Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

GBKP Disebut-sebut Dalam Upaya Meredam KBB

Emak-emak Karo

Dalam perdebatan Karo Bukan Batak (KBB) saat ini, hampir tidak ada lagi orang Karo yang menyebut-nyebut GBKP (Gereja Batak Karo Protestan). Kalau ada orang yang menyebutnya, hampir dapat dipastikan itu adalah orang-orang bukan Karo.
 
Pernah suatu masa dimana orang-orang Karo sendiri menyebut GBKP untuk meredam KBB dan para penggerak KBB langsung bungkam tidak tahu mau bilang apa lagi. Tapi belakangan sebutan itu hilang dari mulut orang-orang Karo penentang KBB.

Mengapa dan apa sebenarnya yang terjadi?

*Pertama, orang-orang Karo yang menentang KBB maupun penggerak KBB sudah sangat tahu kalau GBKP itu, sebagai sebuah nama, baru ada sejak 1941, menggantikan nama Karo Kerk (Gereja Karo). 

*Kedua, jumlah orang-orang Karo yang semakin sadar bahwa Karo Bukan Batak semakin meningkat terus.

Salah satu penyebab meningkatnya jumlah pengikut KBB adalah karena banyaknya orang-orang yang selama ini ragu menjadi semakin yakin terutama oleh:
1. Mengetahui nama GBKP ternyata masih baru
2. Penemuan ilmiah kalau usia nenek moyang orang-orang Karo sudah lebih dari 7 ribu tahun, sementara usia nenek moyang orang-orang Batak tidak lebih dari seribu tahun.
3. Orang-orang Karo semakin sadar membedakan mitos dengan sejarah.
4. Orang-orang Karo semakin celik matanya atas perbedaan antara Karo dan Batak.

Salah satu keberatan orang-orang Karo terhadap KBB adalah juga atas alasan nama GBKP itu. Pada awalnya KBB dianggap sebagai sebuah cara "menggoyang" GBKP dengan dugaan KBB digerakkan oleh kelompok sakit hati di GBKP, kaum Muslim, dan kaum Katolik.
 
Saya bisa merasakan mengapa muncul dugaan seperti itu. Saya tumbuh dan besar di lingkungan dalam GBKP. Saya dan keluarga luas saya tidak pernah ada yang pindah gereja dan tetap masih berada di dalam GBKP.
 
Tapi, saya tahu kalau di dalam tubuh GBKP itu sering terjadi konflik. Bahkan dari dalam diri GBKP muncul beberapa gereja baru di samping banyak juga yang pindah ke gereja yang sudah ada sebagai kelanjutan dari konflik itu.

Itulah yang mereka sebut dengan barisan sakit hati.

Ketika banyak jemaat GBKP melihat para penggerak KBB bukanlah orang-orang yang konon barisan sakit itu, semakin plong perasaan mereka untuk mendukung KBB.

Singkat cerita, mengetengahkan keberadaan GBKP sebagai argumen meredam KBB tidak lagi "menggigit". Meskipun di pihak fanatik GBKP (karena punya posisi tertentu di situ) masih tetap melihat KBB sebagai ancaman untuk GBKP. Di pihak KBB, masih juga terasa tidak enak kalau ada orang "njugulken" GBKP sebagai argumen.
 
Pihak fanatik GBKP memulai sebuah strategi baru dengan mengatakan: "Memang Karo bukanlah bagian Suku Batak karena Batak bukanlah sebuah suku, tapi melainkan rumpun. Jadi, Karo adalah bagian Batak sebagai sebuah rumpun."

Untuk memperkuat kesimpulan seperti itu, ada yang mengasumsikan Batak itu adalah sebutan orang-orang Melayu terhadap orang-orang di pedalaman. Asumsi seperti ini bahkan berkolaborasi dengan Nini Batak yang mengasumsikan bahwa Karo lah The Batak Asli.

Seperti tulisan yang mengatakan dekatnya Karo dengan orang-orang Melayu sebagai alasan orang-orang Karo lah yang dimaksudkan orang-orang Melayu sebagai Batak. Penulisnya tidak sadar kalau orang-orang Melayu ada di Pantai Barat dan mereka sudah jauh sebelumnya sangat mengenal Batak.

Mari kita istirahat sejenak membicarakan istilah Melayu Pesisir. Melayu Pantai Timur biasa dibedakan dengan Melayu Langkat, Melayu Deli, Melayu Serdang, Melayu Batubara, Melayu Asahan, Melayu Riau, dan lain-lain. Sementara Melayu Pantai Barat biasa dianggap memiliki kebudayaan yang homogen disebut Melayu Pesisir.

Cabe asal Batubara biasa juga disebut Cabe Kampung karena Melayu sepanjang Pantai Timur Sumatera biasa disebut atau menyebut diri Orang Kampung untuk membedakan mereka dengan Melayu Bangsawan (Istana).

Ada lagi yang mengkonsepsikan Batak adalah generalisasi yang dilakukan oleh Belanda terhadap orang-orang pedalaman sehingga, mereka sarankan, sebaiknya kita menganggap Batak sebagai sebuah rumpun. Mereka membandingkan Rumpun Batak dengan Rumpun Dayak.

Asumsi seperti itu juga pernah disorongkan ke grup fb Jamburta Merga Silima (JMS). Lalu, saya usulkan para member grup melihat ke Kamus Bahasa Indonesia apa artinya "rumpun". Ternyata artinya "satu nenek moyang".

Mereka salah artikan istilah Rumpun Melayu sebagai kesatuan budaya (terutama di dalam bahasa, agama, dan busana). Mereka lupa, atau sama sekali tidak tahu, kalau Rumpun Melayu itu adalah asumsi kesamaan ras, yaitu Ras Melayu.

Orang-orang seumur saya atau lebih tua dari saya pasti masih ingat kalau kita ikut tersinggung bila ada yang mengatakan "Melayu pemalas". Masih sering diucapkan dulu "Kita Melayu", dan Karo maupun Batak termasuk di dalamnya.
 
Memang ada Melayu sebagai rumpun bahasa dan juga rumpun budaya, tapi apapun namanya rumpun adalah kesatuan nenek moyang. Begitulah para pakar Bahasa menggolongkan Bahasa Batak adalah bagian dari Bahasa Melayu dan Bahasa Melayu bagian dari Bahasa Austronesia. Orang-orang Batak bisa mengamuk bila dikatakan bahasa mereka adalah bagian dari Bahasa Melayu, hanya karena mereka tidak mengenal penggolongan bahasa oleh para Linguists.
 
Ketika mereka mengkonsepsikan Batak sebagai sebuah rumpun seperti halnya dengan Dayak, mereka tidak tahu kalau orang-orang yang disebut Eskimo di Kanada dan Greenland membantah mereka Eskimo tapi Inuit. Museum-museum besar di dunia sudah mulai menggantikan istilah Eskimo dengan istilah Inuit.

Artinya, sudah mulai ada penolakan penamaan orang-orang kulit putih terhadap kelompok-kelompok pribumi. Eskimo artinya manusia es.
 
Ringkasnya, para aktivis GBKP yang anti KBB mencoba membuat konsep-konsep baru tentang Batak atau mengangkat konsep lama tentang Batak dengan penjelasan baru. Mereka bisa terjebak oleh keterbatasan pengetahun mereka sendiri dalam hal itu.

Sebagai contoh adalah gagasan Karo lah Batak yang sebenarnya karena Karo yang dekat dengan Melayu. Dia tidak tahu kalau Melayu ada di Pantai Barat dan sudah sedari dulu mengadakan hubungan dagang dengan orang-orang yang menyebut diri Batak.

Begitu juga dengan gagasan Belanda lah yang menamai kita Batak. "Apalah salahnya kalau itu kita teruskan saja?" usulnya. Dia tidak tahu kalau penolakan terhadap penilaian luar itu sudah terjadi di mana-mana di dunia dan contohnya adalah Eskimo.
 
Lagipula, nampak kali usulan itu lebih prihatin terhadap nama GBKP daripada identitas Karo padahal GBKP sendiri katanya care terhadap Karo dan budayanya.

Kesimpulan, bila ada di dalam sebuah diskusi atau perdebatan yang mengulang-ulangi soal nama GBKP untuk meredam KBB, hampir bisa dipastikan mereka itu adalah orang-orang Batak dan bukan orang Karo. Mereka tidak mengikuti diskusi terbaru di kalangan Karo mengenai KBB.

Memang mengganggu sekali bila mereka terus mengulanginya. Bagaimana cara mematahkannya atau membuat mereka juga merasa terganggu?
 
Tidak usah diladeni, cukup buat komentar di bawahnya Karo Bukan Batak, hidup KBB!

Oleh : Juara R Ginting