Ilustrasi Perjuangan KBB
Artinya, kalaupun kita mengunjungi mereka kita bisa mengalami langsung sebagaimana yang digambarkan oleh tulisan etnografi yang kita baca itu. "Seh matandu ernen".
Etnografi beda dengan Etnologi. Etnologi adalah ilmu tentang berbagai kelompok budaya atau suku bangsa. Istilah Etnologi sudah jarang dipergunakan karena sudah terganti oleh Antropologi Budaya atau Antropologi Sosial, sementara Antropologi sudah mencakup luas hingga ada Antropologi Ragawi (fisik), Paleo Antropologi, Antropologi Politik, dan banyak lagi lainnya.
Seperti saya dulunya adalah dosen Antropologi Psikiatri dan Antropologi Kesehatan serta Etnobotani.
Namun begitu, berdasarkan sebuah Kongres Antropologi Sedunia, ditetapkan bahwa Etnografi merupakan bahan dasar dari teoritisasi dalam Antropologi.
Sebagai contoh, adanya teori kalau konstruksi dan bentuk rumah adat Karo merupakan memori orang-orang Karo atas pelayarannya dari Asia Daratan ke Pulau Sumatra sehingga membangun rumah adat yang bentuknya seperti kapal.
Itu teori. Seberapa kuat dan seberapa meyakinkan teorinya tergantung pada data-data dan fakta-fakta lapangan yang mendukung teorinya.
Etnografi tidak perlu sejauh itu mnembuat teori. Cukup menggambarkan bahwa, misalnya, rumah-rumah itu terbuat dari kayu hutan, atapnya ijuk, ditempati oleh beberapa keluarga, dibangun secara terkonsentrasi di dalam sebuah pemukiman yang disebut rumah kuta, dan lain sebagainya.
Teori bentuk kapal itu, menurut hemat saya, adalah sebuah teori di atas teori lain, bukan di atas data maupun fakta. Mereka membuat teori seperti itu karena ada teori bahwa penduduk Pulau Sumatra sekarang ini adalah keturunan para pendatang dari Daratan Asia yang kemudian mendesak penduduk lebih awal untuk tinggal di hutan-hutan.
Teori seperti itu juga yang dijadikan dasar oleh teori lain yang mengatakan makhluk umang adalah penduduk lebih awal dari Pulau Sumatra yang kemudian terdesak lebih ke dalam hutan untuk tinggal di gua-gua yang disebut gua umang.
Saya pernah tertawa membaca teori seperti itu (tapi takut dosa). Karena jelas sekali sang penulis tak pernah lihat satupun gua umang. Saya telah melihat langsung sekitar 10 gua umang di Karo Jahe dan Karo Gugung, tak satupun layak ditempati sebagai tempat tinggal kecuali satu di Singgamanik.
J.H. Neumann pernah menulis tentang Gua Umang Sembahe dan Petrus Voorhoeve menulis tentang gua umang di Bahorok (bukan Gua Alam Bahorok yang banyak memproduksi tahi burung layang-layang).
Tentu saja penulis teori itu "ngayal" (mengkhayal) tak mau mengunjungi dan tak mampu membaca tulisan berbahasa Belanda. Namun merasa lebih tahu dari semua orang karena dia kenal teori usang yang lapuk-lapukan.
Demikian juga halnya dengan Rakut Sitelu. Banyak Orang Karo bangga bisa secara latah mengucapkan "Merga Si Lima, Rakut Sitelu, Tutur Siwaluh" dan belakangan dikenal pula tambahannya "Perkade-kade Sepulu Dua Tambah Sada" yang sumbernya adalah buku Kolonel (purnawirawan) Sempa Sitepu yang menulisnya saat dia berada di "pengasingan".
Semua istilah itu relatif baru. Merga Silima pertama kali muncul sebagai nama majalah yang diterbitkan oleh missionari J.H. Neumann di tahun 1930an (atau di akhir 1920an?). Lalu, timbul perdebatan di tahun 1930an di sebuah tabloid terbitan Pancurbatu apakah Suku Karo bisa disebut Merga Silima?
Pancurbatu adalah basis Komunis saat itu terutama dengan onderbouw-nya Barisan Tani Indonesia (BTI). Tak aneh bila di sini banyak "gelanggang" (perguruan silat) yang, sebagaimana ditulis sejarawan ternama di dunia (Anthony Reid), buka gelanggang dilakukan dengan meminum darah ayam jago merah langsung setelah disembelih sebagai sumpah pendekar.
Tidak aneh pula di tahun 1970an Bu Tien Soeharto mau membuka lapangan golf terbesar di Asia Tenggara di sekitar Tuntungan karena tahu itu kebanyakan tanah perkebunan lama yang digarap oleh orang-orang BTI. Dengan mengerahkan militer mengancam mereka terlibat PKI, mereka akan tunduk. Hingga belakangan juga tetap menjadi perkara tanah di Sembahe Baru.
Meski ada Komunis di sana, juga ada orang-orang Karo di Pancurbatu yang dimodali oleh perkebunan. Mereka menerbitkan juga tabloid dan mendukung majalah Merga Silima.
Saya telah membaca perdebatan itu di tahun 1983, ketika saya dan Alm. Prof. Merry Steedly memesan microfilm majalah-majalah dan koran-koran Karo (terbitan Pancurbatu, Binjai, dan Kabanjahe) ke Perpustakaan Nasional Jakarta. Tak bisa lupa saya nama salah seorang penulis favorit saya adalah Teraniaja (teraniaya).
Istilah Merga Silima kemudian hilang bak ditelan bumi hingga muncul kembali di buku P. Tamboen ADAT ISTIADAT KARO pada tahun 1952. Ini yang menginspirasi nama organisasi Balai Pustaka Merga Silima yang diresmikan di tahun 1967 bersamaan dengan peresmian Jamburta Ras Berastagi dengan lagu mars Odak-odak Nipe Sore yang penarunenya adalah Pa Sanggup Ginting (penarune Lingga) dengan guru mbelinnya Pa Tanjung (sempat kawan kompak saya di Berastagi yang mesinteng menemukan wisatawan Amerika yang hilang di Gunung Sibayak).
Balai Pustaka Merga Silima adalah reaksi terhadap pawai besar-besaran DGI (Dewan Gereja-gereja Indonesia) pada tahun 1966 di Kuala Langkat, Kabanjahe, dan Kuala Tigabinanga. Mereka jugalah yang bertranformasi menjadi Parisada Hindu Dharma Karo (PHDK) di tahun 1985 bersamaan dengan peresmian pure Hindu pertama di Tanjung Pulo sehingga tercatat Karo menjadi Hindu terbesar di Indonesia setelah Bali.
Terserah kam mau berfantasi apa atau membuat bagaimana selintas Sejarah Karo di atas. Penggambaran saya berdasarkan fakta-fakta yang saya rangkum dari data-data hasil wawancara dengan banyak orang.
Diantara begitu banyak orang yang saya wawancarai adalah Bendahara Balai Pustaka Merga Silima bernama Kantur Purba, putra pecatur ulung Karo Pa Kantur. Juga Adhata Bukit, Sekretaris Balai Pustaka Adat Merga Silima, yang kemudian menjadi Ketua II Parisadha Hindu Dharma Sumatera Utara (PHDSU).
Ada satu fakta yang masih perlu saya ketengahkan. Kiranya para pejuang KBB berterimakasih kepada semua penggerak Balai Pustaka Merga Silima karena dengan peresmian organisasi ini telah digerakan ritual-ritual Karo, terutama Erpangir Ku Lau Debuk-debuk dan Petampeken Jenujung.
Tak kurang 200 dukun Karo kami wawancarai di Medan yang sebagian besar disembuhkan dan kemudian menjadi guru lewat Petampeken Jenujung setelah mengalami kegilaan. Sebagian mengaku "tinambaren" langsung dari sang maestro catur dunia kita Pa Kantur Purba.
Maksud saya, bahwasanya teori diangkat dari fakta-fakta dan fakta-fakta berdasarkan data-data. Data adalah sesuatu yang paling dekat dengan peristiwa alias kejadian. Data yang saya dapat dari wawancara dengan para pelaku peristiwa bisa mendekati peristiwa meski saya tidak ada di dalam peristiwa.
Teori adalah upaya memahami realitas dari peristiwa yang sedang dipelajari sehingga bisa meramalkan pula kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di masa depan.
Apakah ada yang berusa mengalami atau setidaknya mendekati peristiwanya Rakut Sitelu atau hanya telan bulat-bulat apa yang orang tulis? Sementara sampai saat ini, tak ada satupun tulisan yang membawa kita lebih dekat dengan peristiwa dimana Rakut Sitelu hadir.
Seperti teori rumah kapal dan gua umang yang diangkat dari teori gelombang migrasi dari Daratan Asia ke Pulau Sumatra tanpa tertarik melihat satupun gua umang atau memahami bagaimana rumah adat dibangun.
Saya lihat jam, kiranya tulisan ini saya selesaikan dalam waktu 30 menit. Maaf kalau banyak kesalahan ketik atau ada kelupaan informasi.
Salam Mejuah-juah serta salam mencintai Sejarah dan Budaya Suku Karo.
Oleh : Juara R Ginting
Sumber Fb : SEJARAH dan BUDAYA SUKU KARO di Sumatera Timur, PENERUS KERAJAAN HARU.