Bahasa yang Mulai Sunyi di Tanah Sendiri: Kisah Orang Karo di Kota Medan

Di balik hiruk-pikuk Kota Medan yang kini menjadi salah satu pusat ekonomi terbesar di Sumatera, tersimpan kisah lama yang mulai nyaris terlupakan, kisah tentang sebuah suku yang menjadi salah satu pendiri kota ini, Suku Karo.
Berawal dari seorang tokoh bernama Guru Patimpus Sembiring Pelawi, lelaki Karo yang pada abad ke-16 membuka hutan di antara Sungai Deli dan Sungai Babura. Dari keberaniannya itulah lahir Kampung Medan, cikal bakal kota yang kini diperingati setiap 1 Juli 1590 sebagai hari lahir Kota Medan.
Namun seiring berjalannya waktu, kehidupan yang kian modern membawa perubahan besar, termasuk dalam cara orang Karo berbahasa. Banyak generasi muda yang kini tumbuh tanpa kemampuan berbicara dalam bahasa Karo, bahasa yang dulu menjadi identitas dan kebanggaan leluhur mereka.
Gelombang Pendatang dan Lahirnya Kota Multikultural
Perkembangan Medan di akhir abad ke-19 ditandai dengan datangnya para pendatang dari berbagai daerah. Gelombang pertama datang dari Tionghoa dan Jawa yang bekerja sebagai kuli kontrak di perkebunan tembakau dan karet.
Setelah itu, menyusul gelombang kedua dari Minangkabau, Mandailing, dan Aceh, yang datang sebagai pedagang, guru, dan ulama. Kota Medan pun tumbuh menjadi kota multikultural, tempat berbagai bahasa, logat, dan budaya bertemu.
Namun di tengah percampuran itu, bahasa Karo perlahan menjadi semakin jarang terdengar di ruang publik.
“Tidak Biasa Bicara di Rumah”
Di tengah keramaian kota besar, masih banyak keluarga Karo yang tinggal di berbagai sudut Medan. Namun dalam keseharian, bahasa Karo sering kali tidak lagi digunakan. Seorang perempuan muda, Kelly br Sembiring, yang ditemui di Depok, mengaku berbicara terbata-bata dalam bahasa Karo.
Saat ditanya, ia menjawab dengan jujur, “Tidak biasa bicara bahasa Karo di rumah.”
Sebuah jawaban sederhana, tapi mencerminkan perubahan sosial yang besar. Bahasa yang dulu begitu hidup di dapur, ladang, dan pesta adat, kini perlahan berganti dengan bahasa Indonesia atau logat Medan yang lebih umum dipahami.
Bahasa Karo dan Jejak Aksara Kuno
Padahal, bahasa Karo menyimpan sejarah panjang dan peradaban yang kaya. Bahasa ini pernah ditulis menggunakan Aksara Surat Pustaha. Dalam kurikulum sekolah di Tanah Karo, aksara dan bahasa ini masih diajarkan sebagai bagian dari muatan lokal beberapa tahun lalu.
Namun di luar kelas, penggunaannya makin berkurang. Anak-anak Karo tumbuh di kota yang sibuk, berinteraksi dengan teman dari berbagai latar, hingga tanpa disadari, bahasa ibu mulai tertinggal di belakang.
Logat yang Penuh Irama
Bahasa Karo memiliki keindahan tersendiri. Logat Karo Gugung terdengar lembut dan berirama seperti nyanyian, sementara Logat Karo Jahe-Jahe penuh penekanan dan energi. Keduanya mencerminkan karakter masyarakat Karo yang hangat, penuh semangat, dan terbuka.
Namun kini, irama khas itu mulai jarang terdengar di tengah perbincangan sehari-hari. Di pasar, di warung kopi, bahkan di rumah-rumah, suara lembut bahasa Karo perlahan terkikis.
Harapan untuk Bahasa Ibu
Meski demikian, harapan belum hilang, masih banyak generasi muda yang mulai sadar pentingnya menjaga warisan bahasa mereka. Ada yang menulis puisi Karo di media sosial, membuat lagu dengan lirik bahasa Karo, hingga mengajarkan kembali aksara Karo lewat konten digital.
Bahasa, bagaimanapun bukan hanya alat bicara, tetapi cermin jiwa sebuah masyarakat.
Dan selama masih ada yang menuturkannya dengan bangga, bahasa itu akan tetap hidup.
Kembali ke Akar
Mungkin kini saatnya masyarakat Karo di Medan kembali menengok akar sejarahnya, bukan hanya sekadar mengenang Guru Patimpus sebagai salah satu pendiri kota, tetapi juga merawat bahasa dan budaya yang menjadi ruh dari peradaban itu sendiri.
Karena di setiap kata, di setiap logat, tersimpan jejak perjalanan panjang: dari hutan belukar yang dibuka berabad lalu, hingga kota besar yang kini berdiri di atasnya. Dan di sanalah identitas Karo sejati menemukan rumahnya kembali.