Jejak Pendidikan dan Misi Kekristenan di Karo Jahe (Buluh Awar, 1891)

Sekolah pertama di wilayah Karo Jahe didirikan pada 19 Oktober 1891 di Desa Buluh Awar yang dirintis oleh para misionaris sebagai sarana belajar membaca dan menulis, yang kemudian menjadi tonggak awal berkembangnya pendidikan di wilayah Karo.

H.C. Kruyt — Jejak Sang Misionaris Pertama di Taneh Karo

Di balik hutan berkabut Sibolangit dan lembah hijau Karo Jahe, sejarah mencatat nama penting Hendrik Cornelis Kruyt. Ia bukan sekadar pembawa kabar Injil, tetapi juga hadir sebagai pendidik, penggerak sosial, dan sahabat masyarakat Karo.

Awal Perjalanan: Dari Semarang ke Buluh Awar

H.C. Kruyt lahir di Semarang pada tahun 1862, dari keluarga pendeta. Pada usia 11 tahun, ia dikirim ke Rotterdam untuk menempuh pendidikan misi di NZG Mission School dan lulus pada umur 22 tahun. Ia mulanya bertugas di Tomohon, Sulawesi Utara, sebelum akhirnya menerima tantangan baru menyampaikan Injil kepada suku Karo di Sumatera Utara.

Pada 18 April 1890, H.C. Kruyt bersama asistennya, Nicholas Pontoh, tiba di Belawan. Tanggal tersebut kemudian dikenang sebagai Sehna Berita Si Meriah, yakni hari pertama kabar Injil memasuki Taneh Karo. Setelah itu, perjalanan mereka berlanjut menuju Buluh Awar, dan pada 12 Mei 1890, keduanya resmi menetap di desa tersebut.

Setahun kemudian, upaya pelayanan yang mereka rintis mulai menemukan bentuk yang lebih jelas. Di desa yang sama, berdirilah sebuah gereja pertama hasil karya para misionaris. Gereja ini diberi nama Karo Kerk (Gereja Karo), dan menjadi fondasi awal perkembangan gereja-gereja Protestan di wilayah Karo pada masa berikutnya.

Menjadi Bagian dari Identitas Karo

Kruyt menyadari bahwa Injil tidak bisa dikenalkan dengan kekuatan atau tekanan. Ia memilih pendekatan kemanusiaan Mempelajari bahasa Karo, Mengikuti adat budaya lokal, Tinggal dan hidup seperti masyarakat setempat.

Ia mengenakan erbulang, eruis, cabin, ikut dalam aron. Ia mengobati luka, infeksi, hingga keracunan, dan masyarakat membalas jasanya dengan ayam, hasil kebun, atau beras bukan uang.

Kruyt turut memberikan penyuluhan mengenai bahaya opium (candu), perjudian, serta menegaskan bahwa misinya bukan bagian dari agenda kolonial Belanda sebuah sikap yang membuatnya dihormati sekaligus dicurigai pemerintah kolonial.

Membangun Jaringan Pelayanan

Pada November 1890, Kruyt menjelajahi wilayah Karo Jahe untuk membuka pos pelayanan baru. Setelah kembali ke Minahasa mencari tenaga tambahan, akhirnya terbentuk lima pos pelayanan, yang masing-masing dipimpin oleh guru Injil Minahasa dengan fasilitas sekolah dan poliklinik kecil:

No Nama Pelayan Lokasi Pelayanan
1 Benyamin Wenas Salabulan
2 Johan Pinotoan Sibolangit
3 Richard Tampenawas Pernengenen
4 Hendrik Pesik Tanjung Beringin
5 H.C. Kruyt & Nicholas Pontoh Buluh Awar

Bangunan di Buluh Awar selesai dibangun pada Agustus 1891, lengkap dengan prosesi adat Karo dan gendang tradisional menandakan bahwa identitas baru datang dengan menghormati budaya lama, bukan menghapusnya.

Tak lama kemudian, sekolah baca-tulis pertama resmi dibuka pada 19 Oktober 1891 sebuah langkah kecil yang kemudian mengubah arah pendidikan masyarakat Karo.

Akhir Perjalanan: Benih yang Tak Hilang

Pada Juli 1892, Kruyt meninggalkan Karo untuk mempelajari ilmu kedokteran di Swiss, kemudian menetap di Prancis dan mengabdikan hidupnya melayani kaum miskin hingga wafat.

Ironisnya, ketika ia pergi, belum ada satu pun orang Karo yang menjadi Kristen. Namun benih yang ia taburkan komitmen, cinta, dan penghormatan pada budaya tidak pernah hilang. Tahun-tahun berikutnya, masyarakat Karo mulai menerima Injil dengan cara dan hati mereka sendiri.

H.C. Kruyt bukan hanya misionaris. Ia adalah Pelayan umat, Penggerak sosial, Perintis pendidikan, Sahabat budaya Karo

Jejak karyanya tetap hidup dalam sejarah, tradisi pelayanan, dan berdirinya GBKP hingga kini.

📌 Sejarah bukan hanya untuk dikenang, tetapi untuk dipahami sebagai pijakan masa depan.