MENELISIK PENAMAAN PERANG SUNGGAL — Kok Jadi Batak Oorlog?
3 orang pria yang merupakan Simbisa Karo (simbisa: sebutan untuk para kesatria/pejuang/pasukan Suku Karo). |
Perang Sunggal demikian sejarawan kenamaan Sumatera Utara Tengku Luckman Sinar yang juga pewaris Sultan Serdang menyebutkan perang yang terjadi antara 1872-1895 ini antara pihak Sunggal (Serbanaman) dengan Belanda dan sekutunya Deli dan Siak.
“Perang Tanduk Benua”, demikian orang Karo menyebut dan mengenang perang terlama dan terdasyat yang pernah terjadi di nusantara itu.
Uli Kozok dari University of Hawaii (USA) dengan ulasanya menganggap “Perang Karo” adalah sebutan yang harusnya lebih tepat untuk kejadian itu dan penyebutan Batak Oorlog hal yang membingungkan.
Perang Sunggal atau dalam catatan penjajah Belanda disebut “Batak Oorlog (Perang Batak)” adalah perang Rakyat Sunggal melawan klaim sepihak Sultan Deli atas tanah-tanah ulayat Karo untuk disewakan ke perkebunan-perkebunan asing. Dalam perang ini, Sunggal didukung oleh orang-orang Karo dari Pesisir (Karo Hilir) hingga Dataran Tinggi (Karo Gugung).
Batak Oorlog merupakan kampanye militer Belanda dalam menumpas pengacau (para bandit), bukannya rakyat setempat yang merasa tanahnya digarap orang lain tanpa konpensasi.
Jauh sebelumnya, di Pesisir Pantai Timur Sumatera bagian Utara hingga Bukit Barisan sudah terbangun persepsi di kalangan orang-orang Eropah bahwa 👉Melayu orang pesisir sedangkan Batak orang gunung. Melayu adalah Islam dan beradab, sedangkan Batak adalah paganisme dan belum beradab.
Demikianlah stigma yang dibangun oleh orang asing dalam memisah masyarakat. Ini terus tumbuh dan berkembang dalam alam pikir masyarakat luas, bahkan di kalangan akademisi sampai sekarang.
Sedangkan Karo (saat itu) sudah ada yang Islam dan ada yang masih berpegang pada kepercayaan leluhur (Pemena). Baru di tahun 1890 misionaris yang diutus Nederlandsch Zendeeling Genootschap (NZG), sebuah lembaga pekabaran injil Belanda (Pdt. H.C. Kruyt) menginjakkan kakinya di Buluhawar (Karo Jahé) untuk mengkristenkan Suku Karo. Peristiwa 1890 ini kemudian dikenang sebagai peristiwa awal sampainya injil ke Suku Karo.
Orang Karo ada juga yang di gunung-gunung (Karo Gugung) dan di pesisir (Karo Jahé). Secara politis, kepentingan dan etnografi kala itu, Karo terjepit antara Melayu dan Batak! Maka sering dianalogikan: Karo (bedar: rusa gunung) terjepit antara Melayu (buaya di rawa) dan Batak (harimau di gunung).
Kembali saya katakan, “Batak Oorlog merupakan kampanye militer Belanda dalam menumpas pemberontak, perompak, dan gerombolan biadab yang suka bikin onar dan membakar bangsal-bangsal perusahaan Eropa di Sumatera Timur (Ooskust van Sumatra)”.
Itulah pilihan Belanda dan Kesultanan Deli, tentu untuk mendapat dukungan dari Parlemen, Gubernur Jendral, juga pihak Siak dan masyarakat internasional, karena Sumatera Timur saat itu sudah menjadi tujuan dan asal produk untuk perdagangan internasional.
Bagaimana jika pihak Sultan Deli dan Belanda katakan itu sebagai “Perang Sunggal” atau “Perang Karo”saja saat itu?
Saya ragu kalau orang Melayu (tentara Deli) dan Siak mau turut dalam perang ini untuk melawan saudaranya Karo dan Melayu di Sunggal yang juga mendapat dukungan dari Urung Senembah. Mereka (rakyat Deli dan Siak) tahu kalau Sunggal adalah kalimbubu dan ulun jandi dari Kesultanan Deli.
Suku Karo adalah pemilik ulayat di Pesisir Timur Sumatera bagian Utara. Demikian juga Parlemen dan mungkin Gubernur Jendral di Batavia, tentu akan ragu-ragu mengucurkan dana, mengirim pasukan dan medali bagi kesuksesan perang ini.
Dalam diskusi saya dengan seorang antropolog Karo (Juara R. Ginting) yang sekarang bermukim di Leiden (Belanda) via telepon, dia meragukan Parlemen dan Urusan Tanah Jajahan dalam menyetujui dan mengucurkan dana yang sangat besar dan bala bantuan dari Batavia (hingga 3 gelombang) untuk membantu perang ini jika disebut cakupannya hanya melawan Rakyat Sunggal (Karo).
Maka dengan liciknya Belanda dan Deli kemudian meminjam nama ‘Batak” yang dalam pengertian dan definisi saat itu adalah suku-suku yang tinggal di gunung-gunung, perompak, penunggang kuda, belum beragama dan definisi negatif lainnya. Sehingga muncul pertanyaan, “kenapa perompak dari gunung yang bikin onar ke Sumatera Timur tidak diberangus?!”
Tepatlah pilihan Belanda dan Deli mengkampayekan Batak Oorlog (Perang Batak) agar seakan-akan cakupan perang ini lebih luas, meliputi Sumatera Timur sebagai pusatnya, hingga ke wilayah Tapanuli (karena dalam administrasi Hindia Belanda, semua suku-suku di Pegunungan Bukit Barisan yang belum Islam disebut Batak) dan untuk alasan memberangus penjahat, bukan pejuang dan rakyat setempat untuk membebaskan tanahnya.
Pandangan masyarakat internasional juga akan berbeda. Tentu ini akan dikenang sebagai genoside yang dilakukan oleh Belanda dan Kesultanan Deli terhadap masyarakat Suku Karo, jika nama yang diusung dalam perang ini adalah “Perang Karo”.
Maka kata “Batak Oorlog (Perang Batak)” nama yang tepat saat itu bagi Belanda dan Deli. Karena stigma dan persepsi yang sudah terbangun saat itu kalau Batak itu paganisme dari pegunungan dan biadab. Jadi, Belanda dan Deli yang didukung Siak berperang untuk membasmi para pengacau, bukan rakyat/ masyarakat setempat.
Tetapi orang Karo yang merupakan pelaku utama dari perang ini di bawah pimpinan Raja Sunggal Datuk Badiuzzaman Surbakti dan Panglimanya Nabung Surbakti tidak pernah mengenal istilah Batak Oorlog (Perang Batak) hingga era keterbukaan informasi melalui buku-buku sejarah modern yang beredar.
Orang Karo menyebutnya sebagai Perang Tanduk Benua atau Perang Sunggal/ Serbanaman.
Mejuah-juah Indonesia!
Oleh: Bastanta Permana Sembiring
Sumber: kahekolu.com
“Perang Tanduk Benua”, demikian orang Karo menyebut dan mengenang perang terlama dan terdasyat yang pernah terjadi di nusantara itu.
Uli Kozok dari University of Hawaii (USA) dengan ulasanya menganggap “Perang Karo” adalah sebutan yang harusnya lebih tepat untuk kejadian itu dan penyebutan Batak Oorlog hal yang membingungkan.
Perang Sunggal atau dalam catatan penjajah Belanda disebut “Batak Oorlog (Perang Batak)” adalah perang Rakyat Sunggal melawan klaim sepihak Sultan Deli atas tanah-tanah ulayat Karo untuk disewakan ke perkebunan-perkebunan asing. Dalam perang ini, Sunggal didukung oleh orang-orang Karo dari Pesisir (Karo Hilir) hingga Dataran Tinggi (Karo Gugung).
Batak Oorlog merupakan kampanye militer Belanda dalam menumpas pengacau (para bandit), bukannya rakyat setempat yang merasa tanahnya digarap orang lain tanpa konpensasi.
Jauh sebelumnya, di Pesisir Pantai Timur Sumatera bagian Utara hingga Bukit Barisan sudah terbangun persepsi di kalangan orang-orang Eropah bahwa 👉Melayu orang pesisir sedangkan Batak orang gunung. Melayu adalah Islam dan beradab, sedangkan Batak adalah paganisme dan belum beradab.
Demikianlah stigma yang dibangun oleh orang asing dalam memisah masyarakat. Ini terus tumbuh dan berkembang dalam alam pikir masyarakat luas, bahkan di kalangan akademisi sampai sekarang.
Sedangkan Karo (saat itu) sudah ada yang Islam dan ada yang masih berpegang pada kepercayaan leluhur (Pemena). Baru di tahun 1890 misionaris yang diutus Nederlandsch Zendeeling Genootschap (NZG), sebuah lembaga pekabaran injil Belanda (Pdt. H.C. Kruyt) menginjakkan kakinya di Buluhawar (Karo Jahé) untuk mengkristenkan Suku Karo. Peristiwa 1890 ini kemudian dikenang sebagai peristiwa awal sampainya injil ke Suku Karo.
Orang Karo ada juga yang di gunung-gunung (Karo Gugung) dan di pesisir (Karo Jahé). Secara politis, kepentingan dan etnografi kala itu, Karo terjepit antara Melayu dan Batak! Maka sering dianalogikan: Karo (bedar: rusa gunung) terjepit antara Melayu (buaya di rawa) dan Batak (harimau di gunung).
Kembali saya katakan, “Batak Oorlog merupakan kampanye militer Belanda dalam menumpas pemberontak, perompak, dan gerombolan biadab yang suka bikin onar dan membakar bangsal-bangsal perusahaan Eropa di Sumatera Timur (Ooskust van Sumatra)”.
Itulah pilihan Belanda dan Kesultanan Deli, tentu untuk mendapat dukungan dari Parlemen, Gubernur Jendral, juga pihak Siak dan masyarakat internasional, karena Sumatera Timur saat itu sudah menjadi tujuan dan asal produk untuk perdagangan internasional.
Bagaimana jika pihak Sultan Deli dan Belanda katakan itu sebagai “Perang Sunggal” atau “Perang Karo”saja saat itu?
Saya ragu kalau orang Melayu (tentara Deli) dan Siak mau turut dalam perang ini untuk melawan saudaranya Karo dan Melayu di Sunggal yang juga mendapat dukungan dari Urung Senembah. Mereka (rakyat Deli dan Siak) tahu kalau Sunggal adalah kalimbubu dan ulun jandi dari Kesultanan Deli.
Suku Karo adalah pemilik ulayat di Pesisir Timur Sumatera bagian Utara. Demikian juga Parlemen dan mungkin Gubernur Jendral di Batavia, tentu akan ragu-ragu mengucurkan dana, mengirim pasukan dan medali bagi kesuksesan perang ini.
Dalam diskusi saya dengan seorang antropolog Karo (Juara R. Ginting) yang sekarang bermukim di Leiden (Belanda) via telepon, dia meragukan Parlemen dan Urusan Tanah Jajahan dalam menyetujui dan mengucurkan dana yang sangat besar dan bala bantuan dari Batavia (hingga 3 gelombang) untuk membantu perang ini jika disebut cakupannya hanya melawan Rakyat Sunggal (Karo).
Maka dengan liciknya Belanda dan Deli kemudian meminjam nama ‘Batak” yang dalam pengertian dan definisi saat itu adalah suku-suku yang tinggal di gunung-gunung, perompak, penunggang kuda, belum beragama dan definisi negatif lainnya. Sehingga muncul pertanyaan, “kenapa perompak dari gunung yang bikin onar ke Sumatera Timur tidak diberangus?!”
Tepatlah pilihan Belanda dan Deli mengkampayekan Batak Oorlog (Perang Batak) agar seakan-akan cakupan perang ini lebih luas, meliputi Sumatera Timur sebagai pusatnya, hingga ke wilayah Tapanuli (karena dalam administrasi Hindia Belanda, semua suku-suku di Pegunungan Bukit Barisan yang belum Islam disebut Batak) dan untuk alasan memberangus penjahat, bukan pejuang dan rakyat setempat untuk membebaskan tanahnya.
Pandangan masyarakat internasional juga akan berbeda. Tentu ini akan dikenang sebagai genoside yang dilakukan oleh Belanda dan Kesultanan Deli terhadap masyarakat Suku Karo, jika nama yang diusung dalam perang ini adalah “Perang Karo”.
Maka kata “Batak Oorlog (Perang Batak)” nama yang tepat saat itu bagi Belanda dan Deli. Karena stigma dan persepsi yang sudah terbangun saat itu kalau Batak itu paganisme dari pegunungan dan biadab. Jadi, Belanda dan Deli yang didukung Siak berperang untuk membasmi para pengacau, bukan rakyat/ masyarakat setempat.
Tetapi orang Karo yang merupakan pelaku utama dari perang ini di bawah pimpinan Raja Sunggal Datuk Badiuzzaman Surbakti dan Panglimanya Nabung Surbakti tidak pernah mengenal istilah Batak Oorlog (Perang Batak) hingga era keterbukaan informasi melalui buku-buku sejarah modern yang beredar.
Orang Karo menyebutnya sebagai Perang Tanduk Benua atau Perang Sunggal/ Serbanaman.
Mejuah-juah Indonesia!
Oleh: Bastanta Permana Sembiring
Sumber: kahekolu.com