Hubungan Darah Karo dan Gayo Aceh Terkuak Pada Sosok Sibayak Lingga Raja Senina

Ritual Mengket Geriten dan peresmian Tugu Nini Sibayak Lingga Raja Senina di perbukitan Uruk Ndaholi, Desa Bintang Meriah, Kabupaten Karo, menjadi peristiwa budaya yang membuka tabir besar sejarah hubungan antara dua suku: Gayo dan Karo.

Pada ritual itu, tengkorak kepala Sibayak Lingga leluhur bermerga Sinulingga dimandikan air jeruk purut sebelum ditempatkan ke dalam tugu persemayaman. Momen sakral ini bukan hanya seremoni adat, tetapi juga mengungkap kembali tali darah yang selama ini hanya menjadi legenda: bahwa Raja Senina adalah keturunan langsung Dinasti Raja Linge dari Tanah Gayo, Aceh.

Jejak Kerajaan Linge: Kerajaan Tua di Tanah Gayo

Dalam penuturan para sesepuh, Dinasti Linge merupakan kerajaan tertua di Aceh bagian tengah, berpusat di Linge, Dataran Tinggi Gayo. Jauh sebelum Islam datang, kerajaan ini menganut kepercayaan animisme dan dikenal memiliki raja-raja sakti dengan kemampuan spiritual dan ilmu tinggi.

Banyak keturunan Raja Linge meninggalkan wilayah Gayo dan berpengaruh di berbagai kerajaan lain, mulai dari kerajaan-kerajaan di Bukit Barisan, Tanah Karo, Minangkabau, hingga Lingga di Riau, Malaysia, bahkan Filipina. Nama Linge sendiri dalam bahasa Gayo berarti suara, yakni simbol bahwa titah raja didengar dan ditakuti hanya dari suaranya.

Dinasti Terakhir dan Perpecahan

Ketika Islam mulai masuk ke Tanah Gayo, Dinasti terakhir Raja Linge dikisahkan memiliki empat anak:

  1. Datu Beru – putri sulung

  2. Muriah Sibayak Lingga

  3. Sibayak Muriah Johan

  4. Muriah Lingga (si bungsu, sangat disayangi Raja Linge)

Perbedaan prinsip antara raja dengan anak-anaknya membuat Muriah Sibayak Lingga memilih meninggalkan kerajaan. Ia membawa bawar dan bendera Kerajaan Linge sebagai tanda legitimasi keturunan, lalu pergi menuju Tanah Karo. Dalam versi lain, ia disebut meninggalkan Gayo karena tidak bisa disunat akibat kekebalannya, sehingga “lari ke Karo” (kata Karo/Ngaro dalam bahasa Gayo berarti diburu atau dikejar).

Tiba di Uruk Ndaholi: Bertemu “Malim”

Di Tanah Karo, Muriah Sibayak Lingga bertemu saudaranya yang disebut masyarakat sebagai Malim, seorang penguasa sakti, imam, sekaligus penjaga wilayah Bintang Meriah. Malim tidak menikah seumur hidup, karena pantang adat bagi orang dengan kedudukan spiritual seperti dirinya.

Kedatangan Sibayak Lingga disambut baik dan ia diangkat menjadi panglima. Setelah Malim mangkat, kekuasaan diteruskan oleh Sibayak Lingga.

Melakukan Politik Kawin Adat

Untuk memperbesar pengaruh di Tanah Karo, Sibayak Lingga menikahi tiga perempuan dari tiga kelompok merga besar:

  • Beru Ginting (Rumah Page)

  • Tarigan Barus Tua

  • Sebayang Serbananam

Dari tiga pernikahan ini lahirlah garis keturunan merga Sinulingga, yang kemudian menjadi bagian dari suku Karo. Karena ia menjadi anak beru dari Ginting, Tarigan, dan Sebayang, hubungan sosial dan politik dengan kerajaan-kerajaan Karo lainnya menjadi sangat kuat.

Istana tempat raja keturunannya memerintah dikenal dengan nama Rumah Delapan Ruang (Waluh Ruang).

Keturunan yang Melawan Penjajah

Keturunan Sibayak Lingga tercatat sebagai pejuang melawan Belanda di Tanah Karo. Salah satu tokoh paling terkenal adalah:

Aman Dimot – pendekar kebal dari Gayo
Ia bergabung dalam pasukan Halilintar dan menjadi musuh besar Belanda. Saat ditangkap, Belanda memasukkan granat ke mulutnya hingga meninggal. Makamnya kini berada di Taman Makam Pahlawan Kabanjahe.

Misteri Terkuak: Gayo dan Karo Bersaudara

Ritual Mengket Geriten akhirnya menjadi bukti budaya dan sejarah bahwa hubungan darah antara:

  • Suku Gayo, dan

  • Masyarakat Karo bermerga Sinulingga (serta keluarga Ginting, Tarigan, dan Sebayang)

tidak hanya sekadar cerita.


Pernyataan Bupati Gayo Lues

Bupati Gayo Lues saat itu, Ibnu Hasim, menyampaikan:

“Hari ini misteri itu terungkap. Kita perlu mengkaji ulang sejarah Linge dan hubungan dengan Tanah Karo. Kami mengundang keturunan Sibayak Lingga untuk datang ke Gayo, ke tanah asal leluhur. Bila memungkinkan, kita akan mengadakan pertemuan di Linge, bekas pusat kerajaan.”

Acara juga menampilkan Tari Saman, sebagai simbol kebudayaan Gayo yang masih terhubung dengan para keturunan Raja Senina.

Peristiwa ini bukan sekadar adat, melainkan pengingat bahwa sejarah Nusantara penuh alur migrasi, hubungan darah, dan pertalian kerajaan yang belum banyak diteliti. Perjumpaan dua budaya ini membuka peluang untuk penelitian sejarah lebih mendalam dan mempererat hubungan masyarakat Gayo dan Karo sebagai saudara yang terpisahkan waktu.