Dua Merga ini Masih ada di Karo : Tarigan Purba dan Ginting Seragih
Sumber foto : link |
Dalam Alam Religi Karo, ada 2 Merga di Simalungun sempat VACUUM OF POWER, Raja Toding Ni Purba, nanti menantunya (Raja Sori, Pangeran ke-4 Ajinembah), mendirikan Kerajaan Saragih, Saragih aslinya ke Karo jadi Ginting Seragih, zuriat Purba lalu digantikan Purba/ Tarigan dari Pagaruyung, Sibayak Silo Dunia, menantu Sibayak Pintu Benua, Raja Barusjahe.
Ginting Muntei van Garingging atau Ginting Garingging yang menduduki takhta Seragih, disebut sebagai Saragih Garingging, Raja Pendiri Kerajaan Raya (orang Simalungun menyebut Raja Sori sebagai Si Pining Sori).
Alkisah, pada era Raja Raya ke-14, Toehan Rondaheim Saragih Garingging, diadakan "rapat mendadak" di KutaBangun (Karo Highland), disumbangkan Senjata dan Pasukan oleh Pengulu-Pengulu merga Muntei dari Gayo, Alas, Bambil, BatuMbulan dan beserta Raja-Raja Karo bersatu menyelamatkan negeri dari perkebunan asing milik Kolonial Penjajah, inilah PERSATUAN MUNTEI SEDUNIA (kaga ada tuch, dilibatkan orang-orang Samosir (Munthe Tano Batak), itenahken pe lang, Jauh Panggang dari Api ).
Jadi SAMA SEKALI "Tidak Ada" jejak Muntei berasal dari Batak, justru lembah yang merekah dari Bambil hingga Ajinembah (dipandang sebagai jejak perjalanan Kerbau Nanggalutu) adalah petunjuk hubungan Karo dan Gayo. Dikuatkan lagi dari Nama Rumah Kerajaan Karo RUMAH SI PITU RUANG dan Rumah Kerajaan Gayo UME SI PITU RUE (silakan googling untuk melihat tampilan nya).
Jangan 'pandang enteng' dengan Mitos. Apa yang MITHOLOGY katakan, em si ikutkan. Jangan membuat "khayalan tingkat tinggi" yang melawan Mitos. Terimalah apa yang dikatakannya dan pahami apa ya ia maksudkan.
Mitos yang memposisikan Muntei sebagai 'Panglima' [baca: pendatang, misalnya Panglima Koja Bintan] adalah Mitos Batak, dimana ada seorang pengangguran dari Samosir yang merantau ke Tengging dengan membawa manuk sabugan, dimana manuk itu 'tekuak' di situ Muntei menggarap kampung orang (system Kolonial banget, bukan ).
Padahal di Karo ada mitos lain, yaitu oleh Ginting Muntei Kubu, dimana diceritakan bahwa Semua Muntei menggunakan Kerbou Nanggalutu sebagai kenderaan tempur mereka (anggap aja BatMobile milik Batman). Nah, dimana Kerbau ini buang air besar, di situ Muntei mantek Kuta.
Di Lau Baleng, di Tualah Ganjang, Peken Koramil, masih ada kuburan Kerbau ini, yang menurut kisahnya berangkat dari Doakan. Ada foto yang bertarikh 1910, yaitu acara NGUMBAN untuk Rumah Kerbou (Nama salah satu Rumah Adat Suku Karo (RASK)) di Lau Baleng. Seperti Lau Riman terkoneksi ke Ajinembah via Rumah Mbaru, demikian Lau Baleng terkoneksi ke Dokan via Rumah Kerbou. This is the HOUSE, The House Society.
Kesalahan Fatal dari pemilik vendor Galeri Buku Karo-Bataksche (toean Martin L. PeranginAngin) ialah MENCAMPURADUKKAN ANTARA MITOS DAN SEJARAH. Beliau menyebut Pustaka Ginting dan Pustaka Kembaren sebagai 'sejarah tertua' padahal itu mitos paling akhir .
Saya sempat menjumpai bahwa banyak Pustaka Lokal yang masih dimiliki keluarga-keluarga Karo, di salah satu desa di Karo Baluren, Kab. Dairi (lupa nama desanya), si pemilik memamerkan tapi tak seorangpun dizinkannya melihat isinya. Ketika ku tanya: ''Nina LakiNdu, ula cidakken men ise pe, Kila. Egia niBeteh Kam kin lah ngogeCa? ". "Aku pe labo ku angka kal, Permen", sahutnya. TawaKu naring reh.
Sekalipun mitos Si Raja Batak ada di hati orang-orang Batak, jangan pula mereka "menjajalkannya" ke tenggorokan kita. Kita pun jangan pula melarang mereka mempercayainya. Ngga ada itu, ninta. jadi mereka (individu yang meyakininya) itu siapa, apakah butiran debu?
Tidak layak pula kita berada di posisi sabagai "Gambo-Gambo", semisal orang-orang yang merasa mereka Batak Karo, bersaudara dengan sebangsanya, tapi tidak mengakui mitos SRB, tidak tahu marHata Batak, bukan bagian dari Raja Maroppat Batak (Toba - Samosir - Humbang - Silindung), lalu ngemis-ngemis: Ulanai Bahas! Ulanai Bahas!, kelompok manusia yang TIDAK GENTLE, mereka ngaku Batak, tapi cuma "batak karo"😁, menjunjung tinggi orang-orang yang selalu ngaku Batak dan Toba nya senantiasa lupa sebagai bagian sebangsa mereka. Agoi, Amang. Mereka punya Bangso sendiri, Bro, dengan Bendera 3 Warna (Red, White plus Black) di Pussu Buhit sana.
Dalam Tradisi Lisan Karo, Muntei adalah LORD (Raja) yang menerima orang datang ke wilayahnya. Mitos menjelaskan begitu. Labo lit turi-turinNa kami tandang-tandang ku Taneh Karo Enda.
Kembali ke Pustaka Kembaren, baca kisahnya, siapa yang mendirikan kampung-kampung di sekitar Silalahi, siapa Raja yg menjumpai saudara-saudaranya, lalu siapa pula Manusia Burung Layang-Layang. Tidak ada di situ dikatakan mereka orang Minang yang suka goyang nasi padang😀. Tapi dimulai dari 2 Saudara yang berangkat dari Pagaruyung. Jika di Karo Jahe pernikahan antara sesama Sembiring Singombak (Saberaya) saja dikatain "badau", Kembaren di Karo Barat justru menikahi grup mereka (Sinupayung, Keloko, Sinulaki) dan grup sebelah (Maha, Mliala, Plawi, Brahmana, dlsb), KECUALI sesama Kembaren, tapi di Karo Bagian Timur 👉 Kembaren TIDAK menikah dengan Sembiring yang manapun.
Di Lau Baleng, ada kuan-kuan Bagi Kambing Lau Baleng Ertaban Uis Gara. Karena tali tidak cukup untuk mengikat kambing-kambing yang telah 'dikembalikan ke jalan yang benar' ( i mean " diselamatkan"), maka Uis Gara yang dijemur di halaman dipakai untuk mengikat kambing.
Di masa pemerintahan Biak Ginting (Generasi ke-2 pendiri Lau Baleng), banyak penyamun yang mencuri kambing Biak. Maka diundanglah Pasukan dari Kalimbubu Si Majek Lulang (Raja Liang Melas), dengan IPUH LA ERBEGU dan IPUH SIPOLAR dibasmilah para penggarap itu.
Meski di generasi Pengulu selanjutnya, ada seorang Pengulu yang mengeluarkan dekrit: Selama saya menjabat, tak seorangpun merga Kembaren boleh terlihat batang hidungnya di Lau Baleng (musuh kita itu orang-orang dari rumah kita, atau kita serumah dengan musuh-musuh kita)
Kalian nunggu lucunya, kan?
Ketika saya bertanya kepada Laki Uda (Aminton): kai nge mergaNa si nangko kambing ah ndai, Laki.
👉Jawab Bulang itu: Penggarap e, Ginting Muntei kang, Kempu.
Makanya di perantauan ini, kalau jumpa Ginting Muntei, aku langsung menaruh curiga, Jangan-Jangan Bulangnya salah satu pencuri kambing itu.
Makanya di perantauan ini, kalau jumpa Ginting Muntei, aku langsung menaruh curiga, Jangan-Jangan Bulangnya salah satu pencuri kambing itu.