Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Pengenalan Pengetahuan Dasar Tentang MERGA : Kapan Pula Suku Karo Membutuhkan Silsilah Kayak Mereka

πŸ’’ Raja Berempat + Anak Beru Tua πŸ’’

TAROMBO BUKBAK
πŸ‘‰Kapan pula Suku Karo membutuhkan Silsilah kayak mereka😁

Awas tawar pengUE-UE! πŸ‘€

Percakapan orang-orang Karo tentang merga sangat didominasi oleh INQUIRY (persoalan utama) mengenai hubungan satu sama lain (sembuyak, senina, anak beru, kalimbubu). 
πŸ‘‰ Urung adalah dunia laki-laki (hubungan sembuyak), sedangkan 
πŸ‘‰ Kuta adalah dunia perempuan.

Meskipun masing-masing urung adalah kesatuan laki-laki (sembuyak), hubungan mereka berawal dari hubungan antar perempuan. Jadi, pada πŸ‘‰ tingkat urung, merga adalah miliknya laki-laki (sembuyak), tapi pada πŸ‘‰ tingkat kuta adalah miliknya perempuan (senina). Hubungan antar urung dalam mantek kuta πŸ‘‰ adalah tidak lain dari transformasi dari hubungan antar perempuan di masa lampau (beberapa generasi terdahulu) yang dipersatukan oleh sebuah perkawinan. Pengantin dari perkawinan tersebut (beserta keturunannya) adalah ANAK BERU TUA dari kuta itu.

Dalam kasus kutaKu: Lau Baleng, adalah Maha mergaNa. Tidak heran bahwa catatan perjalanan Ginting MergaNa (Codex Muntei van Dokan) diketemukan di catatan milik Maha, yang diberikan Ginting.

Saat saya katakan: Perempuan menjadi panutan di kuta, sedangkan laki-laki di urung, maka kita bisa dituduh sebagai Post Modernist atau Feminist oleh Pa Nuduhi Silalap (Cucu Tertua dari Bulang Kelto). Beliau lah yang 'erdengak' punggungnya perkara Kuda, anggap aja Konohamaru )

Seperti kalau kita katakan tidak ada Rakut Sitelu dalam realitas praktis, langsung Pa Nuduhi Silalap gedang tuduh-tuduhna e ngatakenCa: "Supaya lain sama Batak maksudmu, heh ?!"πŸ˜€

Rumah Adat 
πŸ‘‡
Pertama-tama, rumah adat Karo dibangun bukan untuk tempat tinggal utamanya meskipun harus bisa digunakan sebagai tempat tinggal. Hal ke dua perlu diingat, hubungan sosial yang dihimpun dalam rumah adalah πŸ‘‰ hubungan antar URUNG alias SEMBUYAK. Karena itu, syarat utama adalah bahwa setiap rumah harus merupakan πŸ‘‰ ikatan dari 4 urung yang berbeda yang menjadi SEMBUYAK, ANAK BERU, KALIMBUBU dan SENINA dari sepasang suami istri yang telah meninggal cawir metua beberapa generasi yang lalu.

Sepasang suami istri ini tidak tinggal di rumah itu. Mereka datang hanya pada acara PERUMAH BEGU. Keempat jabu suki itu menjadi JABU KUNDULEN (bukan jabu ingan medem) dari SEMBUYAKNA, ANAK BERUNA, KALIMBUBUNA, SENINANA. Sebagai jabu kundulen, maka 1 jabu bisa ditempati oleh beberepa keluarga (makanya anak-anak biasanya disuruh bermain di luar supaya jangan terlalu sempit). 

Untuk upacara yang lebih besar, jabu kundulen itu diperlebar ke luar rumah (KESAIN) dengan menggelar tikar dan membuat lape-lape dari kedeng pola/ tualah. Jadi, kita perlu mengubah bahasa kita sendiri bukan dengan mengatakan πŸ‘‰ sebagai tempat tinggal tapi jabu kundulen yang sehari-harinya bisa dipakai sebagai tempat tidur, masak, dll. Fungsi utama rumah adat adalah TEMPAT PERTEMUAN (ikut dengan KESAIN).

Tidak ada hubungan SEMBUYAK diantara URUNG-URUNG berbeda. Maka syarat utamanya adalah keempat jabu suki itu harus mewakili 4 urung yang berbeda. Senina ku ranan pasti selalu dari merga yang sama diantara 5 merga ( misalnya sama-sama Tarigan, untuk Kuta Panteken Tarigan mergaNa), tapi urungnya harus berbeda supaya tidak jatuh ke dalam hubungan sembuyak.

Merga adalah πŸ‘‰ satu kesatuan sembuyak yang telah memiliki LOCALITY. Sembuyak berakar dari kata MBUYAK yang artinya KANDUNGAN (womb). Orang-orang yang bersaudara seibu (dalam bahasa Austronesia: Saribu, Sarina) adalah SEMBUYAK karena mereka berasal dari satu kandungan yang sama. Brothers and sisters adalah sembuyak, tapi sisters akan tumbuh menjadi tunas (BERU) dari SEMBUYAK itu.

Different sembuyaks may be embedded into parts of the same sembuyak; so a woman's sembuyak may embed the sembuyaks of her children into its parts, and the sembuyaks of her children the sembuyaks of her grandchildren into its part, henceforth.

Seorang perempuan memiliki sembuyak sejak mengalami kehamilan 100 berngi. Meskipun dia πŸ‘‰ setelah itu keguguran, pada malam ke 100, sudah selesai penciptaan kandungannya (mbuyak/ "asar"). Setelah itu, dia bisa mengkreasi pemenan juma dengan menanam besi-besi, sangke sempilet, kalinjuhang dan nderasi di pusat ladangnya.

Ada 4 tanaman di Pusung Juma, sebagai pemenan, inilah yang disebut PEMENNA itu, jadi salah jika πŸ‘‰ selama ini Kam anggap itu agama primitif yang lebih tua dari Hindu atau agama penyembah Setan

Itulah yang menjadi CIKAL BAKAL LOCALITY dari her SEMBUYAK.

Di masa lampau, kalau perempuan tetap tidak pernah hamil 100 berngi hingga bertahun-tahun, misalnya sekitar 5 tahun setelah perkawinan, boleh diceraikan tanpa ada πŸ‘‰ hutang piutang. Dengan kata lain, perkawinan hanya dengan subjek SEMBUYAK dan sembuyak adalah cikal bakal locality. ( Bilamana keguguran terjadi setelah masa 100 berngi, dalam hitung-hitungan Karo, si anak tetap anak Sintua, meski belum sempat lahir).

Bila perempuan itu meninggal CAWIR METUA dan seratus tahun atau lebih setelah itu cucu-cucunya mendirikan kampung (mantek kuta) dengan mendirikan satu rumah adat maka wilayah perladangannya tadi (sekarang tentunya sudah sangat luas karena dikembangkan oleh anak cucu), menjadi sebuah LOCALITY baru.

Setiap KUTA adalah πŸ‘‰ bagian dari sebuah URUNG. Di dalam wilayah satu urung, hanya ada kampung-kampung yang berhubungan satu sama lain sebagai SEMBUYAK dan ada satu dua yang menjadi ANAK BERU dan SENINA dari urung itu.

Urung sendiri adalah πŸ‘‰ SATU SEMBUYAK that embeds different sembuyaks into its parts; the sembuyak of the urung is accompanied by two other sembuyaks named ANAK BERU - SENINA.

Saat mendirikan kampung, a woman's sembuyak that embeds different sembuyaks into its parts becomes a whole with a land that relates as part to the local urung. Sekarang, sembuyak itu sudah bisa mendeklarasikan diri sebagai merga berdiri sendiri yang berhubugan sebagai SEMBUYAK atau SENINA atau ANAK BERU ke satu URUNG TERTENTU.

[Always remember: TIDAK ada Kuta Kalimbubu di wilayah Urung, πŸ‘‰ " local soil " / 'taneh' πŸ‘ˆ absolutely harus milik Sembuyak. 
πŸ‘‰πŸ‘‰ Bandingkan dengan Agen peGiat pemBATAKan : dimana semua tanah adalah hibah/ pemberian hula-hula (konsep agar TEBBA SAMPAI KIAMAT), makanya cocok pakai tungku nan 3 πŸ‘‰ sistem Batak [Normal] selalu menekankan: Ambillah gadis ini lalu pergilah jauh sejauh-jauhnya dari tempat dirimu mengambilnya tidak ada izin 'masuk' Batak,]

Kalau misalnya urung itu adalah panteken Muntei dan di dalamnya ada kuta kalak Manik (biak senina) atau kuta kalak Kacinambun (anak beru), kan BUKAN berarti Manik dan Kacinambun satu keturunan dengan Munte?πŸ‘ˆ

Nah, dalam persoalan EMBEDDING INTO PART OF, bukan manusia individu yang diembedkan atau diintegrasikan, tapi SEMBUYAK. Bukan dengan menunjuk siapa ayah, kakek atau nenek moyak laki-laki kam syah menjadi anggota merga tertentu, tapi terlebih dahulu kam harus menunjukkan KEMPU NANDE ISE KAM karena si Nande Ise itulah pemilik Mbuyak yang menjadi πŸ‘‰ asal usulndu.

Kalau kam menunjuk ke BAPA ISE, bisa jadi dia punya banyak istri dan keturunan dari istri-istri yang berbeda tidaklah berhubungan sembuyak, tapi senina. Mereka bisa juga sembuyak kalau merujuk ke perempuan satu generasi di atasnya.

Di Karo, sembuyak yang berbeda urung sudah tidak lagi berhubungan sembuyak, tapi senina meski nama belakang mereka sama. Sitepu dari Urung Sienem Kuta (Sukanalu Simbelang), misalnya tidak berhubungan sembuyak dengan Sitepu dari Urung Empat Teran (Bekerah). Demikian juga Munte dari Urung Sipitu Kuta Ajinembah tidak berhubungan sembuyak melainkan senina dengan Munte dari Urung Sipitu Kuta Tengging meski menurut mitologinya pendiri Tengging adalah πŸ‘‰ putra dari pendiri Ajinembah.

Jadi, hubungan antar sembuyak/merga harus sejalan dengan hubungan antar urung. Hubungan sembuyak tidak bisa lebih meluas dari wilayah SATU URUNG. Hubungan antara urung-urung berbeda hanya dengan istilah ANAK BERU, KALIMBUBU atau SENINA.

Setiap KUTA dirikan oleh 4 URUNG berbeda yang menjadi SEMBUYAK, ANAK BERU, KALIMBUBU dan SENINA of the local soil (taneh). Jadi, TEROMBO KARO TIDAK RELEVAN BILA SUDAH MELEWATI BATAS WILAYAH SATU URUNG. πŸ‘‰ (Jangan ngotot kali lah, biar nyambung ke Tarombo SRB. Tau diri lah sedikit )

Hubungan senina bukanlah hubungan garis keturunan, tapi adalah merga-merga yang dikelompokkan πŸ‘‰ sebagai satu MARRIAGE CLASS. Kelompok keturunan di Karo tidak pernah lebih luas daripada kesatuan URUNG sebagai asal usul. Urung berbeda tidak lagi berhubungan SEMBUYAK, melainkan SENINA. Jadi, masing-masing di Silima Merga itu (Ginting, Karo-karo, Perangin-angin, Sembiring, Tarigan) bukan kelompok garis keturunan tapi πŸ‘‰sebuah MARRIAGE CLASS.

πŸ‘‰5 merga ialah Mariage Class, bukan ayah biologis dari Sub Klen nyaπŸ‘ˆ

Sementara Muntei, Ketaren, Kembaren, Sebayang, Sibero, dlsb ialah πŸ‘‰ LEMBAGA PERTANAHAN SETEMPAT bukan 'anak biologis' dari πŸ‘‰ Merga Silima (Marriage Class)
πŸ‘‡
Gugur sudah pendapat Thayduruh Turgan tentang Proto-Badak, Proto-Penguin & Kangguru-Modern itu  (cc: Teodore Tarigan)

Sembuyak adalah sebuah konsep yang bendanya menjadi ada ketika πŸ‘‰ seorang perempuan hamil 100 berngi untuk pertama kalinya dalam hidupnya. Sembuyak ini tumbuh sejalan dengan lahirnya si anak pertama, kelahiran adik-adiknya, kawin dan sembuyak itu mencapai cawir metua ketika anak singuda dari perempuan itu sudah kawin juga. Ketika si perempuan mati, maka dia dimakamkan secara πŸ‘‰ Cawir Metua (Nurun-nurun) yang artinya adalah bahwa sembuyak yang tumbuh dari tubuhnya telah mencapai cawir metua.

Syarat mendirikan sebuah rumah adat adalah: Pendiri rumah adat adalah sepasang suami istri yang menjadi nenek moyang dari sebuah sembuyak. 
πŸ‘‡
**Sepasang suami istri pendiri rumah itu sudah berhubungan satu sama lain tidak lagi hanya sebagai suami istri tapi erturang sehingga mereka dianggap seperti Kerbo Sada Nioga. Ini dimungkinkan hanya bila saja mereka telah memiliki Anak Beru Cekuh Baka melalui perkawinan impal secara berulang-ulang dalam beberapa generasi. 

***Mengket rumah adalah sekaligus pengesahan pendiri rumah sebagai Pengulu Rumah dan Anak Beru Cekuh Baka mereka sebagai Anak Beru Tua.

Di poin **, kita melihat sebuah hubungan antara Puanglima dan Raja yang di dalam Antropologi dikenal dengan Ruler πŸ’’ Realm (mirip dengan hubungan Perdana Menteri dan Presiden/ Raja).
Hubungan seperti ini tersebar di seluruh Asia Tenggara. Hubungan seperti itu juga yang terjadi antara Sultan Deli dengan Datuk Sunggal (melalui perkawinan impal). Makanya ;
πŸ‘‰ Datuk Sunggal disebut Ulun Jandi dari Deli alias pemilik tanah dan 
πŸ‘‰ Sultan Deli sendiri adalah pendatang (katanya dari Aceh) yang diberikan tempat mendirikan kampung di Labuhan Deli oleh Datuk Sunggal setelah dia mengawini Nang Baluan beru Surbakti.

Rumah adalah titik awal dari riwayat kehidupan orang Karo. Mengket rumah adalah pengesahan sebuah sembuyak sudah menyatu dengan tanah (land) lokal makanya anggota-anggota dari sembuyak pendiri rumah pertama di kuta disebut Anak Taneh, karena sembuyak itu sudah "segambar dengan tanah" πŸ‘‰ (ingat Adam yang diciptakan dari Tanah, bukan 'turun dari langit' alias 'pendatang').

Mitologi Karo bercerita tentang riwayat sembuyak, bukan manusia individu. Sembuyak menjadi sebuah MERGA setelah menyatu dengan tanah setempat. Jadi, tumbuhnya sembuyak menjadi sebuah merga adalah sebuah PENCAPAIAN (sesuatu yang dicapai, tanda kesuksesan), bukan WARISAN.

Sembuyak yang paling besar adalah URUNG. Tidak ada hubungan Sembuyak yang lebih besar daripada urung. Orang-orang yang berasal dari urung berbeda, meski menggunakan nama belakang yang sama, πŸ‘‰ bukan lagi Sembuyak, tapi Senina atau Anak Beru maupun Kalimbubu. Munte Ajinembah dengan Munte Tengging saja tidak lagi berhubungan sembuyak tapi senina karena mereka sudah beda urung.

Seperti yang pernah saya katakan, kalau mau menelusuri garis keturunan orang-orang Karo, jangan pakai spekulasi dan manipulasi sejarah merga, tapi lakukanlah dengan Test DNA. Kalau dari merga, maka sejarah keturunan Karo tidak lebih daripada Urung. Perkawinan Karo bukan antar beda keturunan, tapi antara berbeda urung. Perkawinan antara Ginting Munte dengan Ginting Suka dihindarkan πŸ‘‰ bukan karena mereka keturunan patrilineal yang sama (Sembuyak), tapi karena mereka satu dalam hubungan antara perempuan (Senina). Di situ pulalah bedanya antara πŸ‘‰ Sembuyak dengan Senina.

πŸ‘¨ Sembuyak adalah satu urung lewat bapa, sedangkan ; 
πŸ‘© Senina hubungan beda urung lewat perempuan (terutama ibu). Seorang laki-laki Karo disebut bapa oleh istri, ibu, bibi-bibinya, nande bapana, dll. bila berada di kesatuan urung (virilocal) (makanya di Jahe ada istilah Perbapan [Urung]), tapi dia disebut Anak oleh perempuan-perempuan yang sama bila berada di kesatuan Sibayak (uxorilocal).

Perbedaan hubungan di dalam setting VIRILOCAL dengan yang di dalam setting UXORILOCAL menjadi kunci penting mengapa kampung-kampung di Dolog Silo dan Silima Kuta (Kabupaten Simalungun) mendirikan kampung dengan rumah-rumah adat Karo, bukan rumah adat Simalungun. Persilihi adalah sebuah ritual dimana seseorang dipersilakan menyebarang dari setting Virilocal (Urung) ke setting Uxorilocal (Sibayak) seperti yang terjadi pada Sibayak Berastagi (Karo-karo Purba) dan Sibayak Lingga (Karo-karo Sinulingga).

Merga Silima πŸ‘‰ adalah setting UXORILOCAL (hubungan antar perempuan). Makanya Aron dalam Kerja Tahun adalah Merga Silima yang diwakili oleh Aron Sidiberu. Perhatikan mitos-mitos Karo, tidak ada yang menceritakan πŸ‘‰ laki-laki Karo yang mengawini perempuan dari luar Karo, tapi sebaliknya. Menyatakan KARO sebagai Poros Dunia
πŸ’’πŸ’— Putri Hijau perempuan Karo dikawini Raja Haru dan dia sendiri menjadi pemimpin puncak di Haru.
πŸ’’πŸ’— Beru Ginting Pase kawin dengan Raja Pasai dan dia sendiri menjadi pemimpin puncak di sana. 
πŸ’’πŸ’— Nang Baluan beru Surbakti kawin dengan Sultan Deli dan dia sendiri menjadi pemimpin puncak di sana sebelum Belanda membelokkan sejarah.

Satu-satunya laki-laki yang kawin keluar adalah Si Raja Sori (dari Ajinembah) yang mengawini anak raja Purba (Simalungun) dan dia menjadi raja di Pematang Raya karena Raja Purba tidak memiliki anak laki-laki.

πŸ’’ Bulang dan Tudung πŸ’’

Kehidupan paling tua ialah Hutan. Bulang (penutup kepala) berasal dari kata Belang (Loreng/ Gati ). Itulah kehidupan Urung. Sedangkan Tudung ialah Atap (Rumah Adat), sebagai Mahkota Kuta.

Ingat Lirik Mbaba Kampil πŸ‘‰ Tudung ngarakken Bulang-Bulang itu adalah 2 (dua) bentuk Pernikahan Karo: Nangkih dan Erdemu Bayu (akan dibahas di kesempatan berikutnya )

Bagi orang-orang Karo, perbedaan formasi belang sangat krusial (ingat Arimo Tarigan dan Arimo Kembaren) karena relevan dengan SOCIAL TRACK AND TRACE yang diendapkan dalam istilah MERGA.

MERGA berasal dari Bahasa Sansekerta yang berarti path, track atau jejak langkah menuju sang penciptanya. Jejak langkah yang diendapkan di dalam istilah merga tidak untuk ditemukan oleh arkeolog tapi di alam socio-cosmic yang action-nya biasanya dilakukan πŸ‘‰ melalui pelaksanaan ritual.

Mari kita tinjau secara kilat ritual memulai pembangunan rumah adat Karo. Membangun rumah adat Karo adalah sebuah konfirmasi dari perjalanan sebuah SEMBUYAK sejak sebuah perkawinan hingga, setelah beberapa generasi, melalui perkawinan impal berulang-ulang, sembuyak itu terintegrasi sepenuhnya dengan tanah setempat (sehingga menjadi anak taneh).

Adanya sembuyak berawal dari 100 berngi usia kehamilan pengantin perempuan, saat mana diadakan acara Ngulihi Tudung untuk menjemput bibit padi yang pertama. Pada saat itu juga diadakan ritual Mena Page dimana ditanam beberapa jenis tumbuhan yang salah satunya adalah Batang Nderasi. Itu disebut Pemenan yang berarti titik start dari sebuah socio-cosmic journey.

Socio-cosmic journey ini bisa kita pahami dengan melakukan penelitian khusus terhadap praktek-praktek lama dari perladangan berpindah-pindah (slash and burn cultivation) di Suku Karo. Namun, journey-nya secara skematis terjadi sebagai sebuah pergerakan dari ladang pertama yang terletak di luar kuta hingga terintegrasi penuh di dalam kuta. Perladangan berpindah-pindah berlangsung di domain sebuah URUNG yang bersifat virilocal (domain laki-laki), sedangkan kuta merupakan bagian dari domain SIBAYAK yang besifat uxorilocal (domain perempuan).

Ritual pertukaran hadiah (exchange) seperti halnya tukur emas, pemberian tumbuk lada, pemberian uis maneh-maneh dan morah-morah, bayang-bayang dlsb adalah untuk mengevaluasi jauh dekatnya sebuah SEMBUYAK telah bergerak dari domain Urung ke domain Sibayak.

Journey yang telah dilakukan sembuyak beberapa generasi itu (mungkin telah berlangsung selama lebih dari 300 tahun) akan dipadatkan πŸ‘‰ (dalam istilah komputer biasa disebut kompres atau dalam Bahasa Inggris to encode) menjadi durasi setahun. Makanya pembangunan rumah adat juga diupayakan berlangsung selama satu tahun (atas dasar itu Kerja Tahun dirayakan sebagai πŸ‘‰perayaan Hari Jadi Kuta).

Akhir dari proses pembangunan rumah adat adalah Erpangir Teruh Paspasen, sedangkan awalnya adalah Ertabah atau disebut juga Roge Empak. Ertabah dilakukan dengan mencari di hutan sebatang pohon Nderasi dan melakukan ritual ramalan (roge empak) di sana untuk memastikan bahwa pohon nderasi itu merepresentasekan PEMENA'n pada acara menanam padi pertama kali sejak keberadaan sembuyak (100 berngi kehamilan pertama dari pengantin).

Batang Nderasi akan dibawa ke rumah untuk menjadi bantal pengulu dan kemberahen rumah. Menemukan pohon ini di hutan adalah menemukan jejak socio-cosmic perladangan berpindah-pindah dari nenek moyang sembuyak tadi secara spiritual (Beru Dayang menyatu dengan pohon nderasi).

Membangun rumah adalah "memindahkan" ladang nenek moyang sebuah sembuyak dari domain urung ke domain sibayak. Bila sebuah ladang kesatuannya adalah anak beru senina yang berasal dari satu jabu), rumah adalah kesatuan dari keturunan 4 perempuan yang menerima tukur pada perkawinan di generasi pertama (lihat tulisan tentang Kampil Kehamaten). Sekali lagi, sejarah dari sebuah sembuyak dari tanpa nama menjadi punya nama sehingga disebut merga adalah πŸ‘‰sejalan dengan socio-cosmic journey yang dalam bahasa umum sering disebut MYSTIC.

πŸ’’ Pribumi + Pendatang πŸ’’ 

Dolok Silo sebagai anak beru dari Barusjahe dan Barusjahe diidentifikasikan sebagai Pintu Dunia. Ini bisa dimengerti karena Barusjahe lah tempat berkumpul Raja Berempat (Bena Kayuna), yakni πŸ‘‰ Jambur Lige itu. Di puncak Jambur Lige itulah diletakkan patung batu yang bentuknya mirip rumah siempat ayou. Di bagian ke dua semakin nampak model "four-five folds structure" dimana Dolok Silo merupakan the fifth fold (anak beru tua) dari Raja Berempat Karo. Di sinilah dia letak double identity dari Dolok Silo. Kerajaan ini adalah bagian dari Karo karena Puang Bolon adalah Si Bunga Ncole br Barus. 
πŸ‘‰ Secara uxorilocal Dolok Silo adalah bagian Taneh Karo tapi 
πŸ‘‰ Secara virilocal dia berada di luar Taneh Karo. Inilah yang disebut double locality (dari garis ibu dan garis ayah)

Ketika Kam mengawini satu perempuan kam sudah menyatukan paling tidak 4 urung yang berhubungan satu sama lain by means of the terms sembuyak, anak beru, kalimbubu dan senina. Endam ia jabu suki rumah adat Karo alias raja berempat. Ndeharandu e the 5th fold. Adi terus empoi keturunenndu keturunen si nomor 1 ( lihat Kampel si 5&6) e, maka begundu ras begu ndeharandu jadi anak beru tua bas rumah ena ndai. Maka kam me organisator rumah/ kerajaan yang terdiri dari paling tidak 4 urung. Melalui perkawinan kam udah mendapatkan blessing dari the union of 4 urungs.

Komposisi Simanteki Kuta ini berasal dari Sistim yang berlaku di Seluruh Asia Tenggara s/d Hawai. Orang Kelima adalah 'pendatang'. 
πŸ‘‰ Kalau di Karo Timur, Dolok Silo alias Tarigan yang menjadi the 5th fold, saya kira di ;
πŸ‘‰ Karo Barat adalah Kembaren yang menjadi the 5th fold (anak beru tua Sibayak Kutabuluh). 

Jadi, negeri Kepultakan dan Negeri Kesunduten itu masing-masing diwakili oleh Barusjahe dan Kutabuluh. Tak aneh, hanya kedua sibayak ini yang memiliki kisah roman klasik (mirip romeo and Juliet) dengan kisah Sibayak Barusjahe (Anak Karo MergaNa) dan Sibayak Kuta Bulu (Si Ajar Taki).

πŸ’’ 4 of 5th fold structure (system 4+1) πŸ‘‰ Pribumi + Pendatang 4 Raja Lokal + Perdana Menteri Tempatan. πŸ‘‡πŸ‘‡πŸ‘‡

πŸ’’ Aceh (Si 4 Sagi) ; 
πŸ’’ Alas (Si 4 Dewal) ; 
πŸ’’ Minangkabau (Suku nan Ampek: Koto-Piliang + Bodi-Chaniago) ; 
πŸ’’ Karo (Sibayak Raja Kerapaten) ; 
πŸ’’ Batak (Batak Oppat Fuak: Sumba[Toba-Samosir] + Lontung[Humbang-Silindung] ; 
πŸ’’ Papua (Raja Ampat) ; 
πŸ’’ Maluku (Pata Siwa) ; 
πŸ’’ Jawa (Wali Songo) ; 
πŸ’’ Malaysia (Negeri Sembilan)

Keluarga Sultan mengaku merga Mliala di depan Tentara Inggris yang berkemah di depan MayMoon, selamatkan mereka dari RevSos Berdarah, juga Lamanjiji (sultan muda) ketika kunjungan ke Sukanalu ( tempat Mariam Puntung), aku pe Sembiring Mliala kata Lamanjiji πŸ‘‰ (ingat dulu istana Sultan masih atap rumbia, di Labuhan, sebelum Belanda & Tjong Afie (bandar narkoba) mendanai pembangunan di Taneh URUNG SUKAPIRING, milik KaroSkali & Mliala)
 
πŸ’’ Raja Berempat + Anak Beru Tua πŸ’’

Perhatikan gambar: 
Raja Berempat + Anak Beru Tua (4 Kejuruan dari Deli Hilir yang Melayu tidak dilibatkan
πŸ‘‰ 5 (lima) Raja ini adalah Daliken SILIMA dalam Dapur RASK. 
πŸ‘‰ 12 orang ini, 4 Raja + (Anak Beru-Senina) [selain Mama Biring yang di Tengah, a.k.a Sultan] adalah πŸ‘‰ 12 jari dari Sawa Batik itu. (ah PengeRetRet ndai..ssh) ola tawaiNdu, merawa kari per-R3  

Sumber Buku: Sari Sejarah Karo _ Mpu Gondrong, 2002
Oleh : AndichristTheodicea KaynEchsed Ginting (Lord Bandito)