Mempertanyakan apa yang tidak atau kurang dilakukan dalam konteks Asia Tenggara sebagai sebuah Culture Area
Desa Barung Kersap Foto : Sagan Pro |
PERSOALAN PERSAMAAN DAN PERBEDAAN DALAM KEBUDAYAAN -- Seberapa Jauh Kita Sudah Dipengaruhi Teori-teori Lama? (Lanjutan 2)
Endasmu Ngesex Melulu!
Di Lanjutan 1 saya sudah paparkan 2 faktor utama persebaran budaya sehingga kita temukan berbagai persamaan atau kemiripan diantara budaya-budaya di Asia Tenggara. Kedua faktor itu adalah:
π’ 1. Migrasi penduduk dari satu tempat ke banyak tempat sehingga kita temukan persamaan atau kemiripan diantara budaya-budaya karena diwariskan dari generasi ke generasi sementara aslinya berasal dari satu tempat yang sama di masa lalu.
π’ 2. Ada pengaruh dari luar yang asalnya sama, seperti halnya pengaruh-pengaruh Hindu, Budha, Islam, dan Kristen.
Data-data maupun fakta-fakta yang ditampilkan untuk π membuktikan kebenaran adanya persamaan atau kemiripan itu terutama adalah benda-benda budaya seperti peralatan mata pencarian, tempat tinggal, dan tempat-tempat persembahan religius.
Karena itu, pendekatan Culture Area yang dipelopori oleh arkeolog Robert Von Heine-Geldren asal Austria ini lebih dekat dengan materialisme dari Karl Marx kalau kita merujuk ke Grand Theory.
Di Lanjutan 2 ini, saya mendiskusikan apa yang tidak dilakukan dalam konteks Asia Tenggara sebagai sebuah Culture Area atau apa yang kurang mendapat perhatian.
Sekali lagi, saya tidak menyalahkan pendekatan ini, tapi saya mau memperkenalkan ada perhatian kepada data-data maupun fakta-fakta lain yang juga mendapat perhatian serius dari banyak ilmuwan sosial dan budaya, terutama para antropolog aliran Strukturalisme dari Inggris, Belanda, Perancis, dan Australia.
Pikiran dasar dari para strukturalis itu semua dapat kita telusur balik ke Emile Durkheim atas kajian-kjian muridnya (Marcell Mauss) dari luar Eropah seperti sistim pembagian masyarakat pada suku-suku Aborigin Australia dan suku-suku Indian di Kanada.
Contoh kecil dari Australia adalah pembagian masyarakat ke dalam 2 moiety (paruh/belah masyarakat) dan masing-masing moiety dibagi ke dalam 2 phratry sehingga masyarakat itu terbagi ke dalam 4 phratry.
Untuk memahami pembagian masyarakat seperti itu, saya tarik ke dua contoh terdekat, yaitu Minangkau dan Batak ;
π’ Masayarakat Batak juga terdiri dari dua belahan: Lontung dan Sumba.
Sesuatu yang menarik dari pemaparan Marcell Mauss tentang suku-suku Indian Kanada yang dulu disebut Eskimo dan belakangan sebutannya diganti dengan Inuit karena mereka mengatakan "Inuit Bukan Eskimo" (IBE),
Marcel Mauss menggambarkan adanya 2 musim di Kanada, yaitu
Pada Musim Panas, mereka berpencar ke dalam beberapa kelompok lebih kecil untuk lebih menggiatkan aktivitas ekonomi terutama berburu atau menangkap ikan. Selama Musim Panas, mereka tinggal di tenda-tenda (tipi) yang terbuat dari kulit hewan hasil buruan sehingga mereka mudah pindah dari satu tempat ke tempat lain mengikuti hewan buruannya.
Hal menarik dari kajian Mauss adalah, dia melihat adanya perbedaan pengelompokan sosial selama tinggal di long house dengan selama tinggal di tipi. Di long house mereka tinggal bersama keluarga-keluarga yang terhubung satu sama lain oleh hubungan para ibu atau istri sehingga bersifat matrialchard,. Sementara, Pada Musim Panas, penyebaran mereka berlangsung secara berkelompok yang masing-masing terhubung berdasarkan garis keturunan ayah (patrialchard).
Pikiran seperti itu pernah saya temukan dalam sebuah naskah belum diterbitkan oleh seorang tokoh Karo yang mengasumsikan kehidupan barung-barung adalah lebih awal pada Suku Karo sebelum mereka mengenal kehidupan kuta.
Lain lagi halnya dengan antropolog Louis Henry Morgan yang menjadi "jubir" Karl Marx lewat Frederick Engels untuk masyarakat-masyarakat di luar Eropah. Dia mengasumsikan kehidupan orang-orang Indian di long house sebagai peninggalan salah satu tahap evolusi masyarakat. Seperti halnya orang-orang Indian ini, mereka tinggal bersama secara bergotongroyong dan egalitarian (duduk sama rendah berdiri sama tinggi).
"Kita juga orang-orang Eropah dulunya begitu sebelum memasuki tahap revolusi industri sehingga tercipta masyarakat berkelas (class society) dengan munculnya Kelas Bangsawan/ Pemilik Modal (borjuis) dan Kelas Buruh (proletarian)," kata L.H. Morgan.
Pikiran seperti itu mempengaruhi banyak sarjana di dunia termasuk Meneth Ginting. Di tahun 1989, setelah memviralkan runtuhnya sebuah rumah adat di Desa Lingga lewat beberapa harian Medan, saya melakukan audiens ke Bupati Karo yang saat itu adalah Ir. Meneth Ginting MADE.
Dia menolak melestarikan Rumah Adat Karo karena menurutnya, Rumah Adat Karo adalah manifestasi idiologi komunis. Saya akhirnya beralih ke Dekan FISIPOL USU (Drs. Adham Nasution) yang menyambut positip usulan saya mengadakan seminar.
Gubsu (Rajainal Siregar) memberikan bantuan penuh untuk seminar itu termasuk biaya tikket dua penceramah dari Jawa;
Asumsi egalitarianisme dari L.H. Morgan sudah dibantah oleh Marcell Mauss dan dibantah lebih keras lagi oleh Claude Levi-Strauss sang penemu Antropologi Strukutralisme.
"Untuk apa facade, gerbang masuk kampung, tiang-tiang totem dan ornamen-ornamen rumah yang diukir dan dicat dengan rasa seni tinggi kalau itu hanya sebagai tempat tinggal bersama?" kata Levi-Strauss mengawali uraiannya mengenai House Society.
Lalu, dia membandingkan rumah-rumah suku-suku Indian itu dengan rumah-rumah di Eropah sebagaimana ditulis oleh sejarawan Jaman Pertengahan.
Rumah-rumah yang dimaksud adalah Noble House yang fungsinya lebih mempersatukan suatu kelompok sosial tertentu sebagai warga satu rumah yang sama meskipun para warganya tinggal di berbagai tempat yang berbeda.
Maka katanya, seperti Noble House dari Jaman Pertengahan Eropah (belum ada Masyarakat Berkelas) begitulah rumah-rumah adat Suku-suku Indian. Lebih memberi penekanan konsep asal usul daripada sebagai tempat tinggal.
Saya bandingkan dengan rumah adat Karo. Dulu, orang-orang Karo bisa berkenalan dengan menanyakan "apai rumahndu i Ajinembah?"
Saya berhak mengatakan saya adalah anggota Rumah Mbaru Ajinembah meskipun sudah lebih 7 generasi moyang saya mendirikan kuta Lauriman dan di Lauriman "kami" mendirikan rumah pertama bernama Kurung Manik (4 jabu) dan nantinya "kami" membangun Rumah Mbaru (8 jabu) di Lauriman, mengenang nama "rumah kami" di Ajinembah.
Saya masih mengalami tidur di Rumah Mbaru Lauriman saat berkunjung kerja tahun di sana semasa kecil.π
Kisah missionaris H.C. Kruyt menarik untuk disimak. Karena warga Buluhawar siangnya kerja di ladang dan sorenya sibuk memasak dan makan ketika mereka kembali ke rumah adat, Kruyt memutuskan mengunjungi mereka di ladang mereka masing-masing.
Andikoh, katanya. Dia temukan di ladang pasangan-pasangan suami istri melakukan hubungan sexual di gubuk ladangnya. Maka Kruyt pun menyadari kalau rumah adat bukan "dwelling place" karena mereka lebih memilih berhubungan sex di ladang daripada di rumah adat.π
Tapi, muncul juga cerita-cerita khayalan kalau laki-laki dewasa yang duda atau istrinya sedang tidak berada di rumah tidak diijinkan tidur di rumah adat karena takut dia akan menggerayangi istri orang lain saat tengah malam.π
Dulu, pasangan-pasangan muda lebih memilih tinggal di barung daripada di rumah adat. Karena itu, rumah-rumah adat kebanyakan ditempati oleh pasangan-pasangan tua atau janda sementara laki-laki dewasa yang tidak sedang bersama istri, wajib tidur di Jambur.
Fenomena Musim Panas dan Musim Dingin yang diikuti dengan perubahan cara berkelompok di Masyarakat-masyarakat Indian Kanada sempat menarik perhatian para antropolog Universitas Leiden. Terutama desertasi Van Wouden di Sumba (Indonesia Timur).
Van Wouden lama sekali menjadi dosen di UI Jakarta dan menjadi dosen pembimbing Koentjaraningrat sebelum Koentjarangningrat mempertahankan desertasinya di Amerika Serikat di bawah bimbimbingan antropolog terkenal A.L. Kroeber.
Van Wouden mengasumsikan adanya double descent (garis keturunan ganda) dalam organisasi sosial orang-orang Sumba.
Dalam konteks pemukiman tertentu, mereka mengorganisir diri secara patrilineal sehingga terbentuk kelompok-kelompok patrilineal. Tapi pada konteks pemukiman lain, mereka mengorganisir diri sebagai satu kelompok matrilineal.
Untuk lebih jelasnya, mari bandingkan konteks pemukiman barung-barung dengan konteks pemukiman kuta.
Masing-masing barung-barung didirikan oleh satu merga tertentu yang para anggotanya berhubungan satu sama lain sebagai SEMBUYAK. Sementara sebuah kuta didirikan oleh 4 urung.
Massing-masing urung mewakili satu kelompok garis keturunan patrilineal (sembuyak) dn keempat urung berhubungan satu sama lain sebagai penerima mas kawin dari seorang pengantin perempuan:
π1. Batang Unjuken (SEMBUYAK)
π2. Sirembah Ku Lau (ANAK BERU)
π3. Singalo Bebere (KALIMBUBU)
π4. Perbibin (SENINA)
Makanya, sebuah kuta didirikan di masa Pre Kolonial hanya dengan membangun paling tidak satu rumah adat siempat jabu agar keempat komponen tersebut punya "kundulen" meskipun masing-masing mereka bisa jadi tinggal di kampung lain atau lebih sering menginap di barung-barung.
Dengan contoh Karo, kita sudah dapat memahami kalau perbedaan antara kuta dan barung-barung bukan di dalam tahapan evolusi, tapi di dalam perbedaan dua konteks sosial utama. Demikian juga perbedaan antara Pengulu Silebe Merdang dan Pengulu Kuta.
Dalam ritual Memanggil Musim Hujan (Ndilo Wari Udan), kedua partai, Partai Silebe Merdang dengan Partai Kuta, saling berperang yang biasanya dilakukan dengan tembak menembak menggunakan alat semprotan air (kercet-kercet).
Perang itu adalah mengembalikan rotasi tahunan, yakni ;
Dalam mitos-mitos kedua partai itu sering disebut Batu Belah yang merupakan dua Belah Masyarakat;
Begitu juga para strukturalis dari Leiden memandang teori evolusi yang mengatakan Minangkabau, misalnya, sebagai sisa-sisa tahapan evolusi lebih awal karena menganut matrilineal, dibantah oleh mereka.
Banyak orang yang tidak sadar kalau jumlah masyarakat matrilineal jauh lebih banyak daripada masyarakat patrilineal di Indonesia. Demikian juga di dunia, kiranya masyarakat matrilineal jauh lebih banyak jumlahnya daripada masyarakat patrilineal.
Kembali ke awal tulisan ini yang mempertanyakan apa yang tidak atau kurang dilakukan dalam konteks Asia Tenggara sebagai sebuah Culture Area.π
Jawabannya adalah ππ bahwa pendekatan itu MENIADAKAN society sebagai sebuah sistim yang menghubungkan warganya satu sama lain. Society adalah abstrak, bukan material, karena dia adalah sebuah sistim.
Saya ambil sebuah contoh bagaimana tulisan-tulisan lama mengenai rumah adat Batak yang katanya terbagi ke dalam 3 bagian vertikal yang sejalan yakni ;
Asumsi itu serasa diperkuat oleh motif pada bagian luar gendang perunggu yang ditemukan di Lembah Dongson (Vietnam) yang membagi adanya bagian atas, tengah, dan bawah.
Penemuan di Batak diterapkan pula di Karo.
Berdasarkan penelitian lapangn yang saya lakukan berbulan-bulan di Karo, tinggal di Dokan selama 6 bulan, tinggal di Bintang Mertiah selama 6 bulan, dan melakukan banyak kunjungan ke hampir semua kampung Karo, saya temukan bahwa rumah Karo terdiri dari 2 jenis rumah.
πPertama adalah KARANG mewakili rumah di ladang (barung), dan
Terlihat adanya kontras antara laki-laki (kehidupan barung) dan perempuan (kehidupan rumah). Tentu kita sudah paham mengapa laki-laki tanpa istri dilarang tidur di rumah adat pada malam hari.π Karena rumah adat itu adalah dunianya para istri.
Oleh : Juara R. Ginting
Endasmu Ngesex Melulu!
Di Lanjutan 1 saya sudah paparkan 2 faktor utama persebaran budaya sehingga kita temukan berbagai persamaan atau kemiripan diantara budaya-budaya di Asia Tenggara. Kedua faktor itu adalah:
π’ 1. Migrasi penduduk dari satu tempat ke banyak tempat sehingga kita temukan persamaan atau kemiripan diantara budaya-budaya karena diwariskan dari generasi ke generasi sementara aslinya berasal dari satu tempat yang sama di masa lalu.
π’ 2. Ada pengaruh dari luar yang asalnya sama, seperti halnya pengaruh-pengaruh Hindu, Budha, Islam, dan Kristen.
Data-data maupun fakta-fakta yang ditampilkan untuk π membuktikan kebenaran adanya persamaan atau kemiripan itu terutama adalah benda-benda budaya seperti peralatan mata pencarian, tempat tinggal, dan tempat-tempat persembahan religius.
Karena itu, pendekatan Culture Area yang dipelopori oleh arkeolog Robert Von Heine-Geldren asal Austria ini lebih dekat dengan materialisme dari Karl Marx kalau kita merujuk ke Grand Theory.
Di Lanjutan 2 ini, saya mendiskusikan apa yang tidak dilakukan dalam konteks Asia Tenggara sebagai sebuah Culture Area atau apa yang kurang mendapat perhatian.
Sekali lagi, saya tidak menyalahkan pendekatan ini, tapi saya mau memperkenalkan ada perhatian kepada data-data maupun fakta-fakta lain yang juga mendapat perhatian serius dari banyak ilmuwan sosial dan budaya, terutama para antropolog aliran Strukturalisme dari Inggris, Belanda, Perancis, dan Australia.
Pikiran dasar dari para strukturalis itu semua dapat kita telusur balik ke Emile Durkheim atas kajian-kjian muridnya (Marcell Mauss) dari luar Eropah seperti sistim pembagian masyarakat pada suku-suku Aborigin Australia dan suku-suku Indian di Kanada.
Contoh kecil dari Australia adalah pembagian masyarakat ke dalam 2 moiety (paruh/belah masyarakat) dan masing-masing moiety dibagi ke dalam 2 phratry sehingga masyarakat itu terbagi ke dalam 4 phratry.
Untuk memahami pembagian masyarakat seperti itu, saya tarik ke dua contoh terdekat, yaitu Minangkau dan Batak ;
π’ Minangkabau terdiri dari 2 belah masyarakat (Koto-Piliang dan Bodi-Caniago) sehingga Masyarakat Minangkabau disebut juga Ampek Suku (empat marga):
1. Koto,
2. Piliang,
3. Bodi,
4. Caniago.
Suku-suku (marga-marga) lain merapat ke salah satu dari 4 marga utama ini.
π’ Masayarakat Batak juga terdiri dari dua belahan: Lontung dan Sumba.
πLontung terbagi lagi ke Toba dan Samosir, sedangkan
πSumba terbagi lagi ke Humbang dan Silindung.
Semua marga-marga Batak merapat ke salah satu diantara Toba, Samosir, Humbang, dan Silindung.
Sesuatu yang menarik dari pemaparan Marcell Mauss tentang suku-suku Indian Kanada yang dulu disebut Eskimo dan belakangan sebutannya diganti dengan Inuit karena mereka mengatakan "Inuit Bukan Eskimo" (IBE),
Marcel Mauss menggambarkan adanya 2 musim di Kanada, yaitu
π Musim Panas dan
π Musim Dingin. Pada saat Musim Dingin mereka berkumpul untuk menetap di rumah-rumah panjang (long house) yang ditempati oleh beberapa keluarga. Selama Musim Dingin, mereka banyak mengadakan ritual-ritual yang terutama bersifat pertukaran barang (potlach) yang dikenal juga sebagai ritual exchange.
Pada Musim Panas, mereka berpencar ke dalam beberapa kelompok lebih kecil untuk lebih menggiatkan aktivitas ekonomi terutama berburu atau menangkap ikan. Selama Musim Panas, mereka tinggal di tenda-tenda (tipi) yang terbuat dari kulit hewan hasil buruan sehingga mereka mudah pindah dari satu tempat ke tempat lain mengikuti hewan buruannya.
Hal menarik dari kajian Mauss adalah, dia melihat adanya perbedaan pengelompokan sosial selama tinggal di long house dengan selama tinggal di tipi. Di long house mereka tinggal bersama keluarga-keluarga yang terhubung satu sama lain oleh hubungan para ibu atau istri sehingga bersifat matrialchard,. Sementara, Pada Musim Panas, penyebaran mereka berlangsung secara berkelompok yang masing-masing terhubung berdasarkan garis keturunan ayah (patrialchard).
Itulah fakta sosial yang sejalan dengan fenomena alam (cuaca), kata Mauss yang sekaligus menolak pikiran evolusionisme yang mengasumsikan teknik pertukangan rumah panjang adalah fase lanjut evolusi manusia setelah melalui fase pembuatan tipi.
Pikiran seperti itu pernah saya temukan dalam sebuah naskah belum diterbitkan oleh seorang tokoh Karo yang mengasumsikan kehidupan barung-barung adalah lebih awal pada Suku Karo sebelum mereka mengenal kehidupan kuta.
Lain lagi halnya dengan antropolog Louis Henry Morgan yang menjadi "jubir" Karl Marx lewat Frederick Engels untuk masyarakat-masyarakat di luar Eropah. Dia mengasumsikan kehidupan orang-orang Indian di long house sebagai peninggalan salah satu tahap evolusi masyarakat. Seperti halnya orang-orang Indian ini, mereka tinggal bersama secara bergotongroyong dan egalitarian (duduk sama rendah berdiri sama tinggi).
"Kita juga orang-orang Eropah dulunya begitu sebelum memasuki tahap revolusi industri sehingga tercipta masyarakat berkelas (class society) dengan munculnya Kelas Bangsawan/ Pemilik Modal (borjuis) dan Kelas Buruh (proletarian)," kata L.H. Morgan.
Pikiran seperti itu mempengaruhi banyak sarjana di dunia termasuk Meneth Ginting. Di tahun 1989, setelah memviralkan runtuhnya sebuah rumah adat di Desa Lingga lewat beberapa harian Medan, saya melakukan audiens ke Bupati Karo yang saat itu adalah Ir. Meneth Ginting MADE.
Dia menolak melestarikan Rumah Adat Karo karena menurutnya, Rumah Adat Karo adalah manifestasi idiologi komunis. Saya akhirnya beralih ke Dekan FISIPOL USU (Drs. Adham Nasution) yang menyambut positip usulan saya mengadakan seminar.
Gubsu (Rajainal Siregar) memberikan bantuan penuh untuk seminar itu termasuk biaya tikket dua penceramah dari Jawa;
π Dr. Masri Singarimbun (UGM) dan
π Ir. Djauhari Sumintardja (PU Pusat).
Asumsi egalitarianisme dari L.H. Morgan sudah dibantah oleh Marcell Mauss dan dibantah lebih keras lagi oleh Claude Levi-Strauss sang penemu Antropologi Strukutralisme.
"Untuk apa facade, gerbang masuk kampung, tiang-tiang totem dan ornamen-ornamen rumah yang diukir dan dicat dengan rasa seni tinggi kalau itu hanya sebagai tempat tinggal bersama?" kata Levi-Strauss mengawali uraiannya mengenai House Society.
Lalu, dia membandingkan rumah-rumah suku-suku Indian itu dengan rumah-rumah di Eropah sebagaimana ditulis oleh sejarawan Jaman Pertengahan.
Rumah-rumah yang dimaksud adalah Noble House yang fungsinya lebih mempersatukan suatu kelompok sosial tertentu sebagai warga satu rumah yang sama meskipun para warganya tinggal di berbagai tempat yang berbeda.
Maka katanya, seperti Noble House dari Jaman Pertengahan Eropah (belum ada Masyarakat Berkelas) begitulah rumah-rumah adat Suku-suku Indian. Lebih memberi penekanan konsep asal usul daripada sebagai tempat tinggal.
Saya bandingkan dengan rumah adat Karo. Dulu, orang-orang Karo bisa berkenalan dengan menanyakan "apai rumahndu i Ajinembah?"
Saya berhak mengatakan saya adalah anggota Rumah Mbaru Ajinembah meskipun sudah lebih 7 generasi moyang saya mendirikan kuta Lauriman dan di Lauriman "kami" mendirikan rumah pertama bernama Kurung Manik (4 jabu) dan nantinya "kami" membangun Rumah Mbaru (8 jabu) di Lauriman, mengenang nama "rumah kami" di Ajinembah.
Saya masih mengalami tidur di Rumah Mbaru Lauriman saat berkunjung kerja tahun di sana semasa kecil.π
Kisah missionaris H.C. Kruyt menarik untuk disimak. Karena warga Buluhawar siangnya kerja di ladang dan sorenya sibuk memasak dan makan ketika mereka kembali ke rumah adat, Kruyt memutuskan mengunjungi mereka di ladang mereka masing-masing.
Andikoh, katanya. Dia temukan di ladang pasangan-pasangan suami istri melakukan hubungan sexual di gubuk ladangnya. Maka Kruyt pun menyadari kalau rumah adat bukan "dwelling place" karena mereka lebih memilih berhubungan sex di ladang daripada di rumah adat.π
Tapi, muncul juga cerita-cerita khayalan kalau laki-laki dewasa yang duda atau istrinya sedang tidak berada di rumah tidak diijinkan tidur di rumah adat karena takut dia akan menggerayangi istri orang lain saat tengah malam.π
Dulu, pasangan-pasangan muda lebih memilih tinggal di barung daripada di rumah adat. Karena itu, rumah-rumah adat kebanyakan ditempati oleh pasangan-pasangan tua atau janda sementara laki-laki dewasa yang tidak sedang bersama istri, wajib tidur di Jambur.
Fenomena Musim Panas dan Musim Dingin yang diikuti dengan perubahan cara berkelompok di Masyarakat-masyarakat Indian Kanada sempat menarik perhatian para antropolog Universitas Leiden. Terutama desertasi Van Wouden di Sumba (Indonesia Timur).
Van Wouden lama sekali menjadi dosen di UI Jakarta dan menjadi dosen pembimbing Koentjaraningrat sebelum Koentjarangningrat mempertahankan desertasinya di Amerika Serikat di bawah bimbimbingan antropolog terkenal A.L. Kroeber.
Van Wouden mengasumsikan adanya double descent (garis keturunan ganda) dalam organisasi sosial orang-orang Sumba.
Dalam konteks pemukiman tertentu, mereka mengorganisir diri secara patrilineal sehingga terbentuk kelompok-kelompok patrilineal. Tapi pada konteks pemukiman lain, mereka mengorganisir diri sebagai satu kelompok matrilineal.
Untuk lebih jelasnya, mari bandingkan konteks pemukiman barung-barung dengan konteks pemukiman kuta.
Masing-masing barung-barung didirikan oleh satu merga tertentu yang para anggotanya berhubungan satu sama lain sebagai SEMBUYAK. Sementara sebuah kuta didirikan oleh 4 urung.
Massing-masing urung mewakili satu kelompok garis keturunan patrilineal (sembuyak) dn keempat urung berhubungan satu sama lain sebagai penerima mas kawin dari seorang pengantin perempuan:
π1. Batang Unjuken (SEMBUYAK)
Berinduk ke ibunya pengantin perempuan
(Bride's Mother)
π2. Sirembah Ku Lau (ANAK BERU)
Berinduk ke saudari ayah pengantin perempuan
(Bride's Father's Sister)
π3. Singalo Bebere (KALIMBUBU)
Berinduk ke istri dari sadara ibu pengantin perempuan
(Bride's Mother's Brother's Wife)
π4. Perbibin (SENINA)
Berinduk ke saudari ibu pengantin perempuan
(Bride's Mother's Sister)
Makanya, sebuah kuta didirikan di masa Pre Kolonial hanya dengan membangun paling tidak satu rumah adat siempat jabu agar keempat komponen tersebut punya "kundulen" meskipun masing-masing mereka bisa jadi tinggal di kampung lain atau lebih sering menginap di barung-barung.
Dengan contoh Karo, kita sudah dapat memahami kalau perbedaan antara kuta dan barung-barung bukan di dalam tahapan evolusi, tapi di dalam perbedaan dua konteks sosial utama. Demikian juga perbedaan antara Pengulu Silebe Merdang dan Pengulu Kuta.
Dalam ritual Memanggil Musim Hujan (Ndilo Wari Udan), kedua partai, Partai Silebe Merdang dengan Partai Kuta, saling berperang yang biasanya dilakukan dengan tembak menembak menggunakan alat semprotan air (kercet-kercet).
Perang itu adalah mengembalikan rotasi tahunan, yakni ;
π’ Partai Lebe Merdang wajib menang karena merekalah yang berhubungan dengan meningkatnya kelembaban udara dalam setahun, sedangkan...
π’ Partai Kuta dengan menurunnya kelembaban udara di tahun yang sama.
Dalam mitos-mitos kedua partai itu sering disebut Batu Belah yang merupakan dua Belah Masyarakat;
π Satunya menganut Virilocal (tinggal di kelompok laki-laki) dan
π Satu lainnya Uxorilocal (tinggal di kelompok perempuan).
Begitu juga para strukturalis dari Leiden memandang teori evolusi yang mengatakan Minangkabau, misalnya, sebagai sisa-sisa tahapan evolusi lebih awal karena menganut matrilineal, dibantah oleh mereka.
Banyak orang yang tidak sadar kalau jumlah masyarakat matrilineal jauh lebih banyak daripada masyarakat patrilineal di Indonesia. Demikian juga di dunia, kiranya masyarakat matrilineal jauh lebih banyak jumlahnya daripada masyarakat patrilineal.
Kembali ke awal tulisan ini yang mempertanyakan apa yang tidak atau kurang dilakukan dalam konteks Asia Tenggara sebagai sebuah Culture Area.π
Jawabannya adalah ππ bahwa pendekatan itu MENIADAKAN society sebagai sebuah sistim yang menghubungkan warganya satu sama lain. Society adalah abstrak, bukan material, karena dia adalah sebuah sistim.
Saya ambil sebuah contoh bagaimana tulisan-tulisan lama mengenai rumah adat Batak yang katanya terbagi ke dalam 3 bagian vertikal yang sejalan yakni ;
π1. Banua Ginjang (bagian atap),
π2. Banua Tonga (bagian tempat tinggal),
π3. Banua Toru (bagian kolong rumah).
Asumsi itu serasa diperkuat oleh motif pada bagian luar gendang perunggu yang ditemukan di Lembah Dongson (Vietnam) yang membagi adanya bagian atas, tengah, dan bawah.
Penemuan di Batak diterapkan pula di Karo.
Berdasarkan penelitian lapangn yang saya lakukan berbulan-bulan di Karo, tinggal di Dokan selama 6 bulan, tinggal di Bintang Mertiah selama 6 bulan, dan melakukan banyak kunjungan ke hampir semua kampung Karo, saya temukan bahwa rumah Karo terdiri dari 2 jenis rumah.
πPertama adalah KARANG mewakili rumah di ladang (barung), dan
πKedua adalah TARUM mewakili rumah di langit.
Terlihat adanya kontras antara laki-laki (kehidupan barung) dan perempuan (kehidupan rumah). Tentu kita sudah paham mengapa laki-laki tanpa istri dilarang tidur di rumah adat pada malam hari.π Karena rumah adat itu adalah dunianya para istri.
Payah memang kalau endasmu nyimpan otak sex melulu.π