Di Balik Ungkapan “Ku Sunggal Bila Kawin Semerga”
![]() |
| Pancur Batu di tahun 1970an Karo Siadi |
Dalam tradisi tutur masyarakat Karo, sering terdengar ungkapan “ku Sunggal bila kawin semerga”, seolah-olah pasangan yang menikah dengan orang satu merga (erturang) harus “dibuang” atau “pergi ke Sunggal”. Namun, apakah ini kenyataan sejarah atau hanya mitos sosial yang dibesar-besarkan?
Beberapa sumber kolonial seperti tulisan W. Middendorp, yang kemudian disunting oleh H. Slaats dan K. Portier, menganggap bahwa perkawinan semerga di Karo adalah pantangan keras yang bisa berujung pengusiran dari kampung. Bahkan, kedua editor tersebut menduga Middendorp keliru ketika mencatat adanya pasangan suami-istri Sinulingga dengan Sinulingga di Lingga. Mereka menganggap hal itu mustahil dalam adat Karo.
Namun, kesaksian lapangan dan catatan lisan dari beberapa kampung Karo Gugung menunjukkan hal berbeda. Di sejumlah kampung ditemukan kasus ngempoi turang (menikahi saudara semerga), dan tidak ada sanksi sosial berupa pengusiran. Seperti yang diceritakan oleh seorang informan tua, “Kutanta ah pe lit sada Ginting ras Ginting, enterem pe anakna” — ada pasangan Ginting menikah dengan Ginting, dan mereka tetap diterima dalam masyarakat.
Ungkapan “ku Sunggal” sendiri tampaknya lebih bersifat simbolik ketimbang faktual. Berdasarkan penelitian sosio-geografis, Sunggal memiliki posisi tersendiri dalam pembagian wilayah tradisional Karo, bukan karena hubungannya dengan Islam seperti yang sering diasumsikan, melainkan karena status Sunggal sebagai wilayah perbatasan dalam konteks sejarah migrasi Karo. Jadi, “pergi ke Sunggal” lebih mencerminkan keluar dari tatanan adat pusat (Gugung) ketimbang benar-benar diusir.
Dalam konteks antropologi modern, para peneliti seperti Rita S. Kipp juga menunjukkan ambiguitas serupa. Dalam artikelnya “Rice Ritual Now and Then”, ia menulis bahwa dalam upacara Ndilo Wari Udan, pasangan kawin turang disiram air (cocoi) dan dituduh sebagai penyebab kemarau panjang. Namun, fakta bahwa pasangan itu hadir dan berperan dalam ritus justru menunjukkan bahwa mereka tidak diusir, bahkan diakui dan dibutuhkan dalam struktur sosial kampung.
Karena itu, istilah “pantang kawin semerga” sebaiknya diganti dengan istilah “penghindaran kawin” (avoidance), sebagaimana disarankan oleh banyak antropolog. Artinya, perkawinan semerga bukanlah tabu absolut, melainkan aturan sosial yang fleksibel dan dinegosiasikan sesuai konteks dan hubungan antarkeluarga.
Lebih jauh, dalam pandangan budaya Karo sendiri, “turang” bukan sekadar larangan, tetapi justru simbol kedekatan emosional. Tak heran jika dalam ungkapan cinta, seseorang menyebut kekasihnya sebagai turang. Di sinilah paradoksnya: apa yang diucapkan sebagai larangan, justru menyimpan kerinduan akan keintiman yang paling ideal menurut orang Karo.
Singkatnya, ungkapan “ku Sunggal bila kawin semerga” bukan catatan sejarah, melainkan idiom sosial, sebuah metafora tentang keluar dari tatanan adat, bukan benar-benar diusir. Tradisi tidak selalu kaku, dan yang paling penting, hati-hati ketika mengidealisasi atau mengideologikan tradisi, karena budaya Karo, seperti kebudayaan lainnya, selalu hidup dan berubah bersama manusia yang menjalaninya.
