Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

CREATING CULTURE VS WRITING CULTURE -- Dominasi Ketidaktahuan


Dalam membicarakan sejarah dan kebudayaan di media sosial, orang-orang sering abai membedakan Creating Culture (Mencipta Budaya) dengan Writing Culture (Menulis Budaya).

Kita membebaskan para seniman dan sastrawan melakukan tindakan Creating Culture karena seni dan sastra kekuatannya ada di kebebasan berfantasi dan berimaginasi.

Sebagai contoh, cerita tentang perjalanan sekelompok nenek moyang Orang Karo dari Kairo (yang dulunya bernama Karo) ke Gunung Si Nai (sekarang bernama Sinai). Hingga suatu saat dia tiba di suatu tempat yang mereka beri nama Manok Wari.

Bagi orang yang belum pernah mendengar cerita itu, boleh saja tertawa karena merasa lucu. Memang maksud penciptaan cerita itu pun sebagai humor.

Demikian juga cerita mengenai Orang Rusia yang marah karena ongkos naik perahu menyeberangi Danau Galilea dianggapnya terlalu mahal.

"Pantaslah Jesus berjalan kaki di Danau Galilea, mahal sekali ongkos naik perahu," kata mereka.

Apakah memang begitu alasannya mengapa Jesus berjalan kaki di Danau Galilea? Sebagai sebuah karya seni/ sastra, kita tidak perlu membantahnya. Silahkan Mati Ketawa Ala Rusia. Secara keimanan, silahkan imani agama masing-masing.

Ilmuwan punya urusan lain. Saya belum mendapat rujukan ilmiah dari peristiwa yang digambarkan di Alkitab itu. Kalau kam bertanya pada saya sebagai Antropolog, maka saya akan menjawab bahwa saya sama sekali tidak bisa kasi jawaban. Lebih baik bilang tidak tahu daripada "kurasa ...... kurasa ......".

Lain halnya dengan Kisah Adam dan Hawa. Saya punya beberapa rujukan ilmiah bahwa kisah itu adalah Mitos. Salah satunya adalah antropolog Louis Dumont dalam bukunya Homo Hierarchicus (1982).

Salah satu ciri khas mitos mengenai Penciptaan Dunia dan Manusia (creation myth) atau biasa juga disebut Cosmogony) adalah menggambarkan Struktur Sosial sebuah kelompok sosial. Hanya saja, mitos punya bahasa yang berbeda dengan bahasa sehari-hari masyarakat penuturnya. Antropolog Claude Levi-Strauss menyebut bahasa mitos adalah Meta Language.

Sejak Levi-Strauss menerbitkan 4 jilid bukunya (masing-masing berisi sekitar 1000 halaman) berjudul THE SCIENCE OF MYTHOLOGY, para antropolog terutama dari aliran struktural sudah terlatih melakukan analisis terhadap berbagai mitos di berbagai suku bangsa di dunia.

Masalahnya adalah bahwa sebagian orang merujuk ke peristiwa mitologi sebagai sebuah peristiwa sejarah. Salah satu peristiwa mitologi yang sering kita temukan di berbagai masyarakat di dunia adalah nenek moyang mereka turun dari langit.

Tidak ada yang aneh dari peristiwa mitologi itu. Para antropolog [struktural] sudah mengetahui itu adalah sebuah mythical code yang mengatakan nenek moyang suku itu berasal dari luar. Beda dengan Adam yang diciptakan dari tanah sehingga sering secara humor saya menyebutnya PS (Pemuda Setempat) atau Akamsi (Anak Kampung Sini).😁

Masalahnya adalah ketika Peristiwa Mitologis itu dilihat sebagai Peristiwa Sejarah atau sebuah mitos disambungkan dengan peristiwa-peristiwa terkini.

Penelitian ilmiah tidak segampang itu. Misalnya saja, orang-orang Karo lumayan percaya kalau sebagian diantara orang-orang Karo sekarang berasal dari beberapa suku lain; misalnya Simalungun, Batak [Toba], Pakpak, dan Alas. Kepercayaan itu bukan hanya karena begitu dituturkan oleh legenda, tapi juga melihat kenyataan masa kini banyak mereka dari luar kemudian kawin dengan orang Karo dan kemudian menyandang salah satu merga Karo.

Masalahnya secara ilmiah adalah, kepercayaan itu tidak dilandasi data sejak kapan itu terjadi. Apakah 200 tahun lalu sudah ada perantau Batak [Toba] yang datang ke Taneh Karo? Tahukah kam pernah terjadi peristiwa saling bunuh antara Karo dan Batak [Toba] di Dairi?

Saya punya data bahwa sebelum Kemerdekaan RI orang-orang Batak [Toba] tidak berani merantau ke Taneh Karo. Hanya saja, saya tahu, bila data ini saya paparkan, saya akan dibanjiri serangan oleh orang-orang yang sudah "terpan tawar" mempercayai banyak diantara orang-orang Karo sekarang ini adalah keturunan orang-orang Batak [Toba].

Belum lagi kalau kita pertanyakan, berapa persen orang-orang Batak [Toba] itu "menyusup" menjadi Karo? Di mana saja persebarannya?

Ringkas cerita, kalau memang kita tidak tahu, lebih baik diam. Kalau ada orang menanyakannya, jawab saja tidak tahu. Begitu dia pergaulan ilmiah akademik. Karena kekuatan Ilmu Pengetahuan adalah pada keterbatasannya. Beda dengan seni dan sastra yang letak kekuatannya ada pada ketidakterbatasannya dalam berimaginasi dan berfantasi.

Seniman dan sastrawan dipersilahkan menciptakan budaya (Creating Culture) dengan mengatakan "darah menganak sungai", "seribu kembang di taman hanya satu kembang idaman", "rindu dendam membara menantikan ketibaan jantung hatiku".

Penelian ilmiah terutama yang beraliran Positivisme berusaha mencatat PERISTIWA berdasarkan pengamatan menjadi DATA, mengolah data sehingga memperlihatkan FAKTA, dan membuat TEORI berdasarkan analisis terhadap fakta-fakta.

Karya ilmiah adalah Writing Culture, bukan Creating Culture, yang tujuannya adalah memahami serangkaian peristiwa (perisitiwa alam atau bahasa, cognition, biologis, migrasi, dan lain sebagainya) sehingga bisa meramalkan akan atau tidak akan terjadinya peristiwa yang sama.

Seperti halnya Hukum Positip, Positivisme dalam Ilmu-ilmu Sosial juga harus didukung oleh bukti-bukti positip, yaitu yang bisa diamati oleh panca indera manusia. Mimpi atau bisikan Tuhan tidak bisa dijadikan bukti atas telah terjadinya peritiwa.

Mengapa saya menulis hal ini? Supaya para pembaca semakin jeli memisahkan mana Creating Culture dengan Writing Culture. Sehingga tidak terjadi "pertempuran" sia-sia di media sosial.

Bila ada orang yang vokal (karena kepedean) di media sosial mendominasi diskusi sehingga dia mengarahkan diskusi ke "jurang nihil diskusi" (meski tanpa disadarinya), abaikan saja orang itu. Jangan kita yang terbawa oleh ketidaktahuannya.

Mengakhiri tulisan ini saya mengajak kita merenungkan persoalan di bawah ini secara ilmiah akademik (bukan kuakap-kuakap):

Menurut J.H. Neumann, merga Gurusinga bukan kosa kata Sansekerta (guru + singa), tapi melainkan dari Nggurisa (sejenis burung enggang). Dugaannya diperkuat fakta bahwa orang-orang dari merga Gurusinga pantang memakan daging Nggurisa.

Saya sudah pernah memeriksanya, memang mereka berpantang memakan daging nggurisa. Bahkan saya mendengar penuturan seseorang kalau ayahnya (merga Gurusinga) pernah memakan daging Nggurisa kemudian mengalami gatal-gatal di seluruh tubuhnya.

Orang-orang yang tidak berpikir ilmiah dan apalagi sudah menjadikan tafsiran merga Gurusinga dari Bahasa Sansekerta (The Lion Teacher kata mereka), bisa jadi akan memaki-maki saya atau setidaknya tersinggung. Padahal saya hanya menyampaikan asumsi Pdt. J.H. Neumann yang latar belakang pendidikannya adalah Ahli Bahasa selain Theologia.

Mejuah-juah.💕

Oleh : Juara R. Ginting
Foto FB : Juara R. Gitning