Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Raja Umang dan Danau Tarigan

Raja Umang Dan Danau Tarigan
Foto : Humas Kominfo Karo

(Buletin Kamka)

Sejak zaman Atlantis era Antah Berantah sudah banyak peradaban yang bangkit dan punah.

Dahulu banget, di sebuah deleng api (gunung api) di Selatan Taneh Karo, berdiamlah sekelompok masyarakat yang terisolasi dengan dunia luar, dimana mereka hidup dengan cara berburu dan tinggal di gua-gua yang banyak ditemui di kaki gunung.
 
Oleh masyarakat lainnya kaum ini disebut dengan bangsa umang (dalam cakap Karo: umang dipakai untuk menunjuk orang-orang diluar mereka yang masih primitive, pemakan kerang, dan tinggal di gua-gua) ataupun Umang Tarigan.

Suatu ketika istri Si Tarigan (Si Raja Umang) yang kala itu sedang mengandung mengalami pendarahan yang sangat banyak sekali saat hendak melahirkan anaknya. Karena merasa sangat kesakitan sekali saat proses persalinan, maka tak pelak teriakan demi teriakan yang keras keluar dari mulutnya yang membuat gunung api bergetar. 

Terus dan terus teriakan itu terdengah semakin kerasnya hingga getaran dahsyatpun terjadi yang mengakibatkan meletusnya gunung api dan membentuk sebuah lembah berbentuk kuali. Pendarahan yang sangat, tak henti-henti juga sejalan dengan teriakannya yang makin lama makin keras karena tidak sanggup menahan kesakitan, dimana darah yang keluar banyak itu mengalir mengisi lembah yang baru saja terbentuk oleh letusan gunung api, dan tiba-tiba darah yang keluar itu berubah menjadi kabut yang tebal dan mencair menjadi air memenuhi lembah yang baru terbentuk itu dan membanjiri daerah itu, dan terjadilah sebuah danau (oleh Jerman kini dinamai danau Toba), sehingga membuat bangsa umang Tarigan harus mengungsi dari "daerah itu" [ artinya tidak diketahui lagi asal usul sebelum itu ] ke beberapa daerah seperti : Purba Tua, Cingkes, Tong-tong Batu, serta daerah-daerah lainnya.

Kejadian ini menggambarkan apa yang menjadi teori yang dipercayai oleh para ahli tentang terbentuknya Danau Toba, dimana menurut ahli, di Kala Plaistosen (sekitar 7000 tahun lalu) muncul tumor di Sumatera di sekitar Sumatera bagian tengah dan utara. Fenomena ini terjadi bersamaan denga aktivitas vulkanis dan tektonis yang dimana letusan-letusan gunung berapi melemparkan panas yang mengandung tufa bersifat riolit di sepanjang pegunungan timur laut sekitar daerah Pematangsiantar sampai sekitar 20 km dari pesisir, bahkan hingga 300 – 400 km dari pusat letusan. 

Diperkirakan aktifitas vulkanik melemparkan material sebanyak 2.000 dan mengakibatkan runtuhnya bagian atas puncak gunung sehingga membentuk kuali hingga sekarang masih memiliki pinggiran seperti benteng alam dengan ketinggian lebih dari 2.000 meter diatas permukaan laut dan depresi ini kemudian di isi Danau Toba, dan kemudian mendorong munculnya Pulau Samosir serta beberapa gunung api seperti Deleng (gunung) Sibayak dan Deleng Sinabung di utara danau.

Dan diceritakan, tiga orang keturunan Tarigan itu sampai di Tongging saat dimana daerah itu sedang mengalami gejolak oleh serangan Manuk Sigurda-gurdi (Jelmaan burung raksasa) berkepala tujuh yang suka menculik anak-anak gadis di wilayah itu. 

Mendengar ketiga keturunan Tarigan itu telah berada di Tongging, maka Pengulu Tongging, GINTING MANIK Mergana meminta bantuan kepada ketiga Tarigan (Tarigan adalah salah satu merga dari Merga Silima/merga-merga Karo) itu untuk mengalahkan Manuk Sigurda-gurdi yang telah lama meresahkan penduduk Tongging. 

Maka, dengan ber-umpankan seorang gadis perawan ketiga Tarigan itu memancing Manuk Sigurda-gurdi agar keluar dari sarangnya. Saat Manuk Siguda-gurdi datang menghampiri umpannya dan hendak menerkam si gadis, salah satu dari Tarigan-pun keluar dan langsung meng-eltep Manuk Sigurda-gurdi (eltep = sumpit beracun yang merupakan salah satu senjata Karo yang paling berbahaya yang dalam sejarah perang kemerdekaan juga sempat dipergunakan, salah satunya saat melindungi Wakil Presiden M. Hatta saat melakukan kunjungan ke Berastagi)

Enam dari tujuh kepala terkena eltep-pan si Tarigan, namun satunya lagi dapat terhindar dari eltep-pan si Tarigan, dan Manuk Sigurda-gurdi mencoba berlari menyelamatkan diri dan bersembunyi. Si Tarigan kehilangan jejak dan sempat terkecoh, maka Tarigan yang lainnya dengan kemampuanya ertendong (telepati) berusaha mendeteksi keberadaan Manuk Sigurda-gurdi, ternyata dia bersembunyi di balik dedaunan diatas pohon yang sangat besar dan dengan segera Si Tarigan lainnya-pun dengan kemampuannya yang cepat memanjat pohon segera melakukan serangan dan terjadilah pertarungan yang sengit antara Si Tarigan dan Manuk Sigurda-gurdi. 

Dengan bantuan Si Tarigan Pertendong yang menyalurkan tenaga dalamnya dari jarak jauh maka Manuk Sigurda-gurdi dapat ditaklukkan dengan tebasan pisau Si Tarigan yang mengenai kepala Manuk Sigurda-gurdi.

👇👇👇
Cerita ini sebenarnya menggambarkan tentang kejadian dimasa lampau, dimana di wilayah-wilayah Karo sering terjadi peperangan antar Urung begitu juga dengan banyaknya beredar para gerombolan perampok yang mengakibatkan penawanan serta penculikan.
 
Mendengar berita kemenangan besar Si Tarigan dari Manuk Sigurda-gurdi membuat Pengulu Tongging, Ginting Manik Mergana senang, dan atas rasa trimakasihnya dia menganugrahi kekuasaan di-beberapa wilayahnya dan juga memberi gelar kepada ketiga Tarigan dan keturunannya sesuai keahliannya, yakni: 👉Tarigan Pengeltep (ahli menyumpit) Tarigan pengeltep kawin 👫 dengan beru Ginting Manik.

Diadakanlah pembagian wilayah antara penghulu Tongging dengan Tarigan Pengeltep. Tarigan menyumpitkan eltepnya sampai ke Tongtong Batu. Si Pengeltep yang kemudian dinikahkan dengan beru (putri, panggilan untuk kaum wanita Karo) Ginting Manik dan menjadi pengelana hingga ke Tong-tong Batu, sehingga di wilayah Sidikalang dan sekitarnya dikatakan panteken (pendirian, didirikan) dari (oleh) merga Tarigan (Gerneng/Gersang), Sebayak Tong tong batu memakai merga SIBERO & senina nya pakai merga GERSANG. Gersang lebih dahulu tinggal di Lehu sebelum berangkat ke Nagasaribu.

sedangkan 👉Tarigan Pertendong (Ahli telepati) dan 👉Tarigan Penangkih-nangkih (ahli memanjat) tinggal di Tongging serta keturunannya berkembang dan kemudian menjadi Purba (purba pakpak), Sibero, dan Cingkes (TARIGAN CINGKES memakai merga TUWA, TAMBAK dan GERNENG) di Karo dan beberapa generasi setelah itu, ada di antara mereka (keturunan Tarigan) yang bermigrasi ke wilayah Tapanuli (Toba), dan Simalungun.

Beberapa generasi kemudian diketahui, keturunan dari Tarigan Pengeltep yang di Tong-tong Batu juga bermigrasi ke Juhar, dan dikenal dengan Tarigan Sibayak (Sibayak = raja, gelar bangsawan Karo, Si Orang Kaya) dan Tarigan Jambur Lateng. Mereka, juga dikenal dari rurun (nama kecil, panggilan)-nya, yakni: 
Tarigan Sibayak dipanggil Batu bagi anak laki-laki dan Pagit untuk anak perempuan.
(Juhar, Keriahen, Kuta Galoh, Kuta Raja, Tiga Beringin adalah kuta panteken nya), bersama senina nya 
Tarigan Sibero Jambur Lateng yaitu yg dipanggil Tarik untuk laki-laki dan Lumbung untuk yang perempuan.

Beberapa generasi kemudian datang pula Tarigan Rumah Jahé dengan nama rurun Kawas untuk yang laki-laki dan Dombat bagi yang perempuan.
(Mbetong adalah kuta pantekennya)
💭
Itulah Legenda Terjadinya Danau Toba dan Si Tarigan (Si Raja Umang) menurut turi-turin (tradisi) leluhur Karo, yang mungkin jika ditelisik sangatlah memiliki keterkaitan dengan apa yang menjadi teori yang dipercayai oleh para ilmuan walau cara penyampaiannya berbeda. Hal ini, menunjukkan, bahwasanya sejak dahulu, peradaban masyarakat Karo itu sudah maju.

Tongging
= TAO GINTING.

Jadi dalam Legenda Tarigan hanya menyinggung 2 (dua) negara saja, yakni : Negara Ginting dan Negara Tarigan.

Salam hangat dari DANAU TARIGAN SEMALEM di Penatapen TONGGING bersama sampuren SIPISO-PISO nya

Catatan kaki : Tentang JUHAR 

Oleh : AndichristTheodicea KaynEchsed Ginting (Lord Bandito)
Editor : Willem A Sinuraya