Berpikir Ilmiah KBB
Berastagi 1970 |
π1. Memastikan apakah ada atau tidak ada peristiwanya atau
π2. (Kalau sudah pasti ada peristiwa) mengenal/ memahami peristiwanya.
Sebagai contoh adalah anggapan bahwa Karo adalah bagian Batak.
✋Pertanyaan pertama, adakah peristiwanya? (apakah ada yang menganggap Karo adalah bagian Batak?). Jawabannya kita ketahui semua, ADA.
✋Pertanyaan ke dua, di mana saja muncul peristiwa itu, kapan saja, sejak kapan, mengapa muncul, seberapa penting/ kuat kemunculannya? Dan lain sebagainya yang berusaha mengenali peristiwa itu.
Untuk mendapat jawaban terhadap pertanyaan itu dilakukan pengamatan. Pengamatan terhadap kepustakaan perlu dalam hal ini karena jelas awal-awalnya hanya muncul di kepustakaan. Pengamatan terhadap pengakuan diri sebagai bagian Batak seperti GBKP, lagu Batak Karo, dan lain sebagainya. Tingkat keterlibatan orang-orang Karo di aktivitas yang mengatasnamakan Batak. Tingkat gairah orang-orang Karo menyebut istilah Karo saja atau Batak Karo. Dan lain sebagainya.
Catatan dan dokumentasi megenai jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas disebut DATA.
Data kemudian dianalisa untuk menemukan FAKTA apa yang mendorong kemunculan peristiwa. πSalah satu misalnya fakta ikut-ikutan saja tanpa sadar dan mungkin tidak peduli apakah Karo itu masuk Batak atau tidak.
πFakta kepentingan, contoh kecil dia ingin kawin dengan perempuan/ laki-laki Batak atau bekerja di perusahaan yang kebetulan bosnya Orang Batak.
πAda juga fakta akibat pikiran kalau sudah diterbitkan dalam bentuk buku sudah dianggap sebagai sebuah kebenaran mutlak. Dan lain sebagainya. Hingga kita menarik kesimpulan dengan membangun sebuah teori.
Sejak membuat pertanyaan kita sudah bisa ditemani oleh teori-teori yang sudah ada, baik yang berkenaan langsung dengan thema kita ataupun dari hasil penelitian orang lain di lain tempat.
Bisa juga meluas ke teori-teori tentang identitas, teori tentang pengaruh media (buku, koran, televisi, dan lain-lain). Bisa teori tentang patron-client relationship. Dan lain sebagainya.
Tapi tidak pada semua tahapan mengharuskan sudah mengkaitkannya dengan teori yang ada. Pertanyaan bisa saja disusun atas kebutuhan masyarakat di samping ketertarikan hasil-hasil penelitian orang lain.
Penemuan terhadap fakta bisa dilakukan dengan melihat POLA pada data. Seperti pernah ditulis oleh seorang antropolog Amerika (Rita S. Kipp) yang meneliti Karo di tahun 1970an.
"Orang-orang Karo tidak membantah kalau ada orang lain menganggapnya Batak. Tapi, mereka sesama mereka berbisik-bisik untuk menyatakan kalau mereka bukan Batak," tulis Kipp.
Kayaknya Rita S. Kipp berada di posisi netral saat menampilkan data itu. Karena itu, dalam bukunya Beyond Samosir dia mengatakan silahkan saja kita peneliti asing menggunakan Batak sebagai payung agar mudah dikenali oleh pembaca kita.
Jelas maksudnya bahwa Karo Bukan Batak. Tapi, karena kebanyakan literatur lama menggunakan istilah itu untuk merangkul suku-suku lain di sekitarnya, boleh saja menggunakannya hanya sebagai payung.
Di desertasinya, The Idiology of Karo Kinship (1976), dia tidak menggunakan kata Karo Batak, tapi di sebuah artikelnya dia menulis The Idiology of Kinship in Karo Batak Ritual (1978).
Uli Kozok sangat jelas mengutip pernyataan Rita S. Kipp itu (tanpa pernah menyebut sumbernya) untuk menyatakan Batak sebagai payung.
Orang-orang anti KBB menanggapi pernyataan Uli Kozok itu seolah dia berada pada posisi menganggap Karo adalah Batak. Padahal jelas juga dia pernah mengatakan Karo Bukan Batak. Saya perhatikan, Uli Kozok dalam hal ini bermain di dua kaki, demi kepentingan pribadinya.
Kembali ke DATA yang ditampilkan oleh Kipp, tentang bisik-bisik tapi tidak membantah disebut Batak Karo, ini mengindikasikan sebuah FAKTA bahwa orang-orang Karo tidak mau atau tidak berani membuat orang lain kecewa. Orang-orang Karo juga kurang berani berdebat.
Berdasarkan FAKTA seperti itu Malem Ukur Ginting dari Swedia pernah menulis "100 Tahun Karo Sinek". Atas FAKTA itu juga, saya di awal-awal Gerakan KBB di media sosial (yahoogroups) tampil garang dan beringas.
Makanya sampai sekarang saya tidak pernah menegur para pejuang KBB tampil beringas. Paling saya benci adalah Kuda Manggotok, madit ku karang. Kita kang pegasna tempa ia si pantas ndai kal.
Dengan kata lain, proses penelitian itu telah membawa kita terhadap pengenalan terhadap peristiwa itu dalam bentuk TEORI bahwa Batak itu jelas ada (Toba, Samosir, Humbang, Silindung), tapi Karo Bukan Batak. Gerakan KBB ringkasnya adalah mematahkan anggapan bahwa Karo adalah Batak.
Misalnya saja tentang nama GBKP. Apakah semua jemaat GBKP beranggapan bahwa Karo adalah bagian Batak atau hanya para elitnya saja dan itupun karena sudah ada nama itu tanpa tahu menahu bagaimana prosesnya hingga bernama GBKP. Tanpa tahu juga kalau dulu namanya Karo Kerk (Gereja Karo).
Belum ada penelitian serius mengenai itu. Misalnya dengan mengedarkan angket ke para jemaat untuk mengukur seberapa banyak jemaat GBKP yang beranggapan Karo adalah bagian Batak dan seberapa mendalam pengetahuannya tentang itu.
Maka para elitnya jangan pulak lah berbuat seolah-olah semua jemaat GBKP menganggap Karo adalah bagian Batak. Bahkan ada pula yang menjadikan nama GBKP sebagai bukti kalau Karo adalah Batak.π
Oleh : Juara R Ginting
✋Pertanyaan ke dua, di mana saja muncul peristiwa itu, kapan saja, sejak kapan, mengapa muncul, seberapa penting/ kuat kemunculannya? Dan lain sebagainya yang berusaha mengenali peristiwa itu.
Untuk mendapat jawaban terhadap pertanyaan itu dilakukan pengamatan. Pengamatan terhadap kepustakaan perlu dalam hal ini karena jelas awal-awalnya hanya muncul di kepustakaan. Pengamatan terhadap pengakuan diri sebagai bagian Batak seperti GBKP, lagu Batak Karo, dan lain sebagainya. Tingkat keterlibatan orang-orang Karo di aktivitas yang mengatasnamakan Batak. Tingkat gairah orang-orang Karo menyebut istilah Karo saja atau Batak Karo. Dan lain sebagainya.
Catatan dan dokumentasi megenai jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas disebut DATA.
Data kemudian dianalisa untuk menemukan FAKTA apa yang mendorong kemunculan peristiwa. πSalah satu misalnya fakta ikut-ikutan saja tanpa sadar dan mungkin tidak peduli apakah Karo itu masuk Batak atau tidak.
πFakta kepentingan, contoh kecil dia ingin kawin dengan perempuan/ laki-laki Batak atau bekerja di perusahaan yang kebetulan bosnya Orang Batak.
πAda juga fakta akibat pikiran kalau sudah diterbitkan dalam bentuk buku sudah dianggap sebagai sebuah kebenaran mutlak. Dan lain sebagainya. Hingga kita menarik kesimpulan dengan membangun sebuah teori.
Sejak membuat pertanyaan kita sudah bisa ditemani oleh teori-teori yang sudah ada, baik yang berkenaan langsung dengan thema kita ataupun dari hasil penelitian orang lain di lain tempat.
Bisa juga meluas ke teori-teori tentang identitas, teori tentang pengaruh media (buku, koran, televisi, dan lain-lain). Bisa teori tentang patron-client relationship. Dan lain sebagainya.
Tapi tidak pada semua tahapan mengharuskan sudah mengkaitkannya dengan teori yang ada. Pertanyaan bisa saja disusun atas kebutuhan masyarakat di samping ketertarikan hasil-hasil penelitian orang lain.
Penemuan terhadap fakta bisa dilakukan dengan melihat POLA pada data. Seperti pernah ditulis oleh seorang antropolog Amerika (Rita S. Kipp) yang meneliti Karo di tahun 1970an.
"Orang-orang Karo tidak membantah kalau ada orang lain menganggapnya Batak. Tapi, mereka sesama mereka berbisik-bisik untuk menyatakan kalau mereka bukan Batak," tulis Kipp.
Kayaknya Rita S. Kipp berada di posisi netral saat menampilkan data itu. Karena itu, dalam bukunya Beyond Samosir dia mengatakan silahkan saja kita peneliti asing menggunakan Batak sebagai payung agar mudah dikenali oleh pembaca kita.
Jelas maksudnya bahwa Karo Bukan Batak. Tapi, karena kebanyakan literatur lama menggunakan istilah itu untuk merangkul suku-suku lain di sekitarnya, boleh saja menggunakannya hanya sebagai payung.
Di desertasinya, The Idiology of Karo Kinship (1976), dia tidak menggunakan kata Karo Batak, tapi di sebuah artikelnya dia menulis The Idiology of Kinship in Karo Batak Ritual (1978).
Uli Kozok sangat jelas mengutip pernyataan Rita S. Kipp itu (tanpa pernah menyebut sumbernya) untuk menyatakan Batak sebagai payung.
Orang-orang anti KBB menanggapi pernyataan Uli Kozok itu seolah dia berada pada posisi menganggap Karo adalah Batak. Padahal jelas juga dia pernah mengatakan Karo Bukan Batak. Saya perhatikan, Uli Kozok dalam hal ini bermain di dua kaki, demi kepentingan pribadinya.
Kembali ke DATA yang ditampilkan oleh Kipp, tentang bisik-bisik tapi tidak membantah disebut Batak Karo, ini mengindikasikan sebuah FAKTA bahwa orang-orang Karo tidak mau atau tidak berani membuat orang lain kecewa. Orang-orang Karo juga kurang berani berdebat.
Berdasarkan FAKTA seperti itu Malem Ukur Ginting dari Swedia pernah menulis "100 Tahun Karo Sinek". Atas FAKTA itu juga, saya di awal-awal Gerakan KBB di media sosial (yahoogroups) tampil garang dan beringas.
Makanya sampai sekarang saya tidak pernah menegur para pejuang KBB tampil beringas. Paling saya benci adalah Kuda Manggotok, madit ku karang. Kita kang pegasna tempa ia si pantas ndai kal.
Dengan kata lain, proses penelitian itu telah membawa kita terhadap pengenalan terhadap peristiwa itu dalam bentuk TEORI bahwa Batak itu jelas ada (Toba, Samosir, Humbang, Silindung), tapi Karo Bukan Batak. Gerakan KBB ringkasnya adalah mematahkan anggapan bahwa Karo adalah Batak.
Misalnya saja tentang nama GBKP. Apakah semua jemaat GBKP beranggapan bahwa Karo adalah bagian Batak atau hanya para elitnya saja dan itupun karena sudah ada nama itu tanpa tahu menahu bagaimana prosesnya hingga bernama GBKP. Tanpa tahu juga kalau dulu namanya Karo Kerk (Gereja Karo).
Belum ada penelitian serius mengenai itu. Misalnya dengan mengedarkan angket ke para jemaat untuk mengukur seberapa banyak jemaat GBKP yang beranggapan Karo adalah bagian Batak dan seberapa mendalam pengetahuannya tentang itu.
Maka para elitnya jangan pulak lah berbuat seolah-olah semua jemaat GBKP menganggap Karo adalah bagian Batak. Bahkan ada pula yang menjadikan nama GBKP sebagai bukti kalau Karo adalah Batak.π
Oleh : Juara R Ginting