Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Sejarah "Batak Protestan" Sebuah Sumbangan

Sejarah GBKP
Foto : Chatrine Saybina Ginting Cs

Sejarah "Batak Protestan" Sebuah Sumbangan (bukan GBKP, bukan Batak karo)

MENDEKATI PELATARAN DEPAN๐Ÿ’•

Indonesia termasuk negara "lucu", dimana di depan toko dab ATM anda biasa dikutip retribusi Parkir. Hanya sedikit di bumi ini Negara yang Parkir di Pusat Kota dikutip Biaya Parkir. Demikian juga bahwa di Indonesia, Kristen dibagi jadi 2 Agama, yaitu Katolik dan Kristen ( lebih dikenal sebagai Protestan). 

Batak dan Protestan adalah buah dan permen yang berasal dari keranjang parsel yang sama. Setidak-tidaknya begitulah terhadap Gereja Karo yang BUKAN KATOLIK dan BUKAN PROTESTAN.
 
GBKP adalah satu-satunya organisasi Karo yang menggunakan nama Batak Karo. Selain itu yang ada HMKI, PMS, Museum Pusaka Karo, Karo United, dan lain-lain (Kam saja nambahiCa), inda adong Batak na, tahe.๐Ÿ˜

Ini pula yang 'ijeljelken ku kalah-kalahta' oleh PinPinBod, mereka sadar sesadar-sadarnya bila HKBP ngga ada Toba nya, kok dahsyat banget si PinPinBod tahu Kalau Batak (pada HKBP) itu sudah Pasti Batak Toba alias Tebba. Dengan bangganya (bang guribang guri bangga ) para PinPinBod mengaku: we also Batak. Niatnya biar setenar Tebba (di alam di luar sadar mereka yang sesungguhnya Tidak Sadar), berakhir menjadi proyek 'Jual Diri'

Kadrun itu si Bandito, jangan dengarkan dia , niNdu me. La Kin niidah Kam, gelar ngKu let " CHRIST " na jei.. Hoayamm...
 
PENGANTAR KEPUSTAKAAN๐Ÿ’•

Pegawai administrasi kolonial sering memang menulis Karo Batak, tapi herannya mengapa para missionaris dari NZG selalu menulis Karo Veld (Karo Field) dalam laporan-laporannya ke Kantor Pusat untuk menunjukkan wilayah kerja mereka? Mengapa bukan Karo Bataksch VeldBahkan gereja pertama yang mereka bangun di Buluh Awar mereka namai Karo Kerk (Gereja Karo).

Menurut saya, nama Gereja Karo Protestan adalah inisiatip orang-orang tertentu saja untuk ๐Ÿ‘‰ konsumsi Barat yang merasa sangat perlu mengetahui apakah itu gereja Protestan atau Katolik.
 
Tapi yang jelas, tidak ada kata Bataknya sebelum Gereja Karo itu dikelola (dicampuri secara terpaksa) oleh HKBP di Perang Dunia II. Ketua Moderamen GBKP yang pertama adalah sebelumnya adalah pendeta HKBP di Simalungun (INI FAKTA). Saya menampilkan FAKTA. Silahkan dikoreksi kalau saya menampilkan FAKTA yang salah.

Kam mungkin masih sempat mengalami bagaimana orang-orang Karo sendiri sering kali mengatakan: "Kalau memang Karo Bukan Batak, mengapa nenek moyang kita ratusan tahun lalu (atau lebih 100 tahun lalu) menamakan gereja kita GBKP?"

Suara-suara seperti itu sudah hampir tidak pernah terdengar lagi dari orang-orang Karo belakangan ini, tapi muncul dari orang-orang Batak yang menentang KBB ketika mereka sudah tersudut dalam adu argumen mengenai KBB. 

Bisa dipahami bagaimana suara-suara seperti itu bisa memancing emosi para penggerak KBB yang baru saja masuk ke kancah "pertempuran" ini dan merasa nama GBKP menjadi hambatan besar untuk Gerakan KBB sehingga mengusulkan perombakan nama GBKP. Ada baiknya kita belajar dari ๐Ÿ‘‰ keberhasilan kita meredam suara-suara seperti itu dari pihak Karo.

Suara-suara seperti itu sempat muncul dengan maraknya di Milis Tanah Karo (Yahoogroup!). Hingga suatu saat saya mengatakan bahwa nama GBKP baru muncul di Sidang Sinode pertama tahun 1941 di Sibolangit. Ucapan saya tidak didengar dan dianggap mengada-ada saja.

Mengapa ucapan saya dianggap mengada-ada? Lawan pertama GBKP adalah pentolan-pentolan GBKP atau berlagak sebagai pentolan GBKP dan sepertinya berhasil menciptakan image bahwa KBB adalah gerakan pembenci GBKP. Protest keras sebelumnya dari H. Djamaludin Tarigan menjadi bayang-bayang untuk mengatakan KBB adalah gerakan muslim merongrong GBKP. Protest keras Roberto Bangun sebelumnya dan dia sendiri akhirnya keluar dari GBKP menjadi bayang-bayang untuk menuduh KBB adalah gerakan sakit hati dari dalam GBKP.

Hingga suatu saat, seorang pertua GBKP yang juga merupakan seorang tokoh masyarakat Karo yang disegani di Jakarta mengatakan pengalamannya pernah berbicara dengan Ketua Moderamen GBKP (saat itu Pdt. A. Ginting Suka PhD). Menurut Ketua Moderamen itu, kata bapak ini, nama GBKP baru ada sejak tahun 1941. Itu dikatakannya di Milis Permata GBKP. Dia tidak ikut dalam pertempuran di Milis Tanah Karo. Mungkin saja kalau dia ada di Milis Tanah Karo dia tidak akan menyampaikan informasi itu untuk menjaga perasaan orang-orang yang sudah mencaci maki saya seolah-olah saya mengarang-ngarang sejarah GBKP. Untung saja bapak si tokoh masyarakat Karo di Jakarta itu tidak ada di Milis Tanah Karo dan saya ada di Milis Permata GBKP sebagai anggota pasif.

Setelah itu, saya mulai leluasa menguraikan sejarah GBKP yang intinya berawal dari nama Karo Kerk (Gereja Karo). Nama Gereja Karo tetap dipakai oleh sebuah gereja yang pada mulanya merupakan sebuah runggun di Kampung Karo (Siantar) dan sekarang berkembang menjadi 3 runggun.

Untuk informasi yang terakhir inipun banyak yang menuding saya ngarang-ngarang cerita sebelum ada beberapa orang yang mengatakan memang itu benar dan menceritakan lebih detail keadaan Gereja Karo itu sekarang hingga menjadi 3 runggun (sekarang ini).

Keleluasaan saya menceritakan Sejarah GBKP itulah yang banyak kam nikmati sekarang ini sehingga banyak orang tahu nama GBKP baru ada di tahun 1941, BUKAN SEJAK NENEK MOYANG kita dan bukan pula karena jemaat orang Karo yang membuat nama itu. Saya berani mengatakan bahwa itu awalnya informasi dari saya untuk Era Internet, walaupun desertasinya Pdt. A. Ginting Suka adalah mengenai Sejarah GBKP.

Pengenalan terhadap informasi itu
yang berhasil meredam suara-suara "kalau kita bukan Batak mengapa nenek moyang kita membuat nama gereja kita GBKP?"

Bayangkan perjuangan KBB (Karo Bukan Batak) adalah sebuah perjalanan dari Titik 0 ke Titik 10. Di Titik 2 kita terganjal oleh sebuah tembok yang bernama GBKP sehingga kita tidak bisa melangkah lebih lanjut lagi.

Sempat terjadi perdebatan sengit di tembok ini. Dari perdebatan ini muncul banyak pencerahan yang salah satunya adalah pengetahuan ke khalayak ramai bahwa GBKP baru berdiri pada tahun 1941. Sebelumnya hanya ada Karo Kerk (Gereja Karo); bukan Karo Protestant Kerk yang masih menurut versi GBKP.

Tapi, begitupun, bagi sebagian pejuang KBB, tidak ada gunanya meributkan tembok GBKP itu. Kita akhirnya mengambil jalan "nyamping" agar tidak berbenturan dengan tembok itu. Lalu, kita lanjutkan perjalanan hingga sudah berada di Titik 9.

Tapi sepanjang perjalanan sejak melewati tembok GBKP hingga ke Titik 9 ini tetap saja ada yang memanggil dengan mengatakan bahwa tembok GBKP itu adalah penghalang. Ada yang dengan nada sinis menantang keberhasilan KBB hanya didapat dengan mengubah nama GBKP.
 
Pokoknya ada macam-macam. Kita sudah tahu, sedetik saja kita menoleh dan membicarakan GBKP, langsung akan muncul makian haram jadah, laknat, perdosa, ingin menghancurkan GBKP, barisan sakit hati dan lain sebagainya.

Kalau tidak "diate pe", dipanggil-panggillah orang KBB dan seolah-olah mereka mendukung upaya pengubahan nama GBKP agar kata Batak hilang dari situ. Itu 'mau' mereka, bukan 'mau' kita KBB
Tapi, kita tetap konsisten pada janji kita dulu, perjanjian yang dilakukan atas akal sehat dan cerdas serta dipenuhi pengetahuan tentang sejarah, KITA TIDAK TERGODA dan terus melangkah.

Tembok GBKP itu tak perlu diruntuhkan. Lalui saja. Usur-usur sajalah menuju sasaran kita KARO BUKAN BATAK.

Saat itu, Perang Dunia II telah pecah. Jerman menguasai Belanda. Lalu NZG menyerahkan pengurusan Gereja Karo pada RMG (Missionaris Jerman) yang mengorganisir HKBP. Maka Ketua Klasis HKBP Simalungun memimpin Gereja Karo yang kemudian diganti namanya menjadi GBKP.

Ketua Klasis HKBP Simalungun ini yang orang Belanda tapi bekerja untuk RMG (missionaris Jerman) (HKBP) mengganti namanya menjadi HKBP bersama 2 pendeta pertama GBKP yang baru lulus dari STT Sipaholon.

Menurut pimpinan-pimpinan baru saat itu yang sangat didominasi orang-orang HKBP atau pendeta yang lulusan STT yang dimiliki HKBP, Karo itu adalah Batak.

Gundari kam ka kusungkun, engkai maka akapndu missionaris Belanda igelarina Gereja Karo, la Gereja Batak Karo? Untuk nomor 1, seh ja ietehndu kondisi jemaat ras pengurus baik secara kuantitatif maupun kualitatif?

Pemberian nama itu dilakukan secara TOP - DOWN bukan secara BOTTON - UP karena struktur gereja memang begitu saat itu dan semua jemaat menerimanya. Kam tau berapa orang masih jumlah jemaat? Sudah banyak kali saya tulis, jumlah jemaat GBKP membludak setelah G30S/PKI.

Menurut data Groothuis, seorang pendeta Jerman (RMG) yang dipekerjakan di GBKP pada tahun 1960an, hingga pada tahun 1967 hanya 11,5% orang Karo yang beragama (termasuk di dalamnya Protestan, Katolik dan Islam). Groothuis adalah pendeta RMG yang ditolak oleh HBKP dan akhirnya dipekerjakan di GBKP. Sejak dialah GBKP lebih banyak bekerjasasama dengan RMG, khususnya yang berpusat di Wupertal dan Lemgo (Jerman).

MENJAWAB KATAK DALAM SUMUR๐Ÿ’•

Camkan, bahwa GBKP itu BUKAN hasil penyebaran agama Kristen di Tanah Batak. Sebagian besar orang menganggap GBKP sama dengan GKPS yang berasal dari HKBP Marhata Simalungun dan GKPD yang bersumber dari HKBP Merkata Pakpak. Padahal tidak begitu jalan sejarahnya.

Pada awalnya HKBP itu didirikan di Pansur Na Pitu (Angkola) yang kemudian berkembang ke Tano Batak, Simalungun serta Pakpak dan Dairi. HKBP ini adalah hasil kerja RMG (organisasi missi dari Jerman).

Di pihak lain, NZG (organisasi missi dari Belanda) mulai mengembangkan kekristenan di Buluhawar (Karo Jahe) (1899). Tidak ada hubungannya sama sekali dengan RMG maupun HKBP.

Gereja yang didrikan di Buluhawar ini bernama Karo Kerk (Gereja Karo) (Harap jangan ditambah-tambahi Protestannya karena memang TIDAK ADA PENYEBUTAN PROTESTAN, takutnya nanti Kam salah tafsir lagi).

[GKP (Gereja-Karo-Protestan), GBK (Gereja-Batak-Karo), GKK (Gereja-Kristen-Karo) ๐Ÿ‘‰semua itu TIDAK PERNAH ADA, yang ada hanyalah GK (Karo Kerk)., resapkan di hati baik-baik, mohon JANGAN MENGELAK tentang nama aslinya: Gereja Karo ๐Ÿ‘‰ yang KAU SENGAJA LUPAKAN, mentang-mentang GBKP (yang BARU ADA tahun 1941) itu yang terdaftar di lembaran negara. Negara apa dulu? Nederlands Indie atau Hindia Belanda, ingat 4 tahun setelahnya barulah ada Republik Indonesia ]

Belakangan, memang ada kerjasama antara Karo Kerk dengan HKBP sehingga Pdt. Guilamme yang asal Jerman bekerja di Bukum dan kemudian membuka post penginjilan di Kabanjahe.
 
Perhatikan arsitektur gereja GBKP Kota yang bergaya Jerman (bukan Belanda). Kerjasama ini terkait dengan upaya M. Joustra membuat LSM bernama BATAK INSTITUUT yang sekaligus merekayasa masalah-masalah sosial ekonomi di sekitar perkebunan.

Hingga akhirnya di tahun 1941, setelah Perang Dunia II pecah dengan takluknya Belanda pada Jerman, maka Ketua Klasis HKBP Simalungun menjadi Ketua Moderamen GBKP yang pertama.

Itu hasil Sidang Sinode yang pertama di Sibolangit (23 Juli 1941). Saat itu, NZG tidak lagi mengurus Gereja Karo yang telah ganti nama menjadi GBKP. Secara tidak langsung, GBKP adalah bagian dari HKBP hingga kedatangan Belanda kembali pada tahun 1947.

Dikatakan GBKP adalah Calvinis sedangkan HKBP Lutheran, tapi sampai sekarang menjadi persoalan dan para pendeta GBKP agak enggan mempersoalkannya secara terbuka. (meski di belakang banyak yang ah..ih..oh , berbisik-bisik )
 
LAPISAN KERAK ARKEOLOGI YANG MENGENDAP๐Ÿ’•

Ingat, ada 2 perayaan/ peringatan penting di GBKP, yaitu:

๐Ÿ‘‰1. Jubelium Rehna Berita Si Meriah ku Kalak Karo
๐Ÿ‘‰2. Wari GBKP Njayo

Sekarang yang kita dengar hanya: Jubelieum GBKP. yang tanggalnya sama dengan Jubelium Rehna Berita Si Meriah ku Kalak Karo.

Dalam pada itu, di gerbang masuk areal retreat GBKP Sukamakmur (Sibolangit) tertulis Jubelium 100 Tahun Rehna Berita Simeriah ku Kalak Karo. Tulisan itu dibuat saat merayakannya dengan perhitungan awal masuknya Kekristenan di Karo pada tahun 1890, saat missionari pertama (H.C. Kruyt) tiba di Buluhawar, sebuah kampung tradisional Karo di Kabupaten Deliserdang.

Mengapa sekarang diubah menjadi Jubelium GBKP sehingga kita sekarang sedang menyongsong 126 tahun usia GBKP? Padahal, tanggal yang diperingati itu bukan lahirnya sebuah gereja, tapi tibanya sang missionaris di Buluhawar. Gereja yang didirikan oleh missionaris itu berdiri setahun kemudian di desa yang sama dengan nama Karo Kerk (Gereja Karo), bukan Gereja Batak Karo Protestan (GBKP yang BARU berdiri pada tahun 1941.

Kehati-hatian para pemimpin GBKP di masa lalu sepertinya kurang dicermati oleh para pemimpin GBKP masa kini. Coba saja renungkan mengapa tidak disebutkan "Rehna Berita Si Meriah ku Taneh Karo"? Menurut hemat saya adalah untuk menghindarkan perdebatan atas adanya beberapa pemakaian istilah Taneh Karo.

๐Ÿ’ข1. Di masa kolonial, istilah Karoland (Tanah Karo) digunakan hanya untuk wilayah administrasi pemerintahan yang untuk orang-orang Karo sendiri disebut Karo Gugung (Dataran Tinggi Karo). untuk pemakaian masa kolonial ini, Buluhawar tidak berada di Tanah Karo (melainkan di Tanah Deli) meskipun orang-orang Karo tetap memandangnya itu daerah Karo Jahe (Karo Hilir).

๐Ÿ’ข2. Setelah Kemerdekaan RI, ketika terbentuk Kabupaten Tanah Karo dengan bupatinya Rakoetta Sembiring Brahmana pada tahun 1950, maka daerah-daerah yang disebut Deli Hulu menjadi bagian dari Kewedanaan Karo Jahe dengan ibu kotanya Pancurbatu. Karena itu pula sampai sekarang lembaga-lembaga kepolisian dan militer masih bernama Tanah Karo (seperti Polres Tanah Karo) meskipun wilayah tugasnya adalah Kabupaten Karo (bukan Kabupaten Tanah Karo lagi).

๐Ÿ’ข3. Wilayah adminitrasi pemerintah yang bernama Kabupaten Tanah Karo itu sebenarnya belum mencakup Taneh Karo secara keseluruhan karena Langkat Hulu, yang menurut orang-orang Karo adalah juga bagian Karo Jahe saat itu masuk ke Daerah Istimewa Aceh bersama Tamiang. Makanya tidak aneh kalau dalam sebuah buku lagu-lagu nasional tertulis Piso Surit (lagu Karo) sebagai lagu asal Aceh.

Melihat banyaknya persepsi tentang Taneh Karo, sungguh bijaksana para pemimpin GBKP menyebut ketibaan missionaris pertama di kalangan oang-orang Karo, bukan di Taneh Karo.

Tapi, pertanyaan besarnya, mengapa hari lahirnya GBKP ditarik ke hari ketibaan missionaris pertama di kalangan Karo? Mengapa bukan ke hari berdirinya Karo Kerk (Gereja Karo)?

Di sini ada terbentur dengan soal Continuity and Discontinuity antara GBKP dengan Gereja Karo (Karo Kerk).
 
Menurut Rita S. Kipp, Gereja Karo adalah embrio kelahiran GBKP yang artinya ada Continuity antara keduanya. Tapi, motif berdirinya GBKP adalah atas saran Tuan Craemer agar gereja-gereja NZG diserahkan ke masyarakat lokal.

Nyatanya, Ketua Moderamen GBKP Pdt. Van Muylwijk adalah juga Ketua Gereja Karo sebelumnya.
Berarti, tidak benar berdirinya GBKP adalah mengikuti saran Craemer.

Baru setelah Pemerintah Pendudukan Jepang memaksanya pada tahun 1943 betul-betul Moderamen GBKP dipimpin hanya oleh pribumi Karo.

Sampai sejauh ini, masih misterius mengapa nama Gereja Karo ditinggalkan dan nama Gereja Batak Karo Protestan dimunculkan. Karo Kerk menjadi Gereja Batak Karo Protestan

Kemandirian GBKP mulai terpikir sejak tercetusnya sumpah pemuda 1928. DR Kreamer konsultan zending di Belanda mengamati sudah mulai banyak pemuda Karo yang berpendidikan umum dan agama tersebar di Medan, Siantar dan pulau Jawa. Menurutnya hal tsb harus dipersiapkan dengan matang karena mengamban tugas meneruskan gereja Karo (Karo Kerk) amat tidak-lah mudah.

Menyangkut tiga hal, theologi, daya dan dana, dimana selama ini disokong oleh zending. Saat itu belum ada orang Karo yang menjadi pendeta. Kemudian Hoofbestuur (moderamen) memilih dua orang guru agama untuk disekolahkan di seminari Sipoholon, mereka adalah Thomas Sibero dan Palem Sitepu yang kelak menjadi pendeta mula-mula bagi orang Karo.

Gejolak perang dunia II mulai berkecamuk yang melibatkan negeri Belanda dan resesi juga mendera, imbasnya zending mengalami kemerosotan. 1 Februari 1939 DR Kreamer datang ke Kabanjahe dan mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh Kristen Karo dan para zending. Bulan Mei 1940 Belanda diserang Jerman dalam masa perang dunia ke dua. Situasi makin genting.

Pada 1941 dua guru agama telah menyelesaikan pendidikan mereka. Kemudian dilakukan penahbisan di saat berlangsungnya Sidang Sinode pertama 23 Juli 1941 di Sibolangit.
 
Dalam sidang ini juga menetapkan beberapa hal, yakni al;

✓ Menyusun tata Gereja Batak Karo Protestan meski masih dalam bahasa Belanda.
✓ Menyusun dan menetapkan liturgi tata kebaktian dan liturgi tata layanan.
✓ Menahbiskan dua orang pendeta Karo mula-mula.
✓ Memilih moderamen yang pertama dengan susunan sbb:๐Ÿ‘‡

Ketua : Pdt J Van Muylwiyk di Kabanjahe
Ketua Klasis Karo Jahe: Pdt W.A Smith (di Sibolangit)
Wkl ketua Klasis Karo Jahe: Pdt Th. Sibero
Ketua Klasis Karo Gugung: Pdt H. Vuurmans (di Kabanjahe)
Wakil ketua Klasis Karo Gugung: Pdt. P. Sitepu di Tiganderket.

Momen ini menjadi tonggak sejarah karena secara perlahan peran rohaniawan kristen Karo semakin diberi ruang. Terlebih setelah pecah perang dunia ke dua, kemandirian itu mau tidak mau harus dilaksanakan. Sokongan dari zending menjadi seret, gaji misionaris tidak berjalan dengan baik. Bahkan masyarakat banyak yang mengungsi. Di pengungsian mereka masih tetap melakukan ibadah.
 
Maret 1942 Belanda menyerah dan Jepang berkuasa terhadap beberapa tenaga zending dan dokter serta pegawai rumah sakit di pulangkan ke negrinya, ada yang ditawan dan ada sebagian kecil masih diizinkan melayani seperti Neumann dan istri yang sampai akhir hayatnya menjadi pendeta di GBKP. Masa penjajahan Jepang warga Karo masih tetap beribadah meski dengan situasi yang memprihatinkan. 

Pendeta dan guru agama melayani tanpa di gaji, melainkan dengan pemberian bahan makanan atau kebutuhan lainnya oleh jemaat. GBKP benar-benar njayo..!

Terkait dengan kebingungan adik kita Uly Fristiany Purba mengapa ada gereja bernama GBKP (ada kata Batak Karo) sedangkan sebagian orang Karo mengatakan Karo Bukan Batak.

Saya berikan sedikit penjelasan mengenai pertanyaan itu saja dulu. Pertanyaan itu sangat ..... sangat logis bila kita tidak mengetahui bahwa nama GBKP baru ada pada tahun 1941.

Gereja di kalangan Karo sebelum ada GBKP adalah Karo Kerk yang bila diterjemahkan ke indonesia adalah Gereja Karo walaupun pihak GBKP sendiri lebih suka menterjemahkannya dengan Gereja Protestan Karo tanpa memperhitungkan bahwa TANPA atau PAKE kata Protestan perlu dipahami juga di dalam sejarah gereja secara umum.

Terbentuknya GBKP secara juridis tentu saja di tahun 1941 karena itulah yang diakui sebagai Sidang Sinode yang pertama. pun baru pada saat itulah, dibuat Tata Gereja.

Tapi, sepertinya terbentuknya GBKP di tahun 1941 belumlah berarti GBKP berdiri sendiri. Sepertinya ada desakan dari pihak penguasa Jepang sehingga di Tahun 1943, GBKP mendeklarasikan NJAYO dari NZG. Saya ingat dulu masih sering dirayakan hari GBKP Njayo tapi sekarang tak pernah lagi kedengaran.

Begitu juga dengan yang dulu biasa disebut Jubileum Rehna Berita simerih ku Kalak Karo (hari pertama ketibaan missionaris pertama di Buluhawar), kini disebut Jubileum GBKP. Seingat saya Jubiluem ke 100 di Sukamakmur masih disebut Jubeleum 100 tahun rehna berita simeriah.
Singkat di kata padat di pemahaman, orang-orang yang tidak mengetahui sejarah GBKP seperti ini menganggap kita-kita penggerak KBB sebagai KALAK MOTU, PETUA-TUAKEN, dan pembenci GBKP.

Benar sekali, lawan KBB adalah KETIDAKTAHUAN.

ULA LALAP REMEDIAL BAS UJIAN๐Ÿ˜

Tanggal 24 Desember 1899 berdirilah gereja yang PERTAMA di kalangan Karo di Buluh Awar. Gereja ini bernama KARO KERK yang terjemahan langsungnya ke dalam Bahasa Indonesia adalah GEREJA KARO. Pada tahun 1941, berdiri pula sebuah gereja bernama GEREJA BATAK KARO PROTESTANT (GBKP).
 
Karena semua jemaat Gereja Karo menjadi jemaat GBKP yang didirikan pada tahun 1941 itu, sebagian penulis sejarah seperti halnya Rita S. Kipp menyebut Gereja Karo sebagai zygot dari GBKP. Tapi peringatan hari ulang (jubelium) peristiwa-peristiwa ini tidak konsisten.

Kadang diberi nama Jubelium "rehna berita simeriah ku kalak Karo" dengan memperhitungkan hari pertama zending pertama (Pdt. H.C. Kruyt) tiba di Buluhawar (18 April 1890). Tapi, tanggal yang sama kadang diperingati pula sebagai jubelium atau HUT GBKP meskipun nama GBKP baru muncul pada tahun 1941.

Demikian juga dengan penulisan nama gereja yang jelas-jelas disebut Karo Kerk oleh orang-orang Belanda, di portal GBKP tidak disebutkan nama aslinya Karo Kerk tapi diterjemahkan dengan Gereja Kristen Karo. Ada juga yang menterjemahkannya dengan nama Gereja Karo Protestan. Yang paling parah diterjemahkan Gereja Batak Karo. Sebegitu berat incumNdu itu mengatakan Gereja Karo (GK) ?
 
Hal-hal seperti ini menimbulkan kesimpangsiuran pemahaman di tengah-tengah masyarakat. Sebenarnya tidak masalah kalau GBKP merayakan ulang tahunnya dengan menjadikan tanggal 18 April 1890 (kedatangan Kruyt di Buluhawar) sebagai kelahirannya, tapi dengan penjelasan mengapa dibuat begitu. Tidak salah juga bila hari kelahiran itu 24 Desember 1899 (berdirinya Karo Kerk) tapi dengan penjelasan juga.

Demikian juga dengan pengubahan tanpa alasan dari penyebutan peringatan "kerehen berita simeriah ku kalak Karo" menjadi HUT GBKP.

Apakah penterjemahan Karo Kerk ke Gereja Kristen Karo atau Gereja Protestan Karo sudah melalui prosedur konstitusional mewakili secara demokratis seluruh jemaat GBKP (atau setidaknya Moderamen GBKP) atau hanya sekedar tergantung siapa yang menulis dan dianggap benar saja oleh individu-individu penentu di dalam gereja itu?

Ini semua tidak jelas. Bila kita mempersoalkannya, biasanya kita langsung mendapat serangan balik dengan tuduhan seolah kita adalah pembenci GBKP. Tapi di lain sisi, ketika kita mengatakan Karo Bukan Batak, kita langsung dicerca dengan perkataan: "Kalau Karo Bukan Batak, mengapa nenek moyang kita menamakan gereja itu GBKP yang usianya telah lebih 100 tahun?"

Kalau kita jelaskan nama GBKP baru ada di tahun 1941, sebelumnya bernama Karo Kerk, langsung pula kita diberi foto spanduk peringatan Jubelium GBKP yang kesekian dan memang lebih 100 tahun. Lagi-lagi kita dianggap tidak mengetahui sejarah GBKP.
 
Ada pula yang menyodorkan tulisan-tulisan para zending yang menyebut Karo Batak, seperti halnya judul buku yang ditulis oleh J.H. Neumann "Sejarah Batak Karo: Sebuah Sumbangan" untuk memperkuat bahwa sebelum 1941 itu para zending sudah menganggap Karo adalah [bagian] Batak.

Kekacauan seperti itu membuat kecil peluang melakukan analisis relax misalnya dengan mempertanyakan, kalau memang para zending (NZG) menganggap Karo adalah [bagian] Batak, mengapa mereka menyebut gereja yang pertama itu Karo Kerk dan bukannya Karo Bataksche Kerk?

Kekacauan itu semua bersumber pada 2 hal:

๐Ÿ‘Œ1. Para penentu kebijaksanaan di GBKP tidak pernah menganggap kejelasan dan transparansi Sejarah GBKP sebagai salah satu prioritas.

๐Ÿ‘Œ2. Meskipun GBKP secara formal adalah gereja suku, jemaat GBKP secara umum tidak mengkaitkan gereja ini dengan kesukuan mereka.
 
[kelompok muda-mudi nya Nasionalis sekali, namanya PerMaTA ( Persatuan Membela Tanah Air), bukan persadaon mudar Batak, tidak ada pengKADERan tentang haBATAKon di dalamnya ]

Kaitan GBKP dengan kesukuan (sebagai Karo ataupun Batak Karo) hanya menonjol di daerah urban, khususnya kota-kota besar. Di desa-desa, GBKP lebih cenderung ditempatkan sebagai persoalan ibadah/ ritual saja karena mereka masih punya lembaga-lembaga sosial lain dalam hal kebersamaan seperti halnya Sangkep Nggeluh, Serikat Tolong Menolong, Serayaan Kuta, dan Karang Taruna.

Rita S. Kipp banyak menulis bagaimana pada awal-awalnya Kekristenan menjadi simbol Hidup Maju (modern) yang dilihat oleh orang-orang Karo sebagai jalan "keluar" dari kehidupan Karo. Hidup sebagai orang Karo dianggap sebagai berada di dalam Kegelapan dan menjadi Kristen adalah jalan menuju Terang.

Tapi, setelah banyaknya jemaat yang meninggalkan gereja ini di akhir tahun 1960an, terutama akibat kebangkitan Gerakan Perodak-odak Rumah Berastagi dan Peceren, GBKP berubah secara radikal; dari anti tradisi Karo menjadi sahabat tradisi Karo. Ini terutama sekali sejak terpilihnya Pdt. A. Ginting Suka sebagai Ketua Moderamen melalui Sidang Sinode di Kabanjahe pada tahun 1969 (atau 1970?).
 
Lagi-lagi Rita S. Kipp banyak mendiskusikan strategi baru dari GBKP ini di dalam tulisannya. Di dalam sebuah artikelnya dia mendiskusikan bagaimana bisa GBKP memisahkan secara tegas antara ADAT (terutama hal kekerabatan) dan KINITEKEN (keyakinan religus). Saya mengerti, Kipp muda saat itu sebagai seorang pengikut Emile Durkheim, tidak bisa menerima bahwa soal-soal sosial terlepas dari soal-soal religus. Dia mempersoalkan konsep Dibata Ni Idah untuk kalimbubu.
"Pemisahan antara Dibata dengan Kalimbubu kan rasanya tidak mungkin?" Kipp pernah menanyakan ke saya secara pribadi di Medan.

Ada yang Kipp kurang pahami dalam persoalan ini karena dia hanya seorang peneliti dari luar. Saat tinggal di Payung fokusnya adalah kekerabatan dan ritual Karo. Baru belakangan dia memfokus Kekristenan Karo. 

Saya mengalami sendiri bagaimana pesoalannya di tengah-tengah masyarakat, satu keluarga yang baru beberapa hari dibaptis di GBKP memenuhi undangan Petampeken Jenujung dan ikut menari diiringi Gendang Ketteng-ketteng.

Ketika hal itu dilaporkan oleh jemaat-jemaat lainnya ke tingkat runggun (khususnya pendeta) ........ Kam sendiri pasti mengalaminya setelah saya ingatkan begini.
 
Kipp mengandalkan datanya dari wawancara dengan para pendeta GBKP dan pengurus moderamen sehingga kurang memahami apa sebenarnya yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dan sampai sekarang saya belum menemukan satupun tulisan yang mencoba menemukan ada atau tidaknya tradisi tertentu di dalam diri GBKP dan kalau ada yang bagaimana?

Misalnya saja, di tingkat kaum elite di dalam gereja ini kadang dipersoalkan apakah kita masih Calvinist (dari NZG) atau sudah Lutheran (dari RMG)? Apalagi para pendetanya adalah lulusan dari berbagai STT di Sumut maupun Jawa atau Tomohon (Sulut) dari berbagai aliran Protestan. Tapi, pertanyaan ini juga bukan prioritas kayaknya karena jawaban tegas dari GBKP sampai sekarang tidak ada.

Justru ketidaktegasan seperti inilah yang merupakan "kekuatan" GBKP yang membuatnya menjadi organisasi terbesar di kalangan Karo.

WASSALAM (PENUTUP)๐Ÿ’•
 
๐Ÿ‘งWartawati: Lord Bandito, Kadrun nya kurasa Kam, wassalam kidah bilangNdu? Ustadz Kam, kan? Adakah Kam dendam sama orang Batak? Gimana kalau Kam aja yang ganti nama GBKP?
 
๐Ÿ‘จSaya: pertanyaanNdu banyak, kayak Anggora Kongres CONTRA-KBB
Kalau kubikin Ve Syaloom Alecheim , nanti kalian tuduh aku pro-Israel. Dang Di Au Ustadz, sebagai Cowo Normal saya demennya Ustadzah aja (becanda).
 
Saya dilahirkan seorang ibu yang adalah Pendeta di GMI (Methodist), nantinya ibu saya membawa persekutuan yang dipimpinnya ke OIKUMENE, dan nanti pindah lagi ke GBI (Bethel).

Alasannya 1 doang, pernah ada Perkumpulan dari Eropa yang ingin menuangkan dana, kebetulan yang ditawari adalah Methodist (GMI), menurut mereka Bahasa Karo adalah bahasa yang paling "dalam dan mengena" dari terjemahan terhadap Bahasa Ibrani di Kitab Suci. Mereka minta izin ke GMI untuk mendirikan LABORATORIUM BAHASA KARO, dan meminta lokasi di Tigabinanga.
 
Tapi, datang pembesar-pembesar Methodist yang orang Batak, berkata: "bahasata ma baen, di Bona Pasogit ta ma baen". Karen Bishop juga Orang Batak, laboratorium itu ditolak.  Pulanglah Donatur nya.

Saya dendam bukan kepada Orang Batak, tapi sama Methodist, seandainya tidak ada Gereja Methodist, mungkin tawaran itu diberikan ke gereja lain, enggo min ndai pajek LABORATORIUM BAHASA KARO i Tigabinanga ah.

Sayang sekali, sumpah jabatan kami sebagai Missionaris adalah TIDAK CAMPUR TANGAN DENGAN LEMBAGA YANG SUDAH ADA. Kami hanya mendirikan Gereja di suku terabaikan yang belum punya agama.
 
Kalau saya temukan Suku Karo yang hilang di hutan Amazone Lily dan belum ada agamanya, mungkin akan saya dirikan KBB-Church atau KBBC di sana

Avatar Aang adalah seorang Peluncur, yang terbang dengan Tongkat Bersayap, namun penjaga kota Basingsei mengandalkan elemen tanah untuk mendirikan tembok. Aang tidak menghancurkan tembok, tapi menjadikannya lompatan untuk lebih tinggi melayang di luasnya angkasa. Masih tersisa Pengendali Udara, masih ada KBB, KBB adalah kita. Salam Mejuah-juah!

Disadur dari buku saku KBB: "Hidup KBB, Sorak Kemenangan", 2002
Oleh : Oleh : AndichristTheodicea KaynEchsed Ginting