Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

NANGKIH, Sistem Pernikahan Karo yang Terlupakan (2)

NANGKIH
Foto : Karo Fashion Culture CarnivalπŸ’•

Artikel Sebelumnya : 

**** 
Mari kita selesaikan secara "Jantan" di bagian 2

NANGKIH, SISTEM PERNIKAHAN KARO YANG 'TERLUPAKAN' (Part 2)
πŸ‘‡
Dengan NANGKIH, sepasang pencinta (lovers) sudah bisa melakukan hubungan suami istri dan seterusnya hidup bersama anak-anak mereka.

Syarat-syarat yang harus dilakukan untuk melakukan nangkih:

πŸ’’ 1. Si perempuan harus meletakkan sehelai daun sirih di atas beras yang akan dipergunakan oleh ibunya untuk memasak di pagi hari. Bila ibunya menemukan daun sirih ini, maka dia sudah tahu seorang putrinya melakukan nangkih. Terkadang orangtua sendiri yang menganjurkan putrinya untuk melakukan nangkih bila dianggap si laki-laki belum mampu mengadakan kerja erdemu bayu.

πŸ’’ 2. Sesaat kedua kekasih tiba di rumah bibina, serta memberitahukan ke bibi bahwa mereka mengadakan nangkih, maka anak beru senina pihak laki-laki berangkat ke rumah orangtua pihak perempuan dan menyatakan telah mengakui/ menjamin kedua kekasih mengadakan nangkih. Senang atau tidak senang, tidak ada alasan pihak perempuan menyerang pihak laki-laki kecuali dia tidak takut akan terjadinya perang antar kuta.

(Intermezzo , ini harus dibaca karena Kam malas baca Si Mandupa versi bahasa Karo )

DUAL ORGANIZATION

Taneh Karo adalah perpaduan dari 2 dunia. Dalam satu konteks, kita bisa memandang seluruh wilayah Karo (baik Karo Gugung maupun Karo Jahe) adalah wilayah hutan yang dikombinasikan dengan pertanian berpindah-pindah (slash and burn cultivation) dan peternakan/ pengembalaan (perjalangen). Di satu konteks lainnya, di seluruh wilayah Karo, pemukiman penduduk ditata mengikuti sebuah sistim pasar (market/ perdagangan).

Sebuah kuta didirikan di atas sebuah barung-barung tanpa melenyapkan barung-barung tersebut.

πŸ’’  Barung-barung adalah milik sebuah sembuyak (dari salah satu merga), sedangkan 
πŸ’’ Kuta adalah milik 4 sembuyak (sembuyak, anak beru, kalimbubu, dan senina).

Jadi, sebuah kuta didirikan di atas tanah sebuah Urung (sehingga menjadi bagian dari sebuah urung tertentu), tapi setiap kuta pasti merupakan sebuah ikatan dari 4 urung berbeda: 
1. Urung setempat, 
2. Anak beruna, 
3. Seninana, 
4. Kalimbubuna.

πŸ‘‰ Urusan-urusan tanah adalah bagian dari urusan Urung, sedangkan 
πŸ‘‰ Urusan-urusan kemasyrakatan adalah bagian dari kuta, terlepas dari urung. 

Urung adalah satu sembuyak diapit oleh anak beru dan seninanya (3 komponen tanpa kalimbubu), sedangkan kuta terdiri dari 4 urung. Anak beru dan senina urung tidak sama dengan anak beru dan senina yang menjadi komponen kuta.

Inilah yang dimaksud dengan dual organization. Organisasi Urung dengan Organisasi Kuta.

πŸ’‘ Perkawinan NANGKIH adalah πŸ‘‰ bahwa perempuan yang masuk ke wilayah urung (wilayah lelaki), sedangkan...
πŸ’‘ Perkawinan ERDEMU BAYU adalah πŸ‘‰ pria yang masuk ke wilayah kuta (wilayah perempuan).
 
Kedua organisasi ini tidak saling lihat. Laki-laki dengan laki-laki bisa berhubungan satu sama lain sebagai berada di wilayah urung, dan perempuan dengan perempuan bisa berhubungan satu sama lain sebagai berada di wilayah kuta

Tapi, beberapa hubungan antara laki-laki dengan perempuan harus menjaga diri bertindak seolah-olah mereka tidak saling lihat atau saling dengar. Ini terutama antara pria dengan menantu perempuan dan perempuan dengan menantu laki-laki yang bukan perkawinan impal. Demikian juga dengan yang erturangku.

Pusat dari Taneh Karo sebagai wilayah hutan adalah Ajinembah (Sipitu Kuta). Buktinya, semua daerah di Karo kalau melaksanakan ritual merdang di ladang mereka harus mengarahkan sirih persembahannya ke Deleng Sibuaten, kecuali di Karo Jahe yang diarahkan ke hutan terdekat. 

Deleng Sibuaten adalah tempat tinggal putri Sibayak Ajinembah, Beru Buaten.

Adapun Taneh Karo sebagai sebuah wilayah perdagangan, terhimpun dalam kesatuan Sibayak Raja Berempat (Barusjahe, Lingga, Suka dan Sarinembah). Pemeran utama dari sistim ini adalah Sibayak Barus Jahe dengan anak beruna Tarigan dari Dolok Silau.

Salah satu episode dari Rumah Sipitu Ruang menegaskan adanya CONTINUITY dan DISCONTINUITY antara kedua sistim ini (sistim pertanian berpindah-pindah yang subsisten dengan sistim pasar yang mengutamakan surplus). Bolehlah dikatakan kombinasi antara ekonomi bertahan hidup (survival) dengan ekonomi kapitalisme.

πŸ‘‰ Wilayah urung idiologinya adalah egalitarian, sedangkan 
πŸ‘‰ Wilayah kuta idiologinya adalah kapitalistik yang mementingkan surplus/ kapital. 

Tidak mengherankan bila orang-orang Karo terbiasa dengan kedua sistim ini, termasuk di dalam perpolitikan (bisa sangat kiri dan tiba-tiba sangat kanan).😁

Apa yang menghubungkan kedua sistim ini? Itulah jasa Sibayak Barus Jahe terhadap Sibayak Ajinembah. Inagurasi Rumah Si 7 Ruang & Ritual Putar ( Tepung Tawar)
Metalanguage yang mengisahkan tentang Rumah Sipitu Ruang bukanlah sejarah Ginting Munte dan Sejarah Karo-karo Barus, tapi penguraian Karo ways of life.
 
Ada continuity dan discontinuity antara kedua sistim yang dihubungkan oleh Ritual Putar.
Rumah adat Karo
2 kali di "bengket" ( memasuki, gunting pita gitulah)
 
Yang pertama tepat setelah selesai kerangka dan "ngampeken tekang" [ cara membacanya seperti membaca kata 'tekan' ]. Atap dan Dinding belum ada. Semantara dipakai untuk tarum dan nderpih ialah Daun Enau (Aren)/ bulung pola. Disitulah Virilocal House ( rumah Urung) di-bengket.. Ketika acara Ngarkari Ngampeiken Tekang tersebut orang di dalam Rumah tersebut tidak boleh menyahuti sapaan apapun dari Luar bangunan, Sebab mereka sedang di lokasi Barung-Barung, sedangkan di luar konstruksi rumah tersebut adalah Kuta (Rumah Kuta). Setelah ditarumi ( diatap dan dipasang dinding) barulah "KUTA" itu 'terlihat'. Kuta adalah Wilayah Uxorilocal ( Domain Perempuan) .. 

Rebu adalah mempertahankan DUAL ORGANIZATION ini...
 
[ Senembas ia mirip Batak (virilocal/ patrilineal), senembas ka ia mirip Minang (uxorilocal/ matrilineal). ]

Semisal mitos kalak Karo-karo Purba rehna i Taneh Purba (Tarigan) nari adalah dengan cara MENYEBERANGI the dual organization melalui Persilihi. Itulah hakekat PERSILIHI (ingat kata silih dan erturang yang juga rebu).

Purba yang Tarigan Menyeberang melaui garis ibu / Matrilineal menjadi Karo-Karo. Ini Logis secara Mitologis. Sungguh menarik, bukan, bahwa hanya Siraja Sori (Seragih) yang orang Karo mengawini perempuan dari luar Karo (sehingga menjadi raja di Simalungun).πŸ‘‡πŸ‘‡πŸ‘‡

+1. Selebihnya, semua raja-raja sekeliling mengawini perempuan dari Karo sehingga Karo posisinya sebagai POROS DUNIA
 
1. Nang Baluan kawin dengan Gocah Pahlawan (Sultan Deli)
2. Putri Hijau dengan Kerajaan Haru,
3. Beru Buaten dengan Raja Umang,
4. Beru Ginting Pase dengan Raja Pasai

Ini adalah sistem ( 4 of 5th fold structure )

Anak Beru TuaπŸ’•
πŸ‘‰ ADA 2 HUBUNGAN ANAKBERU--KALIMBUBU
πŸ’• 1. Konteks Urung
πŸ’• 2. Konteks Kuta
 
1) Konteks Urung
 
Nangkih adalah perkawinan dalam Konteks Urung dengan mana si istri adalah orang luar yang mendatangi urung dari suaminya. Warga urung adalah putra dan putri dari sebuah keluarga atau anak dilaki ras anak diberu.

Hubungan antara anak dilaki ras anak diberu itu adalah Kalimbubu dengan Anak Beru. Di konteks ini, hubungan anakberu--kalimbubu adalah hubungan persaudaraan (siblingship) bukan marriage alliance.

2) Konteks Kuta
 
Erdemu Bayu adalah perkawinan dalam konteks Kuta. Pengantin pria adalah seorang raja yang datang dari luar kuta (stranger king) dan kuta adalah wilayah perempuan. Makanya mas kawin diberikan oleh the stranger king kepada 4 perempuan utama:

πŸ‘‰ 1. Batang Unjuken 
(Nande sitersereh) 
SEMBUYAK

πŸ‘‰ 2. Bere-bere 
(Mami Sitersereh) 
KALIMBUBU

πŸ‘‰ 3. Sirembah Kulau 
(Turang bapa sitersereh) 
ANAK BERU

πŸ‘‰ 4. Perbibin 
(Senina nande sitersereh) 
SENINA

πŸ‘‰ 5. Perkempun 
(Nande nande sitersereh)
 
πŸ‘‰ 6. Perninin 
(Nande bapa sitersereh)

πŸ’’ 1 - 4 singiani 4 jabu suki rumah adat. 
πŸ’’ 1 - 6 singaloken kampil kehamaten.

Sekarang saya bawa ke kasus posisi antara Sultan Deli dengan Masyarakat Karo. Ada 2 hubungannya.

πŸ‘‰ 1. Di dalam hubungan perkawinan dimana Sultan Deli adalah orang luar (stranger king) yang memasuki wilayah perempuan yang ditandai oleh Raja Berempat (Senembah, Sukapiring, Sepuludua Kuta, Serbenaman)

πŸ‘‰ 1. Di dalam hubungan turang dimana Sunggal adalah Ulun Jandi dan Sultan Deli adalah bebere.

Sebagai orang luar, Sultan Deli tidak bisa memasuki wilayah Karo, tapi sebagai bebere dia bisa masuk.
 
Anak Beru Tua adalah gabungan dari keduanya, yaitu orang luar dan sekaligus bebere ketat (anak beru cekuh baka). Kontras antara dirinya sebagai orang luar tapi juga adalah orang dalam membuatnya dianggap sebagai Umang (terbalik tapak-tapak nahena).

Orang Karo hidup di dalam 2 (dua) dunia dengan sistim sosial yang berbeda satu sama lain dari yang 2 ini.
 
Dalam ERDEMU BAYU maka terjadi sebuah pergerakan seorang LAKI-LAKI ASING dari luar KUTA memasuki kuta untuk diintegrasikan menjadi ANAK KUTA lewat sebuah RUMAH. Perhatikan siapa saja yang menerima TUKUR dari erdemu bayu (DASAR):

*1. Batang Unjuken 
(ibu si perempuan) 
πŸ‘‰ sebut saja M (Mother)
 
*2. Singalo bere-bere 
(mami si perempuan) 
πŸ‘‰ sebut saja MBW (Mother's Brother's Wife)
 
*3. Sirembah Kulau 
(bibi turang bapa si perempuan) 
πŸ‘‰ sebut saja FZ (Father's Sister)

*4. Singalo perbibin 
(bibi senina nande si perempuan) 
πŸ‘‰ sebut saja MZ (Mother's Sister)

Catatan:
*1= Indung Sukut Sembuyak Sinereh
*2= Indung Kalimbubu Sinereh
*3= Indung Anak Beru Sinereh
*4= Indung Senina Sinereh

Kesimpulan: 
Singalo tukur yang empat itu adalah sangkep nggeluh sinereh atau disebut juga batang daging dari jabu pengantin.

*5. Singalo Perkempun 
(ibu dari ibu si perempuan) 
πŸ‘‰ sebut saja MM (Mother's Mother)

*6. Singalo Perninin 
(ibu dari ayah si perempuan) 
πŸ‘‰ sebut saja FM (Father's Mother).

Catatan:
7. Singalo Ulu Emas 
(turang dari ibu si pria) 
πŸ‘‰ sebut saja MB (Mother's Brother).

Ini yang saya tampilkan adalah bentuk dasar. Di Karo Jahe masih ada lagi Perbapatuan dan Perbapangudan, Perseninan dan lain-lain. Tapi semuanya dapat ditarik ke bentuk dasar itu.

Mari kita kaji secara perlahan. 
Nomor 1 - 6 adalah semuanya dari pihak perempuan dan keenamnya perempuan, sedangkan nomor 7 adalah dari pihak laki-laki dan dia sendiri adalah laki-laki.

Hubungan pengantin dengan nomor 1 - 4 adalah hubungan antara mereka dengan sebuah Rumah Si Empat Jabu yang masing-masing "dikuasai" oleh seorang perempuan. Rumah ini adalah rumah perempuan. 

Erdemu Bayu adalah mengintegrasikan jabu dari pengantin ke kuta perempuan melalui sebuah rumah adat yang kalau di Taneh Pinem disebut juga perkawinan Arah Rumah.

Erdemu Bayu adalah UXORILOCAL (tinggal bersama lokalitas perempuan).

Mari kita periksa nomor 7. Hubungan terpenting adalah antara ibu dari pengantin laki-laki dengan turangna (mama pengantin laki-laki). Maka kita dapat hubungan antara ANAK DILAKI dengan ANAK DIBERU dari sebuah keluarga yang berasal dari SADA MBUYAK. Dalam hubungan ini, semua ANAK (terserah dilaki atau diberu) adalah SEMBUYAK, tapi satu diantara perempuan yang sedang erkerja dianggap sebagai BERU (tunas/ kecambah) yang membawa pertumbuhan baru untuk SEMBUYAK.

Organisasi sosial yang terbatas pada hubungan antara SEMBUYAK dengan ANAK BERU hanya kita dapati di BARUNG-BARUNG, bukan di KUTA yang mewajibkan kehadiran dari keempat SANGKEP NGGELUH.

Lewat NANGKIH maka perempuan diintegrasikan ke dalam BARUNG pihak si laki-laki. Maka pekawinan NANGKIH adalah VIRILOCAL (tinggal di tempat laki-laki).

Pertanyaan, mengapa setelah erdemu bayu kedua pengantin ke tempat orangtua si laki-laki dan di sana diadakan acara AMAK DABUHEN 
πŸ‘‰πŸ‘‰ Pergerakan ini bukan mengeluarkan kedua pengantin dari KUTA si perempuan karena barung silaki-laki sudah dianggap berada di DALAM wilayah KUTA siperempuan. Itulah dia fungsi dari pelunasan ULU EMAS. Pihak pengantin perempuanlah yang keberatan bila tidak dilunasi ULU EMAS karena itu artinya, barung-barung pihak si laki-laki belum menjadi bagian dari KUTA pihak perempuan.

πŸ’• NANGKIH adalah perjabun VIRILOCAL dan 
πŸ’• ERDEMU BAYU adalah DOUBLE LOCALITY : uxorilocal + virilocal.

Hubungan dasar di Barung adalah TURANG, makanya nangkih si perempuan di bawa ke rumah bibi turang bapa.

Oleh karena itu, Karo mengenal 2 (dua) jenis tradisi
πŸ‘‰ TRADISI BARUNG dan 
πŸ‘‰ TRADISI RUMAH. 

Di masa pre kolonial ada 2 (dua) pengulu
πŸ‘€ Pengulu Silebe merdang (pengulu barung) dan 
πŸ‘€ Pengulu Kuta

Belanda hanya menetapkan Pengulu Kuta dan mengabaikan Pengulu Silebe Merdang yang mengurus pertanian dan Buah uta-uta Kuta (Keramat kuta). [[[ akhir dari Intermezzo, semoga tidak kapok ]]]
Kita lanjut, πŸ‘‡
Dari sebuah survei yang dilakukan Mpu Gondrong (Peneliti Lapangan Senior) di tahun 1989, ternyata lebih 80% pasangan suami istri yang "kawin" di tahun 1930 - 1960 hanya melalui NANGKIH.

Di tahun 1970an - 1980an banyak yang NDUNGI KERJANA/ ADATNA melalui sebuah ritual yang berjudul NGELEGI PEREMBAH MAN KALIMBUBU. Belakangan, ritual-ritual seperti ini semakin menyusut dan sekarang sudah mulai langka sekali. 

Ngelegi perembah/ bayang-bayang memang masih banyak dilakukan, tapi bukan lagi sebagai alasan untuk NDUNGI UTANG PERJABUN.

Artinya, terjadi peningkatan jumlah perkawinan yang langsung DUNGI ADATNA alias LUNAS atau TUNTAS yang di dalam surat undangan biasanya disebut ERDEMU BAYU. Mengapa kecenderungan ini terjadi? Dulu tidak dianggap penting sekali ndungi adat perkawinan.

Setelah saya amati secara cermat, memang lebih menguntungkan tidak usah dibayar lunas dulu utang perjabun. Itu bisa dilunasi nanti saat anak pertama kawin atau mengket rumah atau saat kematian dan bahkan ada yang dilunasi melalui NGAMPEKEN TULAN-TULAN. Jadi, menghemat biaya kerja. Ini sama dengan punya kartu kredit atau ATM yang kam bisa pakai terus menerus walaupun khas kosong alias ngutang ke bank.

Maka, saya menarik kesimpulan bahwa NDUNGI UTANG PERJABUN itu lebih banyak desakan agama daripada desakan adat. Dalam pandangan modern serta agama-agama dari luar, NANGKIH belum sepenuhnya sah. Apalagi di dalam Kristen, belum IPASU-PASI di gereja dianggap belum direstui Dibata, sedangkan untuk pasu-pasu itu rasanya janggal kalau bukan sekalian NDUNGI ADATNA.

Mungkin sidang pembaca melihat lain penyebabnya, tapi untuk sementara saya berpikiran begitu.
Mengapa orang-orang dulu merasa tidak sangat terdesak untuk melakukan perkawinan erdemu bayu?
πŸ‘‰ Setelah kelahiran anak pertama yang disebut Ngelegi Perembah atau Ngelegi Iket/ Bayang-bayang adalah kesempatan pertama Nggalari Utang Perjabun. Kesempatan berikutnya adalah ketika anak kawin, ketika mengket rumah, Mere Ciken, dan saat Nurun-nurun (kematian).

Bangunan rumah adat Karo terdiri dari karang dan tarum. Karang adalah rangka dasar rumah yang penyelesaiannya pada saat Ngampeken Tekang (beserta ritual Ngarkari Ngampeken Tekang). Tarum meliputi semua atap, dinding, dan lantai bagian atas (papan). 

Rumah adat Karo punya dua lantai
πŸ‘‰Lantai bagian bawah (Teruh Papan) dipakai sebagai tempat duduk saat ritual Ngampeken Tekang
πŸ‘‰Lantai bagian atas adalah yang dipakai kemudian sebagai lantai rumah. 

Ngumban dilakukan dengan mengganti semua bagian tarum (atap, dinding dan lantai bagian atas) dan menggunakan kembali bagian karang. Karang adalah men's house (barung) yang fungsinya bisa digantikan oleh jambur (Karo Gugung) atau surambi (Karo Jahe), sedangkan tarum adalah women's house. 

Kalau istri tidak di rumah, seorang suami dilarang tidur di rumah adat. Suami harus tidur ke jambur/ surambi. Itulah pengertian ngumban. Si ngumban adalah pengganti (successor) dari seorang ibu agar seorang pria lit dalenna ku rumah (medem). Erdemu bayu is to evaluate the marriage as a cross-cousin (impal) one. La pe arah erdemu bayu banci nge kam erjabu (nangkih), tapi nilai perjabunndu tibar karang ngenca, la seh ku tingkat rumah.😁

(Tammat)πŸ’•

FootNote:
The House adalah sepasang suami-istri yang menjadi nenek moyang dari banyak orang yang mendirikan rumah itu. Rumah = sepasang suami-istri.

Keempat jabu suki adalah jabu kundulen sembuyak (bena kayu), anak beru (ujung kayu), kalimbubu (lepar bena kayu) dan senina (lepar ujung kayu) DARI RUMAH. Sekali lagi, rumah = sepasang suami-istri.