Seperti Preman Karo Tahun 1970an di Medan
Banyak sekali yang mau saya bahas dari foto dua pemuda Karo ini. Tapi, kali ini saya hanya membahas satu hal saja, yaitu soal jarak antara waktu dijepret dengan pengalaman masa kecil saya dan tumbuh besar di Padangbulan, Medan.
Jelas sekali foto dijepret di Masa Kolonial meskipun tanda-tanda modernisasi dari gaya busana Eropah sudah terlihat (dikenakannya kemeja lengan panjang berwarna putih).
Bagi saya, cara mereka berbusana sudah sangat dipengaruhi oleh pikiran fashion dan photo model dari Barat. Tapi, itu kita bahas di lain waktu saja.
Sesuatu yang ingin saya bahas kali ini adalah cara jongkok pemuda sebelah kiri sambil menggenggam parang panjang beserta tatapan matanya. Saya menduga dia adalah pemuda Karo setempat. Bukan seperti lelaki di sebelahnya yang saya duga seorang photo model profesional.
Mengapa saya menduga begitu?
Saya masih sering melihat "preman" Karo di Medan awal 1970an dengan posisi persis seperti itu (bersama parang panjangnya, sarungnya, ikat kepalanya dan tatapan matanya).
Salah seorang diantaranya yang sempat menjadi idolaku di masa remaja adalah Nurdin Ginting. Persis sama gantengnya dengan lelaki yang jongkok itu.
Dia sering jongkok begitu di pelataran depan Bioskop HIRAKO (Padangbulan, Medan); bersama parang panjangnya, sarungnya dan rambutnya yang gondrong tanpa ikat kepala.
Kalau menyelipkan pisau tumbuk lada di pinggang, sampai sekarang masih biasa di kalangan Karo di Medan. Jangankan prianya, ibu-ibu yang berjualan sayur di pasar-pasar Kota Medan pun biasa membawa pisau di tasnya.
Tapi, membawa parang panjang di keramaian (sehingga semua orang melihatnya), sampai tahun 1970an masih sering saya lihat. Tapi, bukan itu yang membuat saya mengidolakan Nurdin Ginting.
Setiap Hari Minggu ada siaran lagu-lagu Karo dari RRI Nusantara I (sebelum menjadi RRI Nusantara III). Terbiasa di telinga saya pembawa acara mengantarkan acaranya dengan mengatakan:
"Mari kita dengarkan lagu-lagu Karo yang dibawakan oleh Nurdin Ginting dan kawan-kawan dari Pasar 1 Padangbulan, Medan."
Itulah yang membuat saya mengidolakannya (suaranya yang merdu dan bisa mendapat acara rutin di RRI) di samping namanya sangat terkenal sebagai preman yang ditakuti di Medan.
Hanya saja, lucunya .....
Suatu kali dia mengancam seorang pedagang Tionghoa yang memasok barang-barang ke sebuah grosir dekat rumah kami. Kebetulan ibu saya melintas di depan grosir itu dan melihat perbuatan Nurdin yang meminta uang ke pedagang Tionghoa itu.
Langsung ibu berteriak-teriak memarahinya.
"Di depanku pun kau berani-beranian merampok. Kurang ajar kal ko ya, Nurdin!" Kata ibu sambil menjewer kupingnya. Dan Nurdin pun minta-minta ampun sambil membungkuk pada ibu.
Soalnya, Nurdin adalah bekas murid ibu di SD Negeri 3 Gudang Mesiu (bersama bom, granat dan peluru) Batalyon Naga Karimata (Naga Kerajaan Haru) Kavaleri TNI.
Hingga suatu saat Nurdin dikabarkan melarikan diri dari Medan (ke Jakarta) setelah memecah kaca sebuah mobil mewah dan membawa lari uang satu tas dari dalamnya.
Kabar angin sampai di telinga saya kalau di hari tuanya Nurdin Ginting telah kembali ke Medan.
Foto ini mengingatkan saya padanya.💕
Oleh : Juara R. Ginting