Bagaimana Standar Media Sosial Menghancurkan Hidupmu (Tanpa Kamu Sadar)?
![]() |
| air terjun lau biang langkat |
Pernah merasa hidupmu baik-baik saja... sampai kamu membuka media sosial?
Tenang, kamu tidak sendiri. Ribuan orang sedang mengalami hal yang sama--> hidup normal, lalu tiba-tiba merasa tidak cukup hanya karena melihat orang lain terlihat lebih bahagia, lebih kaya, lebih cantik, lebih produktif, atau lebih “perfect” minimal di tampilan layar.
Selamat datang di era baru,
Era perbudakan digital.
Bukan Lagi Media Sosial, Tapi "Standar Sosial"
Media sosial awalnya dibuat untuk berbagi, bukan membandingkan.
Tapi sekarang?
-
Kalau kamu tidak glow-up, kamu kurang effort.
-
Kalau kamu tidak punya minimal iPhone terbaru, kamu dianggap “tidak update”.
-
Kalau kamu tidak ikut tren challenge bahkan tren yang tidak masuk akal kamu dianggap ketinggalan zaman.
Dan yang paling lucu?
Tidak ada satu pun standar itu yang tertulis.
Tapi semua orang patuh seolah itu hukum alam.
Terbudaki dengan Rela
Fenomena paling menarik adalah:
Banyak orang sadar bahwa tren media sosial itu melelahkan…
tapi tetap mengikuti.
Kenapa?
Karena ketakutan untuk tertinggal lebih besar daripada kesehatan mental sendiri.
Orang rela:
-
Mengumbar masalah pribadi demi konten
-
Memamerkan hal yang belum tentu nyata
-
Menjadi karakter palsu hanya demi validasi
Dan yang paling sedih?
Mereka stres bukan karena hidupnya buruk, tapi karena hidup orang lain terlihat lebih baik di layar.
Mesin Penghasil Budak Baru
Di media sosial, tren bisa baik atau buruk itu tidak masalah.
Yang penting satu:
Apakah itu viral atau tidak?
Kalau besok tren-nya menangis sambil makan mie instan?
Percaya saja, ratusan ribu orang akan ikut.
Kenapa?
Karena sekarang yang menentukan normal atau tidak bukan lagi budaya, akhlak, pendidikan, atau moral…
Tapi algoritma.
Jadi, Apa yang Salah?
Apakah media sosialnya?
Algoritmanya?
Para influencer-nya?
Para penontonnya?
Jawabannya sederhana:
➡️ Yang salah adalah ketika eksistensi seseorang bergantung pada validasi orang asing.
Selama kamu hidup untuk disukai bukan untuk jadi diri sendiri kamu akan terus berputar dalam lingkaran:
Konten → Validasi → Ketagihan → Perbandingan → Cemas → Depresi → Konten lagi
Dan siklus itu tidak pernah selesai.
Pilihan Ada di Kamu
Media sosial tidak berbahaya.
Yang berbahaya adalah cara kamu memperlakukannya seperti hakim atas hidupmu.
Jika kamu tidak menentukan standar hidupmu sendiri, media sosial akan melakukannya untukmu — dan percayalah:
Standar itu tidak akan pernah selesai.
**Jadi, kamu mau hidup?
Atau mau tetap menjadi produk algoritma?**
Kamu pilih.
