Pa Lagan: Pendiri Kerajaan Aru, Cikal Bakal Karo Kuno yang Perkasa di Sumatera
![]()  | 
| Raja Berempat + Anak Beru Tua | 
Di antara kabut tipis dataran tinggi Sumatera, tersimpan kisah tentang seorang raja besar yang menjadi tonggak lahirnya peradaban Karo kuno. Namanya Pa Lagan, sosok yang dalam tradisi lisan dipercaya sebagai pendiri dan raja pertama Kerajaan Aru (Haru), kerajaan tua yang menjadi akar sejarah suku Karo dan pernah menjadi kekuatan besar di Pulau Sumatera.
Asal-Usul dan Kebesaran Aru
Kerajaan Aru (Karo: Haru) disebut dalam berbagai sumber dengan nama yang beragam: A-Lu, Aré, Haro, Haroharo, Karéé, Karau, Karo, hingga Ya-Lu. Awalnya, pusat pemerintahan Aru diyakini terletak di sekitar Teluk Aru, yang kini termasuk wilayah Kabupaten Langkat.
Seorang pujangga India bernama Brahma Putro dalam bukunya “Karo dari Zaman ke Zaman” menulis bahwa Kerajaan Aru telah berdiri sejak awal abad Masehi. Namun, dalam tradisi tutur masyarakat Karo, kerajaan ini diyakini berdiri sekitar tahun 628 Masehi, dengan Pa Lagan sebagai raja pertamanya — sosok yang digambarkan sebagai pemimpin bijak dan tangguh.
Aru dalam Catatan Dunia
Kisah Aru tidak hanya hidup dalam tradisi lokal. Catatan seorang pelaut Tiongkok, Fahien, pada tahun 414 M, juga menyinggung sebuah wilayah bernama Ya-Lu, yang diyakini sebagai Aru atau Haru, meski letaknya tidak disebutkan secara pasti.
Pada abad ke-9 Masehi, berbagai catatan Asia menyebut sejumlah kerajaan di Sumatera seperti Rami (Lamuri di Aceh), Balus (Barus), Melayu, dan Harlanj (Haru atau Karo), menunjukkan bahwa Aru termasuk di antara kerajaan-kerajaan besar dan berpengaruh pada masa itu.
Perang, Perpecahan, dan Keteguhan
Sekitar tahun 860 M, Kerajaan Aru diserang oleh Sriwijaya, namun serangan itu gagal menaklukkan Aru. Meski demikian, perang tersebut menyebabkan banyak penduduk berpindah ke wilayah Alé (Delitua) dan dataran tinggi Karo. Perpindahan besar-besaran ini menandai berpindahnya ibu kota Aru ke pedalaman, sekaligus memicu perpecahan menjadi beberapa kerajaan kecil yang berdiri secara independen di pesisir maupun di dataran tinggi.
Dari masa inilah muncul istilah “kalak jahé” (Karo jahé), sebutan bagi masyarakat Karo yang tinggal di wilayah hilir serta “kalak dusun”, untuk mereka yang mendiami daerah antara dataran tinggi dan pesisir.
Aru dan Sumpah Palapa
Kebesaran Aru tercatat pula dalam naskah klasik Pararaton, melalui Sumpah Palapa yang diucapkan oleh Mahapatih Gajah Mada pada tahun 1336 M. Dalam sumpahnya, Gajah Mada menyebut “Haru” di antara wilayah yang hendak dipersatukan di bawah panji Majapahit:
“Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tañjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa.”
Penyebutan nama Haru dalam sumpah itu membuktikan betapa besar dan berpengaruhnya Kerajaan Aru pada zamannya, kerajaan yang tak mudah ditaklukkan bahkan oleh kekuatan besar seperti Majapahit.
Akhir Kejayaan Aru
Seiring waktu, Aru terus bertahan dalam berbagai bentuk pemerintahan lokal hingga memasuki masa kolonial. Belanda, yang menyadari sulitnya menaklukkan Tanah Karo dengan kekuatan militer, menggunakan politik perpecahan. Baru pada tahun 1908, mereka benar-benar berhasil menguasai wilayah Aru, setelah menaklukkan Kerajaan Aru-Kuta Buluh (Kesebayaken Kuta Buluh).
Raja terakhir, Sibayak Batiren Peranginangin (Pa Tolong), dijatuhi hukuman kurungan seumur hidup  menandai berakhirnya kedaulatan Aru di bawah tangan penjajah.
Makna Nama Pa Lagan
Dalam bahasa Karo, nama Pa Lagan memiliki arti “PAGUH” (bahasa karo), melambangkan pribadi yang teguh, berpendirian kuat, dan pantang menyerah. Gelar seperti ini dalam budaya Karo tidak diberikan sembarangan; ia lahir dari pengakuan atas sifat, keahlian, dan jasa besar seseorang bagi masyarakatnya.
Warisan Pa Lagan untuk Karo
Lebih dari sekadar nama dalam legenda, Pa Lagan adalah simbol kebesaran dan keteguhan identitas Karo. Dari telapak kakinya lahir peradaban yang meninggalkan jejak kuat di sepanjang pesisir timur Sumatera hingga dataran tinggi.
Ia bukan hanya raja pertama, tetapi juga pembentuk jiwa Karo yang pantang tunduk, dan teguh dalam menjaga marwah leluhur.
