Orang Karo kalah mental dibandingkan orang Simalungun
Foto oleh : architectureindevelopment.org |
Orang Karo kalah mental dan kalah nalar dibandingkan orang Simalungun "Apalah arti sebuah nama?"
Dalam novel Romeo and Juliet karya pujangga Inggris William Shakespeare, tercetuslah sebaris kata-kata ikonik yang dikutip secara luas di seluruh dunia:
Dalam novel Romeo and Juliet karya pujangga Inggris William Shakespeare, tercetuslah sebaris kata-kata ikonik yang dikutip secara luas di seluruh dunia:
👉"What's in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet.
👉" (Apalah arti sebuah nama? Andaikata kamu memberikan nama lain untuk bunga mawar, ia tetap akan berbau wangi).
Memang, dalam novel itu konteks kata-kata tersebut adalah tentang rasa cinta Juliet terhadap Romeo yang menyandang nama keluarga Montague, sebuah keluarga yang memisahkan cintanya terhadap kekasihnya itu. Dia tetap mencintai Romeo walau ia menyandang merga Montague itu.
Akan tetapi dalam konteks nama GBKP, benarkah nama itu akan membuat harum suku Karo dan juga kemandirian identitas etnisnya? Karena masih banyak orang Karo yang tidak paham dengan sejarah gereja sukunya dan menerima kata "Batak" dalam nama GBKP sebagai sesuatu yang asli serta mutlak tidak bisa diubah tanpa menyadari bahwa perubahan nama Gereja Karo ke GBKP adalah hasil dari proses politik yang terjadi di Eropa dan di manajemen lembaga misi gereja yang ada saat itu.
Proses politik yang dimaksud adalah Perang Dunia II yang membuat Belanda berada di bawah kekuasaan Nazi Jerman. Hal itu berakibat terhadap pengambilalihan misi zending Belanda di Karo oleh lembaga misi Jerman RGM. Bahkan Ketua Moderamen GBKP pertama, Pdt. J. van Muylwijk, adalah orang RGM yang sebelumya bekerja di HKBP-S sekaligus juga Praeses pertamanya. Dan di sidang sinode pertama ini pula lah nama Karoshe Kerk atau Gereja Karo berubah menjadi GBKP, yaitu tahun 1941.
Jadi, kekalahan Belanda terhadap Jerman di Eropa tersebut telah membawa pengaruh terhadap manajemen gereja di wilayah Karo. Orang HKBP (RGM) mengambil alih pengelolaan Gereja Karo dan mengubah namanya menjadi GBKP. Semua itu adalah hasil dari proses politik dan orang Karo tidak menyadarinya hingga saat ini. Sehingga seakan-akan orang Karo tidak punya mental untuk mengubah nama GBKP karena mereka seolah-olah menganggap nama itu sebagai sesuatu yang sakral dan absolut. Padahal nama itu adalah hasil dari sebuah proses politik yang tentu saja tidak mengandung nilai kesakralan sama sekali.
Hal ini tentu sangat berbeda sekali dengan saudara kita suku Simalungun yang berani mempertanyakan keabsahan nama HKBP-S dengan nalarnya, dan dengan tegas dan berani mengubah nama yang mengandung huruf "B" itu dengan nama GKPS, yang sepenuhnya terbebas dari unsur huruf "B" yang merusak kemurnian identitas itu. Dan mereka sudah berani dan bernalar sejak 1 September 1963.
Pertanyaannya sekarang adalah, "Kapan orang Karo akan menjadi setegas dan seberani itu?" Semoga orang Karo tidak kekurangan nalar untuk menjawabnya.
Oleh : Luki Arios Sinulingga
Memang, dalam novel itu konteks kata-kata tersebut adalah tentang rasa cinta Juliet terhadap Romeo yang menyandang nama keluarga Montague, sebuah keluarga yang memisahkan cintanya terhadap kekasihnya itu. Dia tetap mencintai Romeo walau ia menyandang merga Montague itu.
Akan tetapi dalam konteks nama GBKP, benarkah nama itu akan membuat harum suku Karo dan juga kemandirian identitas etnisnya? Karena masih banyak orang Karo yang tidak paham dengan sejarah gereja sukunya dan menerima kata "Batak" dalam nama GBKP sebagai sesuatu yang asli serta mutlak tidak bisa diubah tanpa menyadari bahwa perubahan nama Gereja Karo ke GBKP adalah hasil dari proses politik yang terjadi di Eropa dan di manajemen lembaga misi gereja yang ada saat itu.
Proses politik yang dimaksud adalah Perang Dunia II yang membuat Belanda berada di bawah kekuasaan Nazi Jerman. Hal itu berakibat terhadap pengambilalihan misi zending Belanda di Karo oleh lembaga misi Jerman RGM. Bahkan Ketua Moderamen GBKP pertama, Pdt. J. van Muylwijk, adalah orang RGM yang sebelumya bekerja di HKBP-S sekaligus juga Praeses pertamanya. Dan di sidang sinode pertama ini pula lah nama Karoshe Kerk atau Gereja Karo berubah menjadi GBKP, yaitu tahun 1941.
Jadi, kekalahan Belanda terhadap Jerman di Eropa tersebut telah membawa pengaruh terhadap manajemen gereja di wilayah Karo. Orang HKBP (RGM) mengambil alih pengelolaan Gereja Karo dan mengubah namanya menjadi GBKP. Semua itu adalah hasil dari proses politik dan orang Karo tidak menyadarinya hingga saat ini. Sehingga seakan-akan orang Karo tidak punya mental untuk mengubah nama GBKP karena mereka seolah-olah menganggap nama itu sebagai sesuatu yang sakral dan absolut. Padahal nama itu adalah hasil dari sebuah proses politik yang tentu saja tidak mengandung nilai kesakralan sama sekali.
Hal ini tentu sangat berbeda sekali dengan saudara kita suku Simalungun yang berani mempertanyakan keabsahan nama HKBP-S dengan nalarnya, dan dengan tegas dan berani mengubah nama yang mengandung huruf "B" itu dengan nama GKPS, yang sepenuhnya terbebas dari unsur huruf "B" yang merusak kemurnian identitas itu. Dan mereka sudah berani dan bernalar sejak 1 September 1963.
Pertanyaannya sekarang adalah, "Kapan orang Karo akan menjadi setegas dan seberani itu?" Semoga orang Karo tidak kekurangan nalar untuk menjawabnya.
Oleh : Luki Arios Sinulingga