Dekonstruksi Narasi: Raja Berempat dalam Struktur Karo yang Mendahului Sistem Kerajaan dan Administrasi Modern
![]() |
| Labuhan Deli tahun 1875. Foto oleh : Mij. Hüttenbach & Co. (Medan). Sumber : KITLV. |
Budaya Karo adalah salah satu sistem kebudayaan paling kompleks di Nusantara. Bukan hanya kaya simbol, ritual, dan tradisi, tetapi juga menyimpan pola sosial yang sangat terstruktur. Banyak kalangan menafsirkan adat Karo melalui kacamata sejarah: siapa mempengaruhi siapa, kapan perubahan terjadi, atau apakah adat tertentu berasal dari Hindu, Islam, atau kerajaan tetangga.
Namun, pendekatan ini tidak selalu mampu menjelaskan bagaimana sistem sosial Karo bekerja secara mendalam. Ada hal-hal dalam budaya Karo yang tidak lahir dari peristiwa sejarah, tetapi dari peristiwa struktural yaitu pola budaya yang terbentuk melalui hubungan sosial, bukan melalui kejadian tunggal atau pengaruh eksternal.
Artikel ini mencoba menjelaskan struktur budaya Karo dengan pendekatan antropologi struktural, khususnya melihat bagaimana sistem “Raja Berempat”, penerima mas kawin (tukur), hingga sistem kekerabatan dan aturan perkawinan saling berhubungan sebagai satu kesatuan.
Raja Berempat Bukan Sekadar Sistem Politik
Banyak tulisan mengatakan bahwa sistem Raja Berempat di Deli adalah sistem pemerintahan yang diperkenalkan oleh Kerajaan Aceh setelah penaklukan politik. Namun, penelitian dan analisis struktural menunjukkan bahwa hal ini tidak benar.
Sistem Raja Berempat tidak lahir dari kekuasaan dari luar, tetapi:
Berakar dari struktur sosial internal masyarakat Karo itu sendiri.
Konsep ini dikenal dalam antropologi sebagai Four-Fold Structure atau struktur empat lipatan. Struktur ini ternyata tidak hanya muncul dalam konteks pemerintahan, tetapi juga dalam:
-
struktur rumah adat
-
sistem perkawinan
-
pembagian tukur
-
aturan rebu
-
sistem tutur kekerabatan
Dengan kata lain, empat kelompok ini adalah pola fundamental budaya Karo bukan hasil tempelan sejarah.
Pembagian Tukur: Kunci Memahami Identitas Karo
Untuk memahami bagaimana struktur empat lipatan bekerja, mari lihat sistem pembagian tukur (mas kawin) dalam perkawinan adat Karo.
Secara tradisional, tukur diberikan bukan kepada satu keluarga, tetapi kepada beberapa kemberahen (perempuan senior) yang mewakili kelompok kekerabatan tertentu:
| No. | Penerima Tukur | | Posisi dalam Sistem Kekerabatan |
|---|---|---|
| 1 | Batang Unjuken | Ibu pengantin perempuan / Bride's Mother (M) |
| 2 | Sirembah Ku Lau | Saudari ayah / Bride's Father's Sister (FZ) |
| 3 | Bebere | Istri paman dari ibu / Bride’s Mother's Brother's Wife (MBW) |
| 4 | Perbibin | Saudari ibu / Bride's Mother's Sister (MZ) |
| 5 | Perkempun | Nenek dari pihak ibu / Bride's Mother's Mother (MM) |
| 6 | Perninin | Nenek dari pihak ayah / Bride's Father's Mother (FM) |
Dari keenam penerima ini, setelah dianalisis secara struktural ternyata hanya terdapat empat kelompok inti, karena:
-
(MM) = suksesor (pengganti) dari (MBW)
-
(FM) = suksesor (pengganti) dari (M)
Sehingga sistem tukur hanya melibatkan empat sembuyak (unit sosial) besar:
| Sembuyak | | Dipimpin oleh |
|---|---|
| Sukut Sembuyak | Ibu |
| Anak Beru | Saudari ayah |
| Kalimbubu | Istri saudara ibu |
| Senina | Saudari ibu |
Di sinilah struktur empat lipatan kembali muncul. Perkawinan bukan hanya menyatukan dua individu, tetapi:
Menghubungkan empat kelompok lokal agar menjadi satu unit sosial dan spiritual.
Perkawinan Karo, Dari Upacara ke Pembentukan Struktur Sosial
Dalam kebudayaan Karo, perkawinan mencapai puncak makna bukan saat pesta berlangsung, tetapi setelah kehamilan pertama mencapai 100 hari (100 berngi).
Mengapa?
Karena saat itulah perempuan mulai dianggap memiliki mbuyak atau “wadah” keturunan, yang kemudian menjadi asar (sumber) bagi terbentuknya sembuyak baru.
Dengan lahirnya anak pertama, maka struktur empat kelompok tadi tidak lagi sekadar hubungan perkawinan, tetapi berubah menjadi:
Ikatan sosial antar kelompok yang saling membutuhkan, saling melengkapi, dan saling memegang peran.
Melalui generasi, hubungan ini bergerak dari pinggiran menuju pusat. Ketika hubungan telah stabil selama beberapa generasi ditandai fenomena cawir metua atau perkawinan antar garis keturunan tertentu maka kelompok tersebut dapat mencapai posisi pusat sosial suatu wilayah.
Inilah yang kemudian diwujudkan dalam arsitektur rumah adat Karo.
Rumah Adat: Monumen Struktur Empat
Setiap rumah adat Karo merupakan representasi konkret dari struktur empat lipatan melalui empat posisi tempat duduk (jabu):
| Posisi Jabu | Dihuni oleh |
|---|---|
| Jabu Bena Kayu | Sukut |
| Jabu Ujung Kayu | Anak Beru |
| Jabu Lepar Bena Kayu | Kalimbubu |
| Jabu Lepar Ujung Kayu | Senina |
Artinya, rumah adat bukan hanya bangunan, tetapi:
peta sosial yang menunjukkan bagaimana masyarakat Karo memahami posisi, relasi, dan peran.
Kesalahpahaman yang Terlanjur Menjadi "Kebenaran"
Banyak antropolog lama dan masyarakat awam percaya bahwa:
-
aturan endogami pada Sembiring dan Perangin-angin berasal dari mitos tertentu
-
rebu ada karena pernah terjadi incest dalam sejarah
-
tradisi kremasi berasal dari pengaruh Hindu
Namun ketika dianalisis dalam konteks perbandingan budaya di Asia Tenggara dan teori struktural antropologi, kesimpulan ini tidak memiliki bukti empiris. Sebaliknya, fenomena seperti:
-
sunat (kacip-kacip)
-
endogami terbatas
-
rebu
-
pembagian peran sosial
lebih tepat dipahami sebagai:
bagian dari mekanisme pengaturan hubungan sosial dan identitas internal, bukan akibat “peristiwa sejarah sekali waktu”.
Dalam bahasa antropologi:
📌 Ini struktur yang bekerja, bukan kejadian yang menyebabkan.
Struktur Karo dalam Konteks Nusantara dan Asia Tenggara
Yang menarik adalah bahwa pola empat lipatan ini tidak hanya ditemukan di Karo. Di banyak wilayah Asia Tenggara terdapat pola serupa, misalnya:
-
sistem Raja Marompat di Simalungun
-
struktur adat Negeri Sembilan (Malaysia)
-
pola penyebutan The Stranger King, di mana pemimpin berasal dari luar tetapi menjadi pusat struktur
-
hubungan sosial bilateral di suku proto-malayo-polinesia
Ini menunjukkan bahwa budaya Karo:
Bagian dari jaringan budaya Austronesia yang lebih luas, bukan budaya yang terbentuk sendirian atau karena pengaruh budaya dominan seperti Hindu atau Islam.
Identitas Karo Ada Karena Struktur, Bukan Sejarah
Jika ada satu kalimat yang merangkum keseluruhan pembahasan ini, maka kesimpulannya adalah:
Budaya Karo tidak dibentuk oleh peristiwa sejarah tunggal, tetapi oleh struktur sosial yang bekerja secara konsisten lintas generasi.
Sistem Raja Berempat, tukur, rebu, endogami terbatas, posisi dalam rumah adat, hingga istilah tutur kekerabatan, semuanya lahir dari pola struktur Empat–Lima Lipatan (Four–Five Fold Structure) yang menjadi fondasi masyarakat Karo.
| Konteks | Struktur |
|---|---|
| Pembagian tukur | Sukut, Anak Beru, Kalimbubu, Senina |
| Rumah adat | 4 jabu (posisi keluarga) |
| Pemerintahan tradisional | Raja Berempat |
| Sistem kekerabatan | Tutur Si 8, Perkade-kaden 12, Bulung-bulung 50-2 → semua bisa direduksi kembali ke 4 kelompok |
Struktur empat kelompok + satu unsur luar.
Dengan memahami struktur ini, kita bukan hanya memahami adat, tetapi memahami cara berpikir masyarakat Karo, bagaimana relasi dibangun, bagaimana kekuasaan diatur, dan bagaimana identitas diwariskan.
