Rakutta Sembiring Brahmana: Bupati Tanah Karo yang Tegas dan Merakyat

Dalam lembar sejarah pemerintahan daerah pascakemerdekaan, nama Rakutta Sembiring Brahmana menempati posisi penting sebagai salah satu tokoh sipil yang mengabdi dengan ketegasan dan kesederhanaan. Ia menjabat sebagai Bupati Tanah Karo periode 1950–1957, masa yang menuntut kepemimpinan kuat di tengah situasi sosial-politik yang belum stabil.
Dari Aktivis Pergerakan ke Kursi Pemerintahan
Rakutta lahir di Desa Limang, Tiga Binanga, 4 Agustus 1914. Sejak muda, ia dikenal aktif dalam pergerakan nasional. Setelah menempuh pendidikan di Taman Siswa Medan, Rakutta terjun ke organisasi Partindo pada awal 1940-an. Saat Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, semangat perjuangan itu ia lanjutkan lewat Barisan Pemuda Indonesia (BPI) dan Komite Nasional Indonesia Tanah Karo (KNITK).
Perjalanan panjangnya di dunia pergerakan membentuk karakter kepemimpinan yang visioner dan berjiwa rakyat. Ketika struktur pemerintahan daerah mulai dibangun pascarevolusi sosial di Sumatera Timur, Rakutta dipercaya memimpin Tanah Karo sebagai bupati generasi awal setelah kemerdekaan.
Memimpin di Tengah Gejolak
Memimpin Tanah Karo pada awal 1950-an bukan perkara mudah. Situasi politik dan ekonomi Indonesia baru saja pulih dari perang kemerdekaan. Namun, Rakutta dikenal tangguh dan disiplin. Dalam berbagai catatan sejarah, ia digambarkan sebagai pemimpin yang gesit, tegas, dan berani mengambil keputusan cepat.
Di masa pemerintahannya, Rakutta memfokuskan kebijakan pada pendidikan dan pemberantasan buta huruf. Ia mewajibkan masyarakat belajar membaca dan menulis. Jika ada yang menolak, Rakutta tak segan menegur langsung — sebuah gambaran kepemimpinan yang keras tapi penuh tanggung jawab.
Tak hanya di bidang pendidikan, Rakutta juga aktif mengelola sistem pemerintahan yang masih baru. Ketika situasi keamanan belum stabil akibat ancaman agresi Belanda, ia beberapa kali memindahkan pusat pemerintahan dari Kabanjahe ke Tigabinanga, Kutacane, hingga kembali lagi ke Kabanjahe pada tahun 1950. Keputusan itu dilakukan demi menjaga kesinambungan pemerintahan rakyat.
Sosok yang Dihormati Tentara dan Rakyat
Kedekatan Rakutta dengan para tokoh militer republik seperti Letjen Djamin Gintings dan Raja Sjahnan menunjukkan bagaimana kuatnya hubungan sipil-militer saat itu. Banyak veteran perang mencatat Rakutta sebagai figur yang menghormati perjuangan tentara tanpa kehilangan empati pada rakyat kecil.
Veteran A.R. Surbakti menulis bahwa Rakutta adalah salah satu “juru penerangan yang tak terlupakan sepanjang masa.” Ia bukan hanya birokrat, tapi juga pejuang yang memahami denyut nadi rakyat.
Gaya Hidup Sederhana dan Integritas Tinggi
Setelah menjabat di Tanah Karo, Rakutta kemudian dipercaya sebagai Bupati Asahan (1953–1959) dan Walikota Pematangsiantar (1960–1964). Selama lebih dari 18 tahun menjadi kepala daerah, ia dikenal tak pernah menumpuk kekayaan.
Menurut catatan Suprayitno, sejarawan Universitas Sumatra Utara, Rakutta hidup sangat sederhana. Ia mendidik anak-anaknya agar hemat, bahkan pakaian dibuat longgar supaya tahan lama. Prinsip ini menunjukkan betapa ia menolak gaya hidup mewah di tengah jabatannya.
Kesederhanaan itu pula yang membuat Rakutta disegani. Warga mengenangnya sebagai pemimpin yang mudah ditemui, sering duduk bersama rakyat di warung kopi, bahkan bermain catur dengan warga tanpa batas jabatan.
Akhir Perjalanan Seorang Abdi Negara
Rakutta Sembiring Brahmana wafat di Kabanjahe pada 28 Januari 1964, dalam usia 49 tahun. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kabanjahe. Namanya kini diabadikan sebagai salah satu nama jalan utama di Tanah Karo, tanda penghormatan atas dedikasi dan pengabdiannya.
Kepemimpinan Rakutta Sembiring Brahmana menjadi simbol bahwa jabatan publik seharusnya dijalankan dengan integritas, keberanian, dan kesederhanaan. Dalam sejarah Tanah Karo, ia bukan hanya seorang bupati, tetapi teladan moral bagi generasi pemimpin daerah berikutnya.