Widget HTML #1

Prestasi apa yang dimiliki Purbaya Yudhi Sadewa hingga membuat Prabowo memilihnya sebagai Menteri Keuangan menggantikan Sri Mulyani

Penunjukan Purbaya Yudhi Sadewa sebagai Menteri Keuangan menggantikan Sri Mulyani tentu menimbulkan tanda tanya besar di kalangan publik. Apa alasan di balik keputusan ini, dan strategi apa yang sebenarnya ingin ditempuh oleh Presiden Prabowo?

Dari Fiskal ke Moneter

Selama ini, kebijakan ekonomi Indonesia sangat kental dengan pendekatan fiskal. Di bawah kepemimpinan Sri Mulyani, fondasi fiskal Indonesia bisa dibilang terjaga rapi: struktur pajak yang solid meski memberatkan, cadangan keuangan negara yang aman, defisit anggaran di bawah 3% GDP, hingga kredibilitas tinggi di mata lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia.

Namun, sifat dasar kebijakan fiskal memang cenderung konservatif: fokus pada kehati-hatian, pengendalian risiko, serta menjaga stabilitas jangka panjang. Konsekuensinya, ruang gerak untuk menciptakan “lonjakan cepat” dalam perekonomian jadi terbatas. Apalagi jika beban pajak tinggi, sementara intervensi pemerintah dalam perputaran ekonomi minim, maka permintaan domestik bisa menurun dan aktivitas ekonomi ikut terhambat.

Di sisi lain, pendekatan moneter menawarkan sesuatu yang berbeda. Ia lebih fleksibel dan berani “memainkan mood pasar” demi menciptakan momentum pertumbuhan. Meski berisiko tinggi, potensi imbal hasilnya juga besar. Inilah yang tampaknya menjadi alasan kuat Prabowo memilih Purbaya.

Siapa Purbaya?

Jika bicara prestasi, Purbaya mungkin tidak memiliki rekam jejak internasional sekuat Sri Mulyani. Namun, dalam lingkaran pemerintahan, ia dikenal sebagai sosok yang kerap menjadi rujukan ketika ada masalah ekonomi. Sejak 2015 hingga 2025, ia disebut-sebut sebagai “problem identifier” sekaligus penyusun kerangka solusi. Ia bukan tipikal teknokrat yang akan menyiapkan rencana detail, melainkan figur yang memberi perspektif baru, khususnya dari sisi moneter.

Purbaya berani mendorong gagasan yang jarang disentuh: mengoptimalkan dana mandek di Bank Indonesia menjadi uang beredar (M0) lewat penciptaan kredit di bank-bank BUMN. Harapannya, dengan kredit yang lebih mudah diakses, dunia usaha bergairah, konsumsi meningkat, dan pada akhirnya tercipta agregasi permintaan yang mampu menggerakkan roda ekonomi.

Risiko dan Kontingensi

Strategi ini jelas bukan tanpa risiko. Suntikan likuiditas dalam jumlah besar bisa memicu inflasi. Namun, jika diarahkan dengan benar, hasilnya bisa berupa ledakan pertumbuhan ekonomi jangka pendek. Tantangannya adalah memastikan dana kredit tidak terserap ke instrumen investasi jangka panjang seperti obligasi atau saham, melainkan benar-benar mengalir ke sektor riil.

Dari pernyataan Purbaya, pemerintah tampaknya sudah menyiapkan aturan ketat agar kredit yang tercipta fokus pada belanja produktif. Dengan begitu, risiko inflasi liar dapat ditekan sembari menjaga potensi pertumbuhan ekonomi.

Dimensi Politik

Tidak bisa dipungkiri, penunjukan Purbaya juga sarat nuansa politik. Ia dikenal dekat dengan Luhut Binsar Pandjaitan, sehingga dianggap sebagai representasi politik dari lingkaran tersebut. Namun, berbeda dengan banyak penempatan politik yang hanya berbasis kepentingan, Purbaya setidaknya punya rekam jejak dan pemahaman yang cukup kuat di bidang ekonomi.

Selain itu, penunjukan ini juga menjadi sinyal jelas dari Prabowo: bukan berarti Sri Mulyani tidak kompeten, melainkan karena pemerintah ingin menggeser fokus kebijakan dari dominasi fiskal menuju pendekatan moneter. Dengan kata lain, arah kebijakan ekonomi era Prabowo kemungkinan besar akan lebih eksperimental, berani mengambil risiko, dan mengejar hasil cepat (quick win).