Megawati Soekarno Putri Diberi Merga Karo “Beru Perangin-angin” Kisah di Balik Acara Mburo Ate Tedeh Tahun 1993

Awal tahun 1993 menjadi catatan bersejarah bagi masyarakat Karo, khususnya di perantauan Jakarta. Dalam acara Mburo Ate Tedeh, sebuah pertemuan silaturahmi masyarakat Karo Jakarta Raya—terutama dari wilayah Jakarta Timur—yang digelar di Pusdikes TNI AD Cililitan, Megawati Soekarnoputri untuk pertama kalinya diosei atau dipakaikan busana adat Karo, sekaligus ditabalkan menjadi beru Perangin-angin.

Lebih dari seribu warga Karo hadir menyaksikan momen langka itu. Dalam dokumentasi acara tampak Nyonya Selamat Ginting beru Manik (alm) dan penata busana adat Ida Barus, sedang memakaikan busana adat serta tudung Karo kepada Megawati, disaksikan Ibu S. Munthe dan Nd. Jengok Sebayang beru Bangun (alm).

Pertemuan Pertama Megawati dengan Warga Karo

Itulah pertama kalinya Megawati bertemu langsung dengan masyarakat Karo dalam jumlah besar. Beberapa tokoh Karo pecinta Bung Karno di Cililitan datang kepada penulis agar membantu menyampaikan permohonan supaya Mbak Mega bersedia hadir menerima beras piher dan diosei busana serta tudung Karo dalam satu pesta adat Mburo Ate Tedeh.

Ketika pesan itu disampaikan, Megawati sempat berkata serius:

“Apa berani orang Karo ketemu saya? Ini kan zaman Orde Baru,”
ucapnya sambil menambahkan, “Kalau saya tidak akan ditangkap?”

Penulis menjawab dengan yakin, “Kami berani, Mbak.”
Akhirnya, Megawati dan Bang Taufik Kiemas (alm) menyatakan kesediaannya datang.

Panitia dan Tokoh Karo yang Terlibat

Panitia acara dibentuk dan diketuai oleh Kolonel (Pur) Marinir Pertua K. Sipayung Nd. Jengok, bersama Ramli Barus, Pa Sabah Sitepu (alm), dan beberapa orang lainnya.
Penulis kemudian menemui tokoh PNI sekaligus pengagum Bung Karno, Selamat Ginting Kilap Sumagan, agar hadir memberikan wejangan kepada Mbak Mega untuk tetap berani menghadapi tekanan Orde Baru.

Prosesi Adat dan Penabalan Merga

Dalam prosesi adat itu, Mbak Mega diberi beras piher, sebuah simbol doa dan restu agar tetap sehat, panjang umur, serta dijauhkan dari mara bahaya.
Setelah itu, ia ditabalkan menjadi beru Perangin-angin, tanda penghormatan dan penerimaan sebagai bagian dari keluarga besar masyarakat Karo.

Megawati tampak haru dan menyampaikan rasa terima kasih kepada masyarakat Karo, yang menurutnya banyak di antara mereka adalah pencinta dan penerus semangat ayahandanya, Ir. Soekarno.

Semangat Perlawanan dari Selamat Ginting

Dalam sambutannya, Selamat Ginting memberikan wejangan yang berapi-api, menyemangati Megawati agar tidak takut melawan ketidakadilan.
“Jangan mundur, Mbak. Semangat Bung Karno masih hidup di hati orang Karo,” ucapnya kala itu.

Acara diakhiri dengan menari bersama dan suasana penuh kegembiraan.
Beberapa hari kemudian, panitia sempat dipanggil oleh pimpinan Pusdikes karena acara tersebut tidak dilaporkan akan dihadiri Megawati. Namun Pertua K. Sipayung dengan tenang menjawab:

“Apa salah kalau Mbak Mega hadir?”
Pihak Pusdikes pun mempersilakan panitia pulang tanpa masalah.

Kenangan yang Tak Terlupakan

Kini, tepat 23 Januari, Megawati Soekarnoputri genap berusia 73 tahun. Namun, kenangan tahun 1993 itu tetap hidup di ingatan masyarakat Karo—ketika putri Bung Karno pertama kali diosei busana adat Karo, menerima beras piher, dan ditabalkan menjadi beru Perangin-angin, di tengah masa Orde Baru yang penuh tekanan politik.