Raja Berempat: Warisan Budaya Austronesia dalam Struktur Sosial Karo (Bukan Pengaruh Aceh)

 

Selama puluhan tahun, banyak tulisan sejarah dan folklor menyebut bahwa sistem Raja Berempat di wilayah Deli dan Karo berasal dari pengaruh Kerajaan Aceh saat menaklukkan Kerajaan Haru. Salah satu referensi terkenal yang memperkuat narasi ini adalah buku "Adat Istiadat Karo" karya P. Tamboen (1952) yang menyebut bahwa empat pemimpin Sibayak Barus Jahe, Sibayak Lingga, Sibayak Suka, dan Sibayak Sarinembah diangkat oleh otoritas Aceh.

Namun, berbagai penelitian terbaru serta kajian antropologi membantah narasi tersebut. Sistem Raja Berempat bukanlah warisan Aceh, melainkan bagian dari struktur sosial dan kosmologi yang jauh lebih tua, yang tersebar luas di Asia Tenggara dan berbagai wilayah masyarakat Austronesia.

Artikel ini mengajak kita melihat lebih dalam jejak struktur Raja Berempat sebagai sistem kuno, tidak hanya di Karo, tetapi dalam konteks budaya luas di Nusantara dan dunia.

Asal-Usul Mitos: Raja Berempat dan Narasi Penaklukan Aceh

Narasi yang berkembang menyebutkan bahwa setelah Gocah Pahlawan tokoh militer Aceh berhasil menaklukkan Kerajaan Haru, Aceh lalu membawa sistem pemerintahan baru ke masyarakat lokal, termasuk Deli dan Karo.

Cerita ini kemudian diulang dalam berbagai publikasi, dokumen kolonial, dan bahkan sumber akademis awal, hingga masyarakat menganggapnya sebagai sejarah absolut.

Namun, ada masalah besar:

Tidak ada bukti sejarah kuat yang menunjukkan Aceh menciptakan atau memperkenalkan sistem Raja Berempat kepada masyarakat Karo.

Sebaliknya, sistem ini justru memiliki akar yang jauh lebih tua dan bersifat kosmologis, bukan administratif.

Sistem Raja Berempat: Bukan Milik Aceh, Tapi Bagian dari Pola Austronesia

Walau Aceh mengenal sistem Si Empat Sagi, struktur serupa ternyata ditemukan di berbagai wilayah lain, bahkan pada masyarakat yang tidak memiliki hubungan politik atau genealogis langsung dengan Aceh.

Beberapa contoh:

Wilayah / Budaya Sistem Makna
Aceh Si Empat Sagi Struktur administratif
Minangkabau Ampek Suku 4 klan utama
Batak Raja Marompat → Raja Na Walu 4 penjuru → 8 ekspansi
Alas Si Empat Dewal Model kosmologi
Karo Guru Perdiwel-diwel / Raja Berempat Sistem sosial dan spiritual
Jawa Macapat (Manca Empat) → Wali Songo Dari sistem 4 → 9 penjuru
Maluku Pata Siwa Struktur adat
Papua Raja Ampat Empat wilayah inti
Malaysia Negeri Sembilan Sistem hukum adat numerik

Kesamaan pola ini menunjukkan:

Sistem Raja Berempat berakar dari pola kosmologi Austronesia yang menjadikan empat penjuru mata angin sebagai dasar struktur masyarakat.

Dengan kata lain, bukan Aceh yang menciptakan sistem ini Aceh sendiri hanya bagian dari tradisi budaya yang lebih besar.

Simbolisme Angka: 4, 5, 8, 9, dan 20

Dalam tradisi Austronesia, angka bukan sekadar hitungan matematika, tetapi kode struktur sosial.

Beberapa pola simbolis:

Angka Makna Contoh
4 Penjuru dunia, arah, pembagian wilayah Raja Berempat, Macapat, Raja Marompat
5 Siklus waktu, harmoni Kalender 5 hari (pasaran), konsep desa di Jawa & Karo
8 Pengembangan 4 (ayah + anak boru / dual lineage) Desa Si Waluh, Raja Na Walu
9 Kesempurnaan penjuru (8 arah + pusat) Belo Siwah / Wali Songo
20 Struktur kosmologi lengkap Belo Siwah Sepulu Sa (9 + 11)

Pada masyarakat Karo, struktur Belo Siwah yang berarti sembilan memiliki makna:

Delapan arah penjuru angin + satu pusat harmoni.

Struktur inilah yang menjadi fondasi model Raja Berempat, termasuk hubungan Sembuyak, Senina, Anak Beru, dan Kalimbubu.

Perbedaan Makna Kata "Desa" di Karo dan Jawa

Salah satu poin menarik dalam artikel asal adalah penjelasan tentang kata desa.

  • Di Jawa → desa berarti kampung

  • Di Karo → desa berarti arah mata angin

Ini menunjukkan dua hal:

  1. Kedua budaya pernah dipayungi sistem yang sama, yaitu pembagian wilayah berdasarkan arah kosmologi.

  2. Perubahan makna terjadi karena pengaruh Sanskerta, agama, dan kolonisasi.

Dalam sistem lama, baik Jawa maupun Karo menggunakan kalender 5 hari dalam sepekan, jauh sebelum masuknya sistem 7 hari versi Eropa.

Masyarakat Karo tidak pernah mengenal sistem monarki tunggal atau pimpinan tertinggi yang memegang otoritas absolut.

Artinya:

  • Mustahil Aceh bisa menunjuk atau mengangkat pemimpin tertinggi di Karo.

  • Sistem sosial Karo tidak berbasis pusat kekuasaan, tetapi jaringan relasi kekeluargaan dan kosmologi adat.

Dengan kata lain:

Narasi “Aceh yang mengangkat Raja Berempat” tidak masuk akal secara struktur sosial.

Sistem Ini Ada di Luar Nusantara

Salah satu hal paling menarik adalah bahwa konsep kosmos empat penjuru + pusat juga ditemukan di:

  • Asia Timur

  • Polinesia

  • Amerika Tengah (Maya & Aztec)

  • Jerusalem kuno

  • Struktur bangunan piramida dan kuil

Struktur Borobudur pun mengikuti model Manca Empat → Wali Songo → Belo Siwah, menunjukkan adanya keterhubungan pola spiritual yang sangat tua.

Sistem Raja Berempat adalah Identitas Karo yang Sangat Tua

Melalui jejak arkeologis, antropologi, linguistik, dan struktural, terlihat jelas bahwa:

✔ Sistem Raja Berempat bukan ciptaan Aceh
✔ Bukan sistem politik yang dibawa pendatang
✔ Bukan hasil penaklukan militer

Sebaliknya:

Raja Berempat adalah struktur sosial kuno masyarakat Austronesia yang sudah hidup dalam kultur Karo sejak awal terbentuknya masyarakat itu sendiri.

Memahami sejarah tidak hanya tentang mencari siapa yang duluan atau siapa yang memerintah. Sejarah adalah upaya mengenali akar identitas, menghormati pengetahuan leluhur, dan meletakkan budaya pada tempat yang benar.

Dengan meninjau ulang narasi Raja Berempat, kita tidak hanya meluruskan kekeliruan sejarah, tetapi juga:

✨ Menguatkan kebanggaan identitas Karo
✨ Mengembalikan sistem adat pada konteks kosmologi leluhur
✨ Memahami bahwa budaya Karo bukan turunan, tetapi bagian dari peradaban besar Austronesia