Liciknya Aksi Kepala Sekolah Ini, Gunakan Dana BOS untuk Beli Bus Pribadi — Nilai Korupsinya Fantastis Capai Rp25 Miliar! Begini Akhir Tragis Nasibnya

Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sejatinya bertujuan untuk mendukung kebutuhan non-personalia di sekolah. Dana ini digunakan untuk membiayai kegiatan administrasi, menyediakan alat pembelajaran, serta menjaga sarana dan prasarana agar proses belajar mengajar berjalan optimal. Selain itu, sebagian dana BOS juga dapat dialokasikan untuk pembayaran honor guru dan tenaga kependidikan non-PNS.

Namun, penyalahgunaan dana BOS kembali mencuat setelah kasus yang menjerat Syamhudi Arifin, mantan Kepala SMK 2 PGRI Ponorogo. Sejak ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Ponorogo, Syamhudi dicopot dari jabatannya dan kini berstatus sebagai terdakwa di pengadilan.

Dalam persidangan, jaksa menyatakan Syamhudi terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 2 ayat 1 tentang tindak pidana korupsi. Ia dijatuhi denda sebesar Rp500 juta dengan ancaman tambahan enam bulan penjara apabila denda tersebut tidak dibayar.

Selain itu, Syamhudi juga diwajibkan mengganti kerugian negara sebesar Rp25,83 miliar. Namun, karena telah mengembalikan sebagian dana senilai Rp3,175 miliar, sisa uang pengganti yang harus dibayarnya menjadi sekitar Rp22,65 miliar. Jaksa menegaskan, apabila uang pengganti tersebut tidak dilunasi dalam waktu satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, maka akan dijatuhi hukuman tambahan.

Kasus ini bermula dari laporan masyarakat terkait dugaan penyalahgunaan dana BOS di SMK 2 PGRI Ponorogo sejak tahun 2019. Setelah menerima aduan tersebut, pihak kejaksaan melakukan penggeledahan di sekolah, Kantor Cabang Dinas Pendidikan wilayah Ponorogo–Magetan, serta kantor penyedia alat tulis kantor. Dari hasil penyelidikan, diketahui dana BOS selama 2019–2024 tidak digunakan sesuai ketentuan.

Dalam pemeriksaan, Syamhudi mengaku bahwa dana tersebut dipakai untuk kepentingan pribadi, termasuk membeli sebuah bus.

Terkait maraknya kasus serupa, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, menilai penyalahgunaan dana BOS kerap terjadi karena belum adanya sistem pengelolaan yang didukung petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) yang jelas. Ia menekankan bahwa lemahnya pengawasan dari masyarakat juga menjadi salah satu faktor utama.

Menurut Mu’ti, ke depan pemerintah perlu memberikan panduan teknis yang lebih rinci agar program seperti Dana BOS, BOS Kinerja, dan Program Indonesia Pintar (PIP) dapat dijalankan secara efektif dan transparan.

Sementara itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat masih banyak penyimpangan dalam penggunaan dana BOS di berbagai sekolah. Berdasarkan hasil Survei Penilaian Integritas (SPI) Pendidikan tahun 2024, sebanyak 12 persen sekolah menggunakan dana BOS tidak sesuai peruntukannya.

Selain itu, ditemukan pula 7 persen sekolah yang masih melakukan pungutan terkait dana BOS. Tak hanya itu, 40 persen sekolah terindikasi melakukan praktik nepotisme dalam pengadaan barang dan jasa, serta 47 persen lainnya melakukan penggelembungan biaya dalam laporan keuangan.

Survei SPI tersebut dilakukan pada 22 Agustus hingga 30 September 2024 dengan melibatkan 36.888 sekolah dan 449.865 responden di 38 provinsi dan 507 kabupaten/kota. Pengumpulan data dilakukan secara daring melalui pesan WhatsApp, email, dan wawancara berbasis web, serta metode tatap muka dengan sistem digital.

Kasus Syamhudi menjadi salah satu contoh nyata lemahnya sistem pengawasan dalam pengelolaan dana BOS. Pemerintah diharapkan memperkuat regulasi dan pengawasan agar bantuan pendidikan yang semestinya untuk kemajuan sekolah tidak lagi disalahgunakan untuk kepentingan pribadi.