Hubungan Raja Berempat dan Pendatang: Pola Sosial Karo dalam Pengelolaan Tanah Deli

Dalam sejarah Deli, hubungan antara pribumi Karo dan pendatang dari pihak luar lainnya bukan sekadar proses migrasi atau perebutan kekuasaan. Hubungan ini dibangun melalui struktur adat yang telah lama hidup dalam masyarakat Karo Raja Berempat sebagai pemilik tanah (ulayat) dan pendatang sebagai pihak yang diberi ruang untuk mengelola, memanfaatkan, dan mengembangkan tanah tersebut.

Siapa Raja Berempat Deli Menurut Struktur Karo?

Secara adat, Raja Berempat di Deli bukan berasal dari kategori Melayu, melainkan bagian dari struktur Urung Karo:

Wilayah Pemimpin Identitas
Sunggal Surbakti Karo
Sukapiring Karo Sekali Karo
Senembah Barus Karo
Hamparan Perak* Pelawi Masuk kemudian, awalnya bagian anak beru Sunggal

*Hamparan Perak baru masuk dalam struktur kolonial dan tidak muncul dalam sumber awal seperti John Anderson.

Struktur ini menunjukkan bahwa tanah Deli awalnya merupakan wilayah adat Karo, dibagi dalam urung, bukan kerajaan seperti sistem Melayu.

Pendatang sebagai Pengelola: Bukan Pemilik

Dalam tradisi Karo, tanah bukan sekadar lahan ekonomi, tetapi bagian dari identitas.

Karena itu, saat pendatang datang baik Melayu, Aceh, maupun kemudian kolonial itu tidak otomatis mengubah status tanah.

Sebaliknya, terjadi sebuah pola sosial:

Pendatang boleh membangun kekuasaan, sistem pemerintahan, bahkan kerajaan — tetapi tanah tetap milik struktur adat Karo.

Ini tercermin dalam konsep Ulun Jandi, sebuah istilah yang sering disebut, namun jarang dijelaskan. Ulun Jandi bukan gelar simbolik, melainkan sebuah posisi penentu hak ulayat.

Dalam konteks Deli:

  • Datuk Sunggal → Ulun Jandi

  • Sultan Deli → Anak Beru (secara struktur adat)

Makna hubungan ini bukan "Sultan lebih rendah", tetapi pendatang masuk dalam struktur adat Karo agar bisa mengelola wilayah.

Simbol yang Masih Hidup: Ritual Pemakaman Sultan

Salah satu bukti paling kuat bahwa tanah tetap mengikuti struktur Karo adalah ritual kematian Sultan Deli.

Walaupun Sultan memerintah dengan sistem Melayu, pemakamannya tetap menggunakan musik dan tari Karo, karena saat meninggal, ia:

Tidak kembali sebagai raja pendatang, tetapi sebagai bagian dari struktur ulayat Karo yang ia tempati.

Simbol lain adalah keberadaan bangunan tradisional Karo di kompleks istana bukan dekorasi, melainkan penanda legitimasi bahwa Sultan berada dalam hubungan rumah adat Karo.

Mengapa Orang Melayu Deli Tidak Bebas Masuk Tanah Hulu?

Sumber-sumber awal seperti John Anderson mencatat hal yang menarik:

Orang Melayu tidak berani memasuki wilayah Karo (Hulu), kecuali mereka yang bergaris ibu Karo.

Namun sebaliknya:

Orang Karo bebas bergerak hingga pesisir.

Ini bukan aturan politik, tetapi bentuk pengakuan terhadap struktur kepemilikan tanah yang lebih tua.

Sebuah Sistem Bukan Kebetulan

Hubungan antara Raja Berempat dan pendatang bukan konflik, bukan perebutan kekuasaan, bukan klaim darah murni, tetapi suatu sistem simbiotik kekuasaan:

  • Raja Berempat (Karo): Pemilik tanah, penentu legitimasi ruang.

  • Pendatang (Melayu, kolonial): Pengelola, pemberi sistem administrasi, jalur perdagangan.

Struktur ini mirip pola di:

  • Negeri Sembilan (hubungan Pagaruyung dengan sembilan kerajaan)

  • Sistem Hulu–Hilir di Jambi, Perak, Barus dan Aceh

  • Pola "four-fold kingdom" Asia Tenggara

Dengan kata lain:

Deli bukan sekadar sejarah penguasaan wilayah tetapi contoh hubungan adat, migrasi, dan kekuasaan yang diikat dalam struktur sosial Karo yang lebih tua.