benda perunggu yang berasal dari Dong Son. 

Gambar cecak sebagai lambang kejujuran dan atau kebenaran bagi para pemimpin yang memimpin. Pada tradisi paleometalik Dong Son sangat umum dikenal motif-motif antara lain sulur-suluran, spiral atau pilin berganda, geometris berupa segi empat, bulatan, tumpal maupun belah ketupat dan motif-motif itu masih selalu hadir pada berbagai aspek tinggalan budaya Toba (Wiradnyana & Setiawan, Jejak Peninggalan Tradisi Megalitik di Kabupaten Samosir, 2013).

Berdasarkan penelitian arkeologi di atas,
disimpulkan bahwa pendukung budaya Dong Son yang merupakan penutur bahasa Austronesia telah datang dari Cina Selatan setelah melalui Taiwan terus berakhir di Sianjur Mula-mula sekitar 800 (+/- 200) tahun lalu (Wiradnyana, 2015). 

Hal ini sesuai dengan Teori Out of Taiwan yang sangat terkenal itu. Mark Lipson (Juni 2014) --- dengan menggunakan data-data dari HUGO Pan-Asian SNP Consortium dan CEPH-Human Genome Diversity Panel (HGDP), yang data awalnya dipasok oleh Lembaga Biologi Molekuler Eijkman --- melakukan analisa statistikal atas DNA penutur Austronesia. Analisa atas DNA penutur Austronesia itu termasuk DNA Orang Toba (Mark Lipson, New statistical genetic methods for elucidating the history and evolution of human populations, 2014:85-90) dapat disimpulkan bahwa Orang Taiwan yang datang ke Sianjur Mula-mula berasal dari suku Amis dan suku Atayal, yang kedua-duanya merupakan suku asli Taiwan. Khusus suku Amis dan suku Atayal merupakan keturunan dari suku H’Tin dari Thailand (Austroasiatik) yang sudah bercampur dengan penutur Austronesia, sehingga kedua suku ini memiliki DNA: Austronesia + Austroasiatik. Diperkirakan percampuran itu terjadi di Cina Selatan dan oleh karena ledakan penduduk, mereka pun bermigrasi ke Taiwan membentuk suku Amis dan suku Atayal tadi. Jadi, DNA penghuni awal Sianjur Mula-mula terdiri dari Austronesia dan Austroasitik.

Antara Fakta atau Mitos


Menurut penuturan W.M. Hutagalung, dalam bukunya: “PUSTAHA BATAK: TAROMBO DOHOT TURITURIAN NI BANGSO BATAK” (1926), bahwa Si Raja Batak adalah keturunan dari Raja Ihat Manisia sebagai hasil perkawinan dari Si Borudeak Parujar dengan Raja Odapodap. Mereka berdua adalah penghuni langit ketujuh yang turun ke bumi dan mendiami Sianjur Mula-mula di kaki Pusuk Puhit. Mereka berdua turun-naik melalui puncak Pusuk Buhit ke Sianjur Mula-mula dan Sianjur Mula-mula dipandang sebagai kampung awal persebaran manusia. Si Raja Batak merupakan keturunan dari Raja Ihatmanisia. Dalam tarombo dan turiturian itu diceritakan bahwa keturunan Si Raja Batak ada sebagian ke tanah Pakpak membentuk Batak Pakpak, ke tanah Karo membentuk Batak Karo, ke tanah Simalungun membentuk Batak Simalungun, dan ke tanah Mandailing membentuk Batak Mandailing. Begitulah ringkasan penuturan W.M. Hutagalung dalam bukunya yang laris manis itu.

Apabila melihat kepada Si Raja Batak dari Sianjur Mula-mula, maka jelas bahwa Si Raja Batak adalah Orang Taiwan yang memiliki DNA Austronesia dan Austroasiatik.

Sementara Orang Karo merupakan keturunan dari campuran Orang Negrito yang datang pada masa Mesolitik, penutur Austroasiatik dan penutur Austronesia yang datang pada masa Neolitik, serta Orang Tamil. Maka, jelas berbeda kedatangannya yang jauh lebih dulu kedatangan dari Orang Negrito, penutur Austroasiatik, dan penutur Austronesia dibanding Si Raja Batak yang diperkirakan datang sekitar 800 (+/- 200) tahun lalu.

Kemudian dari campuran tadi jelas bahwa Orang Karo berbeda secara genetik dengan Si Raja Batak yang Orang Taiwan tadi. Sehingga, pernyataan bahwa Orang Karo adalah keturunan Si Raja Batak bukanlah fakta, melainkan hanyalah mitos.

Sebelum Si Raja Batak datang ke Sianjur Mula-mula di Negeri Toba, dalam bukunya: “Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia” (2000:339), Peter Belwood menulis bahwa Orang Negrito sudah datang ke Humbang di Negeri Toba pada sekitar 6.500 tahun lalu. 

Peter Belwood merujuk pada hasil penelitian paleontologi yang dilakukan Bernard K. Maloney di Pea Simsim, Pea Sijajap, Pea Bullock, dan Tao Sipinggan daerah Humbang. Penelitian Maloney ini dan penelitian Balai Arkeologi Medan di Samosir yang sudah disebutkan tadi dikonfirmasi oleh hasil analisa DNA Orang Toba oleh Mark Lipson (2014:87) dengan menyimpulkan bahwa DNA Orang Toba terdiri dari: Austronesia 55%, Austroasiatik 25%, dan Negrito 20%. Maka, jelas bahwa Orang Toba bukan hanya Orang Taiwan (Austronesia+Austroasitik), tetapi campuran Orang Taiwan dan Orang Negrito. Orang Negrito sudah ada mendiami Humbang sebelum Si Raja Batak datang ke Sianjur Mula-mula di kaki Pusuk Buhit, Negeri Toba, sehingga pernyataan bahwa Sianjur Mula-mula merupakan awal persebaran manusia bukanlah fakta, melainkan hanyalah mitos.

Kesimpulan

Orang Karo bukanlah Orang Taiwan seperti Si Raja Batak yang Orang Taiwan, melainkan campuran Negrito, Austroasiatik, Austronesia, dan Tamil. Oleh karena itu, dapat dipastikan bahwa Orang Karo bukan keturunan Si Raja Batak dari Sianjur Mula-mula. 

Orang Karo lebih dulu sampai di Tanah Karo yang sudah datang pada masa prasejarah daripada Si Raja Batak yang sampai di Sianjur Mula-mula sekitar 800 (+/- 200) tahun lalu, sehingga migrasi Orang Toba ke Tanah Karo tidak menjadikan Orang Karo menjadi keturunan Si Raja Batak dari Sianjur Mula-mula. 

Jelas bahwa tidak ada hubungan genealogis Si Raja Batak dengan Orang Karo, sementara bahasa Toba dan bahasa Karo termasuk ke dalam rumpun bahasa Austronesia. Akhirnya, pernyataan bahwa Orang Karo adalah keturunan Si Raja Batak dari Sianjur Mula-mula bukanlah fakta, melainkan hanyalah mitos! ***

Catatan Kaki:

*** ORANG TOBA: Asal-usul, Budaya, Negeri, dan DNA-nya; ORANG TOBA: Austronesia, Austroasiatik, dan Negrito; ORANG TOBA: Bukan Keturunan Si Borudeak Parujar; Orang Toba dan Sianjur Mula-mula; Orang Toba dengan Tarombo Sianjur Mula-mula; SI RAJA BATAK ATAU SI RAJA TOBA?; ORANG SIMALUNGUN KETURUNAN SI RAJA BATAK DARI SIANJUR MULAMULA - PUSUK BUHIT; FAKTA ATAU MITOS?; ORANG PAKPAK: Hubungan dengan Si Raja Batak; Fakta atau Mitos? ORANG SIMALUNGUN: Hubungannya dengan Si Raja Batak; Fakta atau Mitos? ; ORANG MANDAILING: Hubungannya dengan Si Raja Batak; Fakta atau Mitos?; oleh: Edward Simanungkalit dalam Blog SOPO PANISIOAN di http://sopopanisioan.blogspot.com

Terima kasih buat bapak Edward Simanungkalit atas bedah ilmunya sehingga suku karo dapat memahami asal-asulnya lebih terang dan ternyata identitas suku Karo itu bukanlah merupakan bagian dari Batak ataupun sub marga Batak.

Semoga Bermanfaat & Mejuah-juah Man Banta Kita Kerina.