Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Karo dan Gayo Terpecah Karena Berbeda Kerajaan



Pada suku Karo dan suku Gayo, Alas dan Kluet terdapat marga-marga (Nama keluarga) yang sama walaupun ada sedikit perbedaan logat. Dengan demikian komunitas Karo itu bukan berarti ikatan orang-orang yang bermarga serupa Karo.

Terigan, Melala, Bukit, Kekaro, Munte, Pinim, Linge, Cibro, Mencawan, Mehe, Pase, Sipayung, Keling atau Merga serupa Karo lainnya yang berada di Aceh bukan termasuk komunitas Karo tetapi Komunitas Aceh. Begitupula Tanjung di Minang bukanlah orang Karo walaupun ada Perangin-angin Tanjung.

Komunitas Karo baru ada setelah adanya Merga Silima dan yang masuk dalam komunitas ini adalah orang yang mengikatkan diri dalam Merga Silima walaupun semarga tetapi tidak mengikatkan diri dengan merga Silima bukan termasuk orang Karo.

Darisini terlihat besar kemungkinan bahwa yang dulunya merupakan rakyat dari KERAJAAN HARU menjadi suku Karo dan rakyat dari KERAJAAN SAMUDRA PASAI menjadi suku Gayo, Aceh Alas dan Aceh Kluet.  (Oleh : Fajar Bangun)

Asal Muasal Nama Suku Karo Menurut Versi Gayo

Dahulu kala, di awal Suku Gayo itu sudah mulai masuk agama Islam dan sebagian masyarakatnya memeluk agama Islam, Suku Gayo juga mengajak kerabatnya masuk Islam. Untuk dapat menjadi Islam, salah satu syaratnya wajib disunat. Biasanya, dalam prosesi acara sunat itu sudah pula dipersiapkan acara yang tentunya dengan adat dan budaya kekeluargaan.

Sudah pasti banyak pula ada undangan kepada kerabat yang dekat dan jauh untuk hadir dalam pesta sunat yang dilaksanakan sebagai bentuk syukuran pada saat hari yang telah ditentukan. Namun orang-orang yang akan disunat tersebut malah pergi berlari dan menghindar karena takut disunat. Mereka berlari dan menghindar ke tengah hutan yang begitu lebat, padahal semua acara sudah dipersiapkan.

Maka daripada malu kepada khalayak rame atau guru – guru yang sudah hadir, akhirnya mereka mencari orang – orang yang kabur tadi secara beramai ramai ke hutan. Mencari secara beramai -ramai ini dalam bahasa Gayo disebut Karau. Tapi, apa yang terjadi? ketika mereka semakin dipanggil mereka semakin pergi jauh hingga tidak mau pulang lagi.

Kepada mereka yang dikejar atau yang dicari secara beramai-ramai itu, orang Gayo menyebut keturunan mereka dengan sebutan Karau. Maksudnya adalah keturunan orang – orang yang pernah dicari beramai-ramai pada jaman dahulu. Itulah asal mula penamaan suku Karo.

Memang sampai saat kerajaan terakhir di wilayah Aru/ Haru atau Harau /Karau, raja-raja kerajaan tersebut bukanlah suku Melayu. Bahkan setelah runtuhnya kerajaan Aru dan berdirinya kerajaan-kerajaan baru di bekas wilayah Aru, yang dikenal sebagai Urung dan Sibayak, raja – rajanya adalah orang – orang Karau (Karo).

Karo memiliki kedekatan bahasa, adat budaya dengan suku Gayo, Alas, Singkil, dan Pakpak, karena suku-suku ini dapat dikatakan masih serumpun dengan Suku Karo sejak wilayahnya berbatasan langsung. Kerajaan Aru itu bersebelahan dengan tanah ulayat Suku Gayo yaitu Kabupaten Langkat dan Gunung Leuser.

Sejalan dengan kosa kata Karau dalam bahasa Gayo yang diartikan beramai-ramai mencari atau mengejar orang yang kabur tadi, maka pengertian Karo lebih condong berasal dari kata Karau. Umumnya orang Karo lebih banyak melafalkannya sebagai orang Karau dengan makna kata arau n, arao n, aro n menjadi aron (aru/ aro + n) yang artinya sama dengan beramai-ramai kerja sama atau bergotongroyong.

Jadi orang Karau atau Karo adalah orang yang suka bekerjasama atau suka bergotongroyong, terbukti dalam mendirikan rumah dan menghuni rumah adat, dalam bercocok tanam, berburu dan sebagainya. (Oleh : Sada Arih Sinulingga).