Legenda Rumah Sipitu Ruang dan Asal Usul Merga Seragih: Kisah Raja Umang, Beru Buaten, dan Raja Sori

Di tanah Karo, terdapat sebuah legenda tua yang diwariskan dari generasi ke generasi. Kisah ini bukan sekadar cerita rakyat, tetapi menjadi dasar bagi identitas sosial, struktur kekerabatan, dan sejarah beberapa merga (marga) besar di Tanah Karo. Cerita ini bermula dari seorang gadis bernama Beru Buaten, putri dari Sibayak Ajinembah.

Pertemuan Beru Buaten dan Raja Umang

Suatu hari, Beru Buaten pergi ke hutan dekat Kampung Ajinembah untuk mengumpulkan kayu bakar. Di tempat itulah ia bertemu dengan sosok misterius Raja Umang, makhluk setengah manusia dan setengah roh. Raja Umang jatuh hati padanya dan melamarnya.

Beru Buaten bersedia menikah, tetapi dengan satu syarat:

Raja Umang harus membangun sebuah rumah megah dengan tujuh ruangan (Rumah Sipitu Ruang) untuk ayahnya, Sibayak Ajinembah.

Raja Umang menyetujui permintaan tersebut.

Rumah Misterius yang Dibangun Dalam Tujuh Malam

Beberapa malam setelah lamaran itu, warga Ajinembah mendengar suara ramai seperti orang bekerja membangun rumah tetapi mereka tidak melihat seorang pun.

Suara itu terdengar selama tujuh malam.

Ketika matahari terbit pada hari setelah malam ketujuh, sebuah rumah besar telah berdiri Rumah Tujuh Ruangan, hasil kerja para umang. Warga pun yakin bahwa pekerjaan itu bukan dilakukan manusia biasa, melainkan oleh makhluk roh.

Pernikahan dan Awal Kekacauan

Hari peresmian rumah kebetulan bersamaan dengan hari pernikahan Beru Buaten dan Raja Umang. Namun dua acara itu berlangsung di tempat berbeda:

  • Di dalam rumah: pihak kalimbubu melaksanakan upacara peresmian rumah.

  • Di luar rumah: pihak anak beru mengadakan pesta pernikahan dengan iringan musik gendang teba.

Istri Sibayak Ajinembah, yang sedang berada di dalam rumah, tertarik dengan musik gendang di luar. Ia keluar untuk melihat pesta tersebut. 

Hal ini dianggap pelanggaran adat oleh pihak keluarga Raja Umang. Mereka marah, menghentikan pernikahan, dan meninggalkan Ajinembah. Raja Umang dan Beru Buaten melarikan diri ke puncak Gunung Sibuaten dan dipercaya masih tinggal di sana hingga kini.

Tamu Tidak Pergi dan Sibayak Ajinembah Kehabisan Ternak

Kekacauan belum selesai.

Para tamu terus memasuki rumah melalui pintu hilir, makan, keluar melalui pintu hulu, lalu masuk lagi  berulang selama berhari-hari seolah tidak pernah kenyang.

Karena mengikuti adat, Sibayak Ajinembah harus menyiapkan makanan tak terbatas. Semua ternaknya disembelih.

Hingga akhirnya hanya tersisa dua kerbau Nanggalutu yang sangat besar, milik putranya Raja Sori. Konon delapan orang dapat duduk di atas punggung kerbau itu sambil bermain catur.

Karena putus harapan, Sibayak Ajinembah menyembelih kerbau jantan.

Amarah Raja Sori dan Perjalanan ke Raya

Saat pulang dan mengetahui kerbau jantannya telah dibunuh, Raja Sori marah besar dan berniat membunuh ayahnya. Ibunya mencegahnya dan mengirimnya pergi kepada pamannya, raja di Raya.

Dalam perjalanan, Raja Sori menunggangi kerbau Nanggalutu betina dan ditemani tujuh pelayan. Namun di tengah jalan, para pelayan berkhianat. Mereka memaksa Raja Sori turun dan memperlakukannya seperti budak.

Sesampainya di kerajaan Raya, sang raja menerima para pelayan sebagai keponakannya dan Raja Sori sebagai pelayan. Namun ia curiga karena perilaku Raja Sori menunjukkan sifat bangsawan, sementara “para pangeran” justru bersikap seperti abdi.

Untuk menguji mereka, ia meminta masing-masing mencabut sebuah pisau warisan yang dahulu ditinggalkan Sibayak Ajinembah. Tidak satu pun yang berhasil kecuali Raja Sori.

Identitas asli pun terungkap.

Pernikahan Raja Sori dan Asal Usul Marga Seragih

Raja Raya kemudian menikahkan Raja Sori dengan putrinya. Dari tujuh putrinya, lewat ritual pengalo-alo (ramalan), putri bungsulah yang dipilih.

Sebagai hadiah, Raja Raya bertanya:

"Tanah bagian mana yang ingin kau terima sebagai pemberian?"

Raja Sori menjawab:

"Seluas tanah yang dapat dilingkari tali ini."

Tali itu ternyata terbuat dari kulit kerbau Nanggalutu betina yang telah ia sembelih secara diam-diam.

Ketika tali itu dibentangkan, ia mengelilingi seluruh wilayah Raya.

Sejak saat itu, wilayah Raya menjadi tanah milik marga Seragih, keturunan Raja Sori.

Sebelumnya wilayah tersebut dimiliki marga Purba, yakni keluarga pihak istri Raja Sori. Marga Purba kemudian pindah dan membuka wilayah baru.

Pemulihan Ajinembah dan Kedatangan Sibayak Barus Jahe

Sementara itu di Ajinembah, tamu-tamu masih terus datang dan makan tanpa henti. Dalam keputusasaan, Sibayak Ajinembah pergi ke sungai untuk mencuci muka.

Di permukaan air, ia melihat bayangan seseorang berdiri di belakangnya Sibayak Barus Jahe, ditemani saudara perempuan yang sekaligus kekasihnya, hubungan terlarang yang membuat mereka diusir dari Barus.

Melihat wajah Sibayak Ajinembah yang tampak putus asa, Sibayak Barus Jahe menanyakan masalahnya. Setelah mendengar cerita, ia berkata bahwa ia dapat menghentikan kekacauan itu.

Ia membuat tepung tawar, lalu mengoleskannya sebagai putar di dahi setiap tamu yang masuk rumah.

Seketika, para tamu sadar seolah bangun dari mimpi panjang dan berhenti makan tanpa henti. Mereka pulang tanpa marah atau bertanya.

Sebagai rasa terima kasih, Sibayak Ajinembah menerima Sibayak Barus Jahe sebagai kalimbubu dan memberinya wilayah dari Si Pitu Kuta untuk menjadi tanahnya sendiri.