Tidak ada BUKTI bahwa Subclan Keturunan dari Clan pada Merga-merga Karo
Foto : San's Production (YT) |
Sampai saat ini, pemahaman mengenai Masyarakat atau Suku Karo adalah sebagai sekumpulan orang-orang dan orang-orang ini terbagi ke dalam beberapa merga yang berbeda.
Merga ini dalam kepustakaan Bahasa Inggris ada yang disebut clan (Ginting, Karo-karo, Perangin-angin, Sembiring, Tarigan) dan ada pula subclan (Munte, Surbakti, Bangun, Sinulaki, Sibero, dan lain-lain). Ada pula yang disebut sub-subclan, lineage dan sublineage.
Sublineage dianggap sebagai keturunan patrilineal lineage, lineage keturunan patrilineal sub-subclan, sub-subclan keturunan patrilineal subclan, dan subclan keturunan patrilineal clan.
Persoalan muncul pada hubungan antara clan dengan subclan. Kita ambil saja contohnya clan Tarigan dengan subclan Silangit. Tidak ada satupun buktinya kalau Silangit adalah keturunan patrilineal Tarigan. Mitosnya pun tidak ada.
Artinya, kita lakukan pun penelitian dengan pendekatan "from within" (mengikuti dari dalam pandangan masyarakatnya sendiri) tidak ada disebut-sebut kalau Silangit adalah keturunan Tarigan.
Demikian juga Sibero, Bondong, Gersang, Tua, Gerneng, Tambak, dan lain-lain) tidak pernah menyatakan diri sebagai keturunan Tarigan.
Hal yang sama terjadi pada clan-clan yang lainnya seperti berbagai subclan Ginting (Munte, Suka, dan lain-lain), Karo-karo (Sinulingga, Barus, Purba, Sitepu, dan lain-lain), Perangin-angin (Sebayang, Pinem, Bangun, Kutabuluh, dan lain-lain), dan Sembiring (Brahmana, Pandia, Sinupayung, Maha, dan lain-lain).
Akan tetapi, toh berkembang di pemikiran orang-orang Karo sekarang bahwa semua merga yang menjadi bagian Ginting (Munte, Suka, dan lain-lain) adalah bersaudara. Demikian juga merga-merga yang tergabung ke dalam Karo-karo atau Perangin-angin, Sembiring dan Tarigan.
Bersaudara bagaimana?
Tak pelak adalah Masri Singarimbun di dalam desertasinya (1975) orang yang pertama kali mengidentifikasi perbedaan clan dengan subclan. Katanya, sesama anggota clan (katakanlah sesama Tarigan) berhubungan satu sama lain sebagai senina, sementara sesama anggota subclan (katakanlah sesama Tarigan Sibero) berhubungan satu sama lain sebagai sembuyak.
Saya tidak pernah ketemu satupun literatur yang menggaungkan pendapat Singarimbun ini meskipun desertasinya cukup banyak dibaca para ilmuwan sosial (luar negeri maupun dalam negeri). Saya kira masalahnya adalah karena Singarimbun di dalam desertasinya itu sendiri tidak konsisten terhadap pendapatnya itu.
Kalau memang berbeda Senina dengan Sembuyak, mengapa dia kembali merujuk ke P. Tamboen (1952) untuk mengatakan Karo menganut Rakut Sitelu: Sembuyak/ Senina, Anak Beru, Kalimbubu.
Dengan penulisan Sembuyak/ Senina terkesan dia sendiri tidak melihat perbedaan antara Sembuyak dan Senina.
Satu hal lagi, sulit bagi pembacanya memahami perbedaan seperti itu bila sesama subclan Munte, misalnya, bisa berhubungan Senina. Demikian juga sesama subclan Sitepu bisa berhubungan senina sebagaimana halnya Sitepu Ulunjandi dengan Sitepu Batu Nanggar padahal keduanya berasal di satu kampung yang sama (Berastepu).
Demikianlah Rita S Kipp di desertasinya (1976) mengkritik Singarimbun yang membedakan Sembuyak dengan Senina sejalan dengan perbedaan clan dengan subclan. Kata Kipp, di suatu pesta, sekelompok orang yang berhubungan sembuyak bisa saja berhubungan satu sama lain sebagai senina di pesta yang lain. Demikian pula sebaliknya, orang-orang yang berhubungan senina di sebuah pesta bisa berhubungan sembuyak di pesta yang lain.
Keduanya (Singarimbun dan Kipp) ada benarnya, tapi mereka tidak membuat tuntas penjabaran data yang mereka punya hingga kita melihatnya betul-betul sebagai fakta.
Sebagaimana halnya untuk Kipp, dua laki-laki bersaudara sekandung (ibu dan ayah mereka sama), bisa berhubungan sembuyak dan bisa juga berhubungan senina. Tapi, sembuyak dan senina itu sendiri tetaplah tidak sama.
Demikian juga halnya dengan Singarimbun. Dia hanya mengikuti kepustakaan sebelumnya tentang apa clan dan subclan sehinga dia dan para pembacanya melihat semua merga yang didaftar di bawah masing-masing dari kelima merga itu adalah subclan.
Orang-orang akan menjadi bingung mengapa sesama subclan Sitepu (Sitepu 4 Teran dengan Sitepu 6 Kuta) berhubungan senina sedangkan menurut Singarimbun di dalam desertasinya sesama subclan berhubungan sembuyak.
Kipp juga tidak menuntaskannya dengan melihat saudara sekandung berhubungan sembuyak bila berada bersama-sama keluarga kakek/ nenek dari ayah mereka, tapi mereka tidak lagi berhubungan sembuyak melainkan senina bila berada bersama-sama keluarga kakek/ nenek dari ibu mereka.
Bersama keluarga kakek nenek dari ayah, hubungan antara ayah dan saudara-saudara ayah menjadi acuan sehingga mereka berhubungan sembuyak. Sebaliknya di keluarga kakek/ nenek dari ibu, hubungan antara ibu dan saudari-saudarinya yang menjadi acuan sehingga mereka berhubungan senina.
Tentu sekarang sudah jelas bagi kita, dalam menuntaskan kritikan Kipp terhadap Singarimbun, dua orang laki-laki bisa berhubungan sembuyak dan senina satu sama lain, tapi sembuyak dan senina tidak sama.
Sembuyak adalah persaudaraan secara virilocal (di wilayah para pria), sedangkan senina persaudaraan secara uxorilocal (di wilayah para perempuan).
Di bagian berikut saya akan mengungkap perbedaan sembuyak dengan senina yang belum dituntaskan oleh Singarimbun dengan meredefinisi (urai ulang) yang dimaksudkannya dengan subclan adalah Urung.
Akan saya tegaskan kalau semua orang yang berasal dari satu urung yang sama berhubungan satu sama lain sebagai sembuyak.
Sementara orang-orang yang tidak berasal dari satu urung yang sama tidak akan pernah berhubungan satu sama lain sebagai sembuyak meskipun nama keluarga mereka sama.
Mereka bisa berhubungan senina (sepemeren, siparibanen, sepengalon, dan lain-lain) atau anak beru maupun kalimbubu. Tapi, asa metua doni tidak akan pernah berhubungan sembuyak satu sama lain.
Satu lagi yang perlu kita cermati, penelitian lapangan Masri Singarimbun adalah di Kuta Gamber dan Liren (Taneh Pinem) alias Karo Barat. Di Karo Barat, biasa orang-orang dari "clan" yang sama saling menyebut Mbuyak.
Namun, ketika ada acara runggu AnakBeru--Senina, di Karo Barat pun tidak akan menerima seorang sembuyak mewakili AnakBeru--Senina.
Dalam hal itu, Singarimbun kurang mencermati perbedaan penyebutan yang normatif (sok dekat kata orang Jaman Now) dengan keharusan struktural (tidak boleh merusak tatanan).
Oleh : Juara R. Ginting