Rocky Gerung: Filsuf Kritis dan Intelektual Publik yang Menyalakan Akal Sehat Indonesia

Rocky Gerung adalah filsuf dan intelektual publik Indonesia yang dikenal karena pemikirannya tentang demokrasi, kebebasan berpikir, dan rasionalitas kritis.

Pendahuluan: Intelektual yang Menggugah Kesadaran Publik

Dalam lanskap pemikiran Indonesia modern, nama Rocky Gerung menempati posisi unik. Ia bukan sekadar dosen filsafat atau pengamat politik, tetapi juga simbol kebebasan berpikir yang berani melawan arus dominan. Melalui kritiknya yang tajam dan logika yang rasional, Rocky mengajak publik untuk tidak hanya berpikir kritis, tetapi juga berani mempertanyakan otoritas yang dianggap mutlak.

Kehadirannya di ruang publik, baik di televisi maupun forum akademik, sering menjadi katalis perdebatan intelektual yang memantik kesadaran kritis masyarakat Indonesia terhadap konsep demokrasi, etika publik, dan moralitas kekuasaan.

Awal Kehidupan dan Latar Pendidikan

Rocky Gerung lahir pada 20 Januari 1959 di Manado, Sulawesi Utara. Ia adalah putra dari keluarga yang menaruh perhatian besar pada pendidikan dan kebebasan berpikir. Adiknya, Grevo Gerung, juga merupakan akademisi yang kini mengajar di Universitas Sam Ratulangi.

Pada tahun 1979, Rocky memulai studinya di Universitas Indonesia (UI). Awalnya ia masuk ke Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, namun kemudian beralih ke Ilmu Filsafat di Fakultas Sastra (kini Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya). Keputusan ini menjadi titik balik penting dalam hidupnya.

Selama masa kuliah, Rocky banyak berinteraksi dengan para aktivis dan intelektual berhaluan sosialisme-demokratik, seperti Marsillam Simanjuntak dan Hariman Siregar. Dari sinilah gagasan-gagasan awal tentang etika, keadilan, dan rasionalitas politik mulai terbentuk. Ia lulus sebagai Sarjana Sastra dengan fokus pada filsafat politik dan teori keadilan.

Perjalanan Akademik: Mendidik Logika dan Akal Sehat

Setelah lulus, Rocky tidak langsung meninggalkan dunia akademik. Ia kembali ke kampus sebagai dosen di Departemen Ilmu Filsafat Universitas Indonesia, mengajar berbagai mata kuliah seperti Filsafat Politik, Seminar Teori Keadilan, dan Metodologi Penelitian Filsafat.

Selama lebih dari 15 tahun, Rocky dikenal sebagai pengajar yang menantang mahasiswanya untuk berpikir kritis dan tidak mudah menerima dogma. Beberapa di antara mahasiswanya kemudian menjadi tokoh publik, salah satunya adalah Dian Sastrowardoyo, yang pernah dibimbing olehnya dalam studi filsafat.

Karier akademiknya sempat berhenti pada 2015 akibat regulasi UU No. 14 Tahun 2005 tentang Dosen dan Guru, yang mensyaratkan minimal gelar magister untuk pengajar tetap. Walau demikian, semangat intelektualnya tak pernah surut — Rocky tetap aktif sebagai pembicara di berbagai kampus, lembaga negara, dan forum akademik.

Kiprah di Dunia Organisasi dan Pemikiran Demokrasi

Selain di kampus, Rocky turut mendirikan Setara Institute pada tahun 2005, bersama tokoh-tokoh besar seperti Abdurrahman Wahid dan Azyumardi Azra. Lembaga ini berfokus pada isu demokrasi, kebebasan beragama, dan hak asasi manusia (HAM).

Ia juga menjadi fellow di Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D) — wadah yang menekankan pendidikan politik berbasis kesadaran etis dan akal sehat.

Dalam pandangan Rocky, demokrasi bukan hanya sistem pemerintahan, tetapi ruang moral bagi pertarungan ide dan kebenaran. Ia sering mengingatkan bahwa politik tanpa nalar kritis akan berubah menjadi sekadar perebutan kekuasaan tanpa arah moral.

Filsafat sebagai Jalan Hidup: Feminisme, Etika, dan Akal Publik

Bidang kajian utama Rocky adalah filsafat politik dan filsafat feminisme. Ia menulis banyak artikel untuk Jurnal Perempuan, sebuah jurnal akademik feminis yang didirikan oleh rekannya, Gadis Arivia.

Dalam tulisannya, Rocky menekankan bahwa feminisme bukan sekadar perjuangan gender, melainkan gerakan epistemologis untuk mendobrak cara berpikir patriarkal yang membatasi akal manusia. Melalui pendekatan filsafat, ia menghubungkan feminisme dengan etika publik, demokrasi, dan kedaulatan individu.

Selain itu, ia juga banyak menulis di Jurnal Prisma dan Jurnal Jentera tentang hak asasi manusia, representasi politik, dan moralitas Pancasila. Ia berpendapat bahwa Pancasila harus ditempatkan sebagai “ide penuntun” bagi bangsa, bukan alat kontrol bagi kekuasaan.

Keterlibatan dalam Dunia Politik

Walau dikenal sebagai filsuf, Rocky juga terlibat dalam dunia politik praktis. Pada tahun 2002, ia bersama Sjahrir dan Nurmala Kartini Sjahrir mendirikan Partai Indonesia Baru (PIB). Meskipun ikut mendirikan, Rocky lebih banyak berperan dalam pengembangan ideologi partai ketimbang urusan struktural.

Beberapa tahun kemudian, ia bergabung dengan Partai Serikat Rakyat Independen (SRI) pada 2011, partai yang ingin mencalonkan Sri Mulyani sebagai presiden dalam Pemilu 2014. Namun, partai tersebut gagal lolos verifikasi administratif.

Keterlibatan Rocky di politik bukan untuk mencari kekuasaan, melainkan untuk menguji logika politik Indonesia: apakah demokrasi mampu berjalan tanpa ketergantungan pada figur karismatik semata?

Pemikiran dan Aktivisme Publik

Nama Rocky Gerung mulai dikenal luas publik sejak kemunculannya di acara televisi Indonesia Lawyers Club (ILC) pada 2017. Dalam forum itu, ia tampil sebagai pengkritik rasional terhadap kebijakan pemerintah. Salah satu pernyataannya yang paling terkenal adalah ketika ia menyebut bahwa “pemerintah adalah produsen hoaks terbaik karena memiliki semua alat untuk berbohong.”

Sejak saat itu, Rocky menjadi simbol bagi publik yang rindu akan logika jernih dalam wacana politik. Ia banyak diundang ke berbagai forum kampus dan komunitas untuk membahas topik-topik seperti akal sehat, etika publik, dan nalar demokrasi.

Di luar dunia politik dan akademik, Rocky dikenal sebagai pendaki gunung yang telah menekuni hobinya selama lebih dari 50 tahun. Ia menyebut kegiatan mendaki sebagai “kontemplasi atas keindahan dan keteraturan alam,” di mana ia belajar memahami kesunyian sebagai bentuk tertinggi dari kebebasan berpikir.

Kontroversi dan Kritik Publik

Sebagai pemikir bebas, Rocky tak lepas dari kontroversi. Pada tahun 2018, pernyataannya yang menyebut bahwa “kitab suci adalah fiksi” menimbulkan gelombang reaksi besar di masyarakat. Banyak pihak menilainya sebagai bentuk penghinaan, namun bagi Rocky, pernyataan itu bersifat filsafati, bukan teologis — sebuah upaya untuk membedakan antara “narasi keimanan” dan “narasi rasionalitas”.

Ia juga pernah dilaporkan ke polisi atas tuduhan penghinaan terhadap presiden, dan beberapa kali terlibat perdebatan panas di televisi. Namun, setiap kontroversi justru memperkuat posisinya sebagai intelektual yang berani berpikir di luar arus dominan.

Warisan Intelektual dan Karya Tulis

Warisan pemikiran Rocky Gerung terdokumentasi dalam berbagai karya tulis, buku, dan jurnal ilmiah. Beberapa di antaranya:

  • Teori Sosial dan Praktik Politik (1991, bersama Brian Fay dan Budi Murdono)

  • Hak Asasi Manusia: Teori, Hukum, Kasus (2006)

  • Mengaktifkan Politik (2009)

  • Obat Dungu Resep Akal Sehat (2024)

  • Habis Dungu Terbitlah Bajingan Tolol (2024)

Dua buku terakhir diterbitkan oleh Komunitas Bambu, memuat kompilasi tulisan-tulisan Rocky sejak tahun 1985 yang menggugat dogma politik dan menghidupkan kembali nalar publik Indonesia.

Filsuf Akal Sehat untuk Bangsa yang Rasional

Rocky Gerung bukan hanya seorang pengajar filsafat, melainkan pembela rasionalitas dan kebebasan berpikir di Indonesia modern. Ia menegaskan bahwa republik yang kuat tidak dibangun oleh kekuasaan semata, melainkan oleh akal sehat warganya.

Dengan gaya berpikir logis, tutur yang tajam, dan keberanian untuk berbeda, Rocky Gerung meninggalkan jejak mendalam dalam sejarah pemikiran Indonesia. Ia mengingatkan kita bahwa demokrasi sejati hanya bisa tumbuh dalam masyarakat yang berani berpikir kritis dan jujur terhadap kebenaran.