Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Antara Kerajaan Haru, Kerajaan Karo dan Kesultanan Deli

Poster-poster yang digunakan mahasiswa antropologi USU saat melakukan aksi protes di Kampus USU Medan dan di Benteng Putri Hijau sendiri menyerukan Benteng Putri Hijau adalah salah satu mata rantai Sejarah Nusantara.
Poster-poster yang digunakan mahasiswa antropologi USU saat melakukan aksi protes di Kampus USU Medan dan di Benteng Putri Hijau sendiri menyerukan Benteng Putri Hijau adalah salah satu mata rantai Sejarah Nusantara.

Dalam sebuah perdebatan mengenai KBB (Karo Bukan Batak) di medsos, seseorang berkata: "Jangan sok tau kau semua. Belum ada satupun kau lahir saat itu."

Di pihak lain, orang itu percaya kalau manusia pertama adalah Adam dan Hawa. Dari mana dia tau? Apakah dia sudah lahir saat itu?

Mari kita batasi diskusi kita di Bagian 6 ini tentang posisi data dalam upaya mengetahui ada tidaknya sebuah peristiwa tertentu jauh di masa lalu. Persoalan ini terutama berlaku untuk penelitian sejarah dan arkeologi.
 
Tidak usah jauh-jauh kali mengambil contoh ke keberadaan Kebudayaan Maya di Amerika Latin atau Kebudayaan Mesopotamia di Timur Tengah. Kita ambil saja contoh kasus Kerajaan Haru. Telah banyak data dikumpulkan terkait keberadaan kerajaan ini.
 
Salah satu diantaranya adalah data-data yang mengindikasikan adanya kontinuitas (saling terhubung) antara Kota Cina di Hamparan Perak dan Benteng Putri Hijau di Delitua.

Banyak juga data yang mengindikasikan kontinuitas antara Kerajaan Haru dan Suku Karo. Ini terutama diindikasikan oleh Kisah Putri Hijau yang lahir dan tumbuh besar di sebuah kampung Karo bernama Seberaya.

Dua desertasi PhD bidang arkeologi, Eduard E. McKinnon dan John Mikzic, mengkonfirmasi adanya kontinuitas antara Kerajaan Haru dan Suku Karo.

Ada satu lagi data penting yang mengindikasikan adanya kontinuitas antara Kerajaan Haru dan Suku Karo, yaitu lokasi Benteng Putri Hijau yang berada di salah satu urung Karo Jahe (Karo Hilir).

Persilahkan saya memberi sedikit nuansa untuk memahami data di atas. Taneh Karo terdiri dari Karo Gugung (Dataran Tinggi Karo) dan Karo Jahe (Karo Hilir). Di Karo Hilir bagian Deli, terbentang wilayah 4 urung Karo:

1. Urung 10 Kuta Serbenaman (Sunggal) 
๐Ÿ‘‰dengan rajanya merga Karo-karo Surbakti

2. Urung 12 Kuta Lau Cih (Lau Cih) 
๐Ÿ‘‰dengan rajanya merga Karo-karo Purba.

3. Urung Sukapiring (Delitua) 
๐Ÿ‘‰dengan raja kembar Karo-karo Karosekali dan Sembiring Meliala

4. Urung Senembah (Patumbak) 
๐Ÿ‘‰dengan rajanya merga Karo-karo Barus.

Masing-masing urung ini punya hubungan analogis (senina) dengan sebuah urung di Dataran Tinggi Karo:

1. Urung 10 Kuta Serbenaman (Sunggal) (Karo-karo Surbakti
๐Ÿ’• dengan Urung Telu Kuru (Lingga) (Karo-karo Sinulingga)

2. Urung 12 Kuta Lau Cih (Lau Cih) (Karo-karo Purba
๐Ÿ’• dengan Urung 12 Kuta Kabanjahe (Kabanjahe) (Karo-karo Purba)

3. Urung Sukapiring (Delitua) (Karo-karo Karosekali dan Sembiring Meliala
๐Ÿ’• dengan Urung Sukapiring (Seberaya) (Karo-karo Karosekali dan Sembiring Meliala)

4. Urung Senembah (Patumbak) (Karo-karo Barus
๐Ÿ’• dengan Urung Si Pitu Kuta Barusjahe (Barusjahe) (Karo-karo Barus).

Menariknya, Kisah Putri Hijau menuturkan perjalanan Putri Hijau bersama dua saudaranya (Naga dan Mariam) dari Seberaya (Urung Sukapiring Gugung) ke Delitua (Urung Sukapiring Jahe dan menjadi seorang Putri Kerajaan Haru.

Sebagai seorang arkeolog, McKinnon dan Mikzic merujuk ke Kisah Putri Hijau untuk menekankan adanya hubungan antara kedua lokasi, Seberaya dan Delitua. Namun begitu, Mikzic masih melakukan penggalian di Tiga Belawan, sebuah pasar terbesar di Dataran Tinggi Karo di Jaman Pre Kolonial yang berada tidak jauh dari perkampungan Seberaya.

Warga Seberaya sendiri mengasumsikan Putri Hijau dan kedua saudaranya semasa remaja sering bermain-main di bawah pohon Nabar (pohon berakar gantung) yang, menurut H.C. Kruyt (missionaris pertama ke Karo) yang pernah berkunjung ke sana, dijadikan sebagai tempat rapat pada hari pekan (5 hari sekali).

Mikzic menemukan banyak pecahan tembikar di sana yang mirip sekali dengan pecahan tembikar di Benteng Putri Hijau (Delitua) yang terutama sekali berasal dari Tiongkok dan Burma.

Keterhubungan antara Haru dan Karo sudah jelas. Para pakar sejarah dan arkeologi mengakuinya. Tapi, untuk menyatakan bahwa Haru adalah Kerajaan Karo, saya merasa kita masih membutuhkan lebih banyak data yang bisa mendukung asumsi itu.

Dalam kaitannya dengan asumsi di atas, sejak awal posisi saya begini. Tidak pernah sekalipun saya berani mengklaim Haru adalah Kerajaan Karo. Untuk klaim seperti itu, saya merasa kita butuh data yang lebih "tajam" dan lebih banyak lagi.

Namun begitu, saya masih tetap berharap kalau Haru adalah suatu waktu nanti terbukti adalah Kerajaan Karo. Dalam beberapa aksi yang saya gerakkan dalam mempertahankan Benteng Putri Hijau dari pengerusakan pembangunan perumahan di sana, saya tidak pernah mengklaim itu adalah Kerajaan Karo.

Poster-poster yang digunakan mahasiswa antropologi USU saat melakukan aksi protes di Kampus USU Medan dan di Benteng Putri Hijau sendiri menyerukan Benteng Putri Hijau adalah salah satu mata rantai Sejarah Nusantara.

Saya dan Ita Apulina Tarigan mengadakan talk show (bersama hiburan dengan menghadirkan para pemusik dan penyanyi papan atas Karo) di Pelataran STMIK Neumann Medan dengan menghadirkan Balai Arkeologi Aceh-Sumut dari Banda Aceh dan Ketua Jurusan Antropologi USU serta Ita Apulina Tarigan sebagai pimpinan aksi.

Karo atau bukan, safety first. Selamatkan dulu barangnya dengan argumen yang sudah pasti, yaitu sebuah mata rantai Sejarah Nusantara. Dalam waktu yang bersamaan mari kita kumpulkan data sebanyak-banyaknya untuk mendapatkan gambaran lebih jelas dan pasti keberadaan Benteng Putri Hijau secara khusus dan Kerajaan Haru secara lebih umum.

Sebagai perbandingan tentang pentingnya data adalah asumsi bahwa Sultan Deli yang pertama adalah panglima perang Kerajaan Aceh yang memerangi dan kemudian menaklukan Haru. Ada beberapa fakta yang bertentangan dengan asumsi itu.

๐Ÿ‘‰Pertama, Kesultanan Deli merujuk hubungannya dengan kerajaan-kerajaan Karo Hilir untuk memperkuat posisinya sebagai pemimpin tertinggi di Deli. Gocah Pahlawan mengawini putri Raja Sunggal dan raja-raja dari 4 Kerajaan Karo Hilir menjadi Raja Berempat yang mengesahkan suksesi Sultan Deli.

Kalau memang Haru adalah taklukan perang, Sultan tidak harus mengawini Putri Sunggal dan mengakui kewewenangan Raja Berempat Karo terhadap dirinya.

Sultan
juga tidak perlu mengakui dirinya bermerga Sembiring Meliala yang nenek moyangnya berasal dari Delitua untuk mendapat simpati orang-orang Karo. Sama dengan Anies Baswedan yang mengklaim dirinya seorang pribumi (Jawa) dengan mengenakan pakaian Jawa, bukan?๐Ÿ˜€

Ada pula tulisan yang sangat meyakini pasukan Aceh (dipimpin oleh Gocah Pahlawan) menyerang Haru dengan menunggang gajah (pasukan gajah). Bisa jadi. Tapi, tak pernah ada datanya mengenai peristiwa ini. Sering kali didalihkan naskah-naskah kuno berbahasa Tiongkok, tapi tidak pernah menunjukan naskah kuno itu.

Semua asumsi itu bisa jadi benar, tapi harus didukung oleh data atau sekumpulan data-data yang meyakinkan. Ilmu sosial yang berdasarkan pada positivisme adalah juga ilmu pasti. Sebuah asumsi bisa jadi dianggap salah bila data-data pendukungnya tidak kuat.
 
Setiap kesimpulan ilmiah, selalu sementara, tapi dukungan data adalah wajib. Data-data terbaru bisa meruntuhkan sebuah teori yang dibangun atas fakta-fakta tertentu hasil analisis terhadap data-data lama.
 
Tapi, sekali lagi, sebelum kita berbicara bahwa setiap teori bersifat sementara, kita juga harus berpegang teguh setiap teori harus dibangun di atas data yang valid.

Sampai saat ini, saya belum menemukan data-data yang valid kalau Aceh pernah mengalahkan Haru kecuali berdasarkan mitos maupun tulisan "ngarang-ngarang" tanpa berdasarkan data yang valid alias bisa diuji.

Data harus bisa diuji (valid) kecuali kalau berdalih Rahasia Tuhan.

Oleh : Juara R. Ginting