Ketika Bansos Salah Sasaran dan Dipakai untuk Judi Online
Pernyataan Menteri Sosial Saifullah Yusuf (Gus Ipul) membuka kembali satu ironi besar dalam tata kelola bantuan sosial di Indonesia. Dengan anggaran lebih dari Rp 500 triliun, seharusnya program bansos menjadi instrumen penting untuk mempersempit kesenjangan, menurunkan tingkat kemiskinan, dan mendorong keberdayaan masyarakat rentan. Namun faktanya, hampir setengah dari bantuan tersebut tidak tepat sasaran mulai dari PKH, sembako, PIP, hingga subsidi gas LPG 3 kg.
Lebih jauh lagi, temuan bahwa lebih dari 500 ribu penerima bansos tercatat bermain judi online menunjukkan bahwa persoalan bansos bukan hanya soal data administratif, tetapi juga soal moral, mentalitas ketergantungan, dan kegagalan intervensi sosial.
Bansos yang Berubah Fungsi: Dari Solusi Menjadi Ketergantungan
Bantuan sosial seharusnya bersifat sementara dan adaptif, diberikan kepada warga dalam kondisi rentan hingga mereka mampu mandiri kembali. Namun temuan bahwa sebagian penerima mendapatkan bansos selama 10, 15, bahkan 18 tahun, menunjukkan bahwa:
-
Bansos telah menjadi pola hidup, bukan jaring pengaman sementara.
-
Belum ada mekanisme evaluasi kelayakan yang berkala dan kredibel.
-
Tidak ada indikator keberdayaan atau graduation system bagi penerima.
Dengan kata lain, sistem bansos saat ini gagal mendorong kemandirian.
Judi Online sebagai Indikator Rusaknya Akuntabilitas dan Literasi Keuangan
Temuan penerima bansos yang menggunakan dana bantuan untuk judi online mencerminkan masalah struktural:
-
Minimnya literasi finansial.
Bantuan digunakan bukan untuk kebutuhan dasar, tetapi untuk aktivitas spekulatif dan merugikan. -
Tidak adanya pengawasan penggunaan dana.
Bansos cair → habis dalam hitungan jam → kembali miskin → mengklaim bantuan lagi. -
Fenomena moral hazard.
Ketika negara dianggap akan terus memberikan bantuan, sebagian masyarakat kehilangan insentif untuk berubah.
Kasus ini mempertegas bahwa bansos bukan hanya soal distribusi uang, tetapi soal pendidikan sosial, etika, dan perubahan perilaku.
Lebih Banyak Data Tidak Menyelesaikan Masalah—Jika Tidak Diikuti Reformasi
Lahirnya Inpres Nomor 4 Tahun 2025 tentang Data Tunggal Sosial dan Ekonomi Nasional (DTSEN) adalah langkah penting untuk mengatasi kebingungan data lintas kementerian dan daerah. Namun kebijakan ini hanya efektif jika diikuti tiga reformasi:
1. Validasi Berbasis Lapangan (Ground Check)
Data digital hanya awal—verifikasi lapangan tetap wajib untuk memastikan keakuratan.
2. Sistem Exit Strategy
Ada titik akhir penerimaan bansos melalui:
-
Pelatihan kerja
-
Pendampingan sosial
-
Program pemberdayaan ekonomi
Sehingga penerima tidak selamanya bergantung.
3. Penegakan Sanksi
Penerima bansos yang terbukti menyalahgunakan dana untuk judi online harus:
-
dibekukan hak bantuannya,
-
wajib mengikuti konseling keuangan dan ketergantungan digital.
Tanpa sanksi, bansos akan terus dilihat sebagai hak permanen, bukan fasilitas sementara.
Temuan ini bukan sekadar soal data penerima yang tidak tepat. Ini adalah sinyal bahwa sistem bantuan sosial Indonesia tengah mengalami krisis fungsi, dari alat pemberdayaan menjadi alat dependensi.
Jika pemerintah tidak segera memperbaiki tata kelola, pengawasan, serta membangun budaya tanggung jawab penerima, maka anggaran ratusan triliun hanya akan berputar tanpa arah dan sebagian darinya berakhir di meja judi.
Bansos seharusnya menjadi tangan yang mengangkat, bukan ketergantungan yang mematikan potensi bangsa.
