Makna Lagu “Piso Surit”: Simbol Kerinduan di Tengah Perang

Lagu Piso Surit dikenal sebagai salah satu karya legendaris dari budaya Karo yang sarat akan nilai sejarah dan emosi. Lagu ini menggambarkan kisah asmara para muda-mudi Karo pada masa perjuangan melawan Agresi Militer Belanda di Indonesia. Liriknya merepresentasikan suara hati seorang gadis yang menumpahkan kerinduannya kepada alam, sambil menunggu kekasihnya yang telah lama pergi berjuang dan tak kunjung kembali.
Menariknya, banyak orang salah mengartikan nama Piso Surit sebagai sejenis senjata atau pisau adat Karo. Padahal sebenarnya, istilah tersebut merujuk pada suara seekor burung yang terdengar seperti memanggil terus-menerus dengan nada sendu. Di dalam bahasa Indonesia burung ini dikenal sebagai kacer, sementara dalam bahasa Karo disebut pincala (Pisoserit).
Burung pincala memiliki perilaku unik dalam berkembangbiak. Ketika bertelur, induk betina akan meninggalkan sarangnya, dan justru burung jantanlah yang mengerami telur-telur tersebut hingga menetas. Akibatnya, anak burung pincala tumbuh tanpa pernah mengenal induknya. Karakter alamiah inilah yang menjadi inspirasi bagi Djaga Depari untuk mempersonifikasikan kesedihan dan kesepian seorang gadis yang menunggu kekasih tercinta.
Walaupun lagu ini sering dinyanyikan oleh perempuan, sebenarnya makna yang dibawa menjangkau kedua sisi. Lagu Piso Surit juga menjadi ungkapan rindu para pemuda pejuang yang berada di medan perang dan tidak mengetahui di mana keberadaan kekasih mereka karena kondisi pengungsian pada masa itu. Lagu ini menjadi simbol komunikasi emosional antara dua hati yang terpisah oleh perang dan keadaan.
Seiring berkembangnya zaman, karya ini kemudian direinterpretasi melalui pendekatan seni modern. Lagu Piso Surit kembali diangkat dalam bentuk komposisi musik multimedia, dengan memodifikasi alat musik tradisional Karo seperti kulcapi, keteng-keteng, dan gong menjadi instrumen digital atau MIDI. Komposisi tersebut juga dipadukan dengan instrumen elektronik, analog, serta elemen soundscape dan sound sampling untuk menciptakan suasana yang lebih imersif dan membangkitkan imajinasi pendengar.
Interpretasi baru ini tetap mempertahankan inti cerita: seorang gadis yang diibaratkan sebagai burung pincala, terjerat rindu yang begitu dalam menanti kepulangan kekasih yang sedang memperjuangkan kemerdekaan tanah air.