Kiras Bangun: “Si Mata Merah” dari Tanah Karo

Di Tanah Karo, nama Kiras Bangun bukan sekadar legenda. Ia adalah simbol perlawanan, juru damai, sekaligus pemimpin yang berani menentang kekuasaan kolonial. Dikenal dengan julukan Garamata atau “Si Mata Merah”, Kiras Bangun menjadi tokoh sentral dalam perjuangan masyarakat Karo melawan penjajahan Belanda di awal abad ke-20.

Pemimpin yang Lahir dari Rakyat

Kiras Bangun lahir pada 1852 di Batu Karang, Tanah Karo, Sumatera Utara. Bahkan beliau tidak menempuh pendidikan formal, tetapi kecerdasannya menonjol. Ia menguasai Bahasa Melayu, aksara Karo, dan huruf Latin, menjadikannya figur langka pada masanya.

Kepiawaiannya berbahasa dan bernegosiasi membuatnya dihormati bukan hanya di Karo, tetapi juga di kalangan lintas etnis dan agama. Dalam kehidupan sosial, ia menjabat berbagai peran penting: Ketua Urung Lima Senina, Penghulu, Juru Damai, dan Pemimpin Urung Tanah Karo.

Sang Juru Damai yang Menjadi Panglima

Pada masa itu, konflik antarurung (desa) sering pecah di Tanah Karo. Kiras Bangun tampil sebagai penengah dan pemersatu, berhasil meredam permusuhan antarkampung. Namun ketika Belanda mulai memperluas kekuasaan ke dataran tinggi Karo, ia berubah dari juru damai menjadi pemimpin perlawanan.

Penolakan Kiras terhadap penawaran Belanda seperti  uang, jabatan, hingga senjata adalah titik balik perjuangan beliau. Saat Belanda mengirim pendeta Guillaume ke Karo pada 1902 dengan kawalan bersenjata, Kiras Bangun menolak keras. Penolakan itu membuat Belanda murka, dan perang pun tak terelakkan lagi.

Perang Tanah Karo

Kiras Bangun segera menghimpun kekuatan besar lebih dari 3.000 pasukan dari berbagai suku dan agama. Ia membangun benteng di Batukarang dan memimpin strategi gerilya yang membuat Belanda kesulitan menembus pertahanan rakyat.

Namun, pada 6 September 1904 Belanda melancarkan serangan besar dan dua hari kemudian setelah serangan itu, mereka berhasil merebut Kabanjahe, Lingga dan Lingga Julu. Kiras Bangun mundur ke Benteng Tembusuh, sebelum akhirnya Batukarang jatuh ke tangan Belanda.

Meski demikian, semangat perlawanan beliau tak pernah padam. Selama sepuluh bulan setelah Batukarang direbut Kiras Bangun terus memimpin perlawanan rakyat Karo dari hutan-hutan.

Pengasingan dan Gerakan Bawah Tanah

Belanda kemudian menawarkan pengampunan umum (Opportuniteits Beginsiel) untuk memancing para pejuang keluar dari persembunyian. Banyak yang menyerah, dan akhirnya Kiras Bangun tertangkap, lalu dibuang ke Riung.

Setelah dibebaskan pada 1909, beliau tetap diawasi, namun beliah tak berhenti berjuang dan bersama dua anaknya, ia melanjutkan gerakan bawah tanah antara tahun 1919–1926, hingga akhirnya ditangkap lagi dan dibuang ke Cipinang.

Akhir Hayat dan Warisan Perjuangan

Di usia senjanya, Kiras Bangun kembali ke tanah kelahirannya di Batukarang. Kiras Bangun meninggal pada 10 Oktober 1942, tetap dikenang sebagai pemimpin yang tak pernah tunduk. Lebih dari enam dekade kemudian, pada 7 November 2005, pemerintah Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional, pengakuan atas perjuangan panjang “Si Mata Merah” yang membakar semangat rakyat Karo melawan penjajahan.

“Kiras Bangun bukan hanya pejuang bersenjata, tapi penjaga martabat Tanah Karo — seorang yang membuktikan bahwa kecerdasan, keberanian, dan cinta pada tanah lahir mampu melampaui kekuasaan penjajah.”